Monday, August 27, 2007

Kesabaran

[English]
Pernah gak keluar dari parkiran mall kemudian melihat di karcis parkir, ternyata kita menghabiskan waktu tiga jam lewat SATU menit. Yang berarti membayar 2000 rupiah lebih gara-gara satu menit itu. Sebel.

Kalau lagi begitu, kelihatan sekali ketidaksabaran saya. Jadi kadang-kadang kalau anehnya lagi keluar, saya suka buru-buru ‘ngejar’ supaya gak perlu bayar yang satu menit itu. Gak penting banget ya.

Jadi tadi saya dengan sadar berusaha melatih kesabaran saya. Di gym, saya melihat jam, hm, kayaknya sudah bakal mepet nih. Dan saya sengaja memperlambat gerakan saya. Mengunci locker dengan hati-hati. Mengeringkan rambut pelan-pelan.

Sempat saya kehilangan ritme itu. Menjadi terburu-buru kembali. Mendadak ketika saya mau membuka locker, saya salah mengambil kunci. Saya kembali ke ritme saya. Sadar.

Tiket parkir ada di dalam dompet kunci saya dan saya sengaja tidak menengok ke tiket parkir itu barang sedikit pun. Saya berjalan dengan perlahan ke mobil saya. Naik eskalator dan tidak berusaha mempercepat langkah.

Saya buka mobil dan meluncur menuju pintu keluar dengan santai. Baru ketika mendekati tempat parkir, saya keluarkan tiket parkir itu.


Saya masuk jam 19:44:53. Saya keluar jam 21:43:59.

Tuhan memang bener-bener suka becanda.

Sahabat

[English]
Saya suka dengan Bahasa Indonesia dalam hal ini. Ada kawan, teman dan ada sahabat. Setiap orang Indonesia (kayaknya) tahu dimana letak perbedaannya, walau sulit untuk memberikan definisi tepatnya.

Ya begitulah. Kita menggunakan kata teman dengan entengnya. Kenalin, teman saya. Teman saya SMA, teman kuliah saya, teman kerja, dsb. Di lain pihak, kata “sahabat” begitu kita gunakan dengan hati-hati.

Itu terjadi kepada saya beberapa waktu yang lalu. Saya menceritakan seorang sahabat kepada seorang teman (atau sahabat juga?) yang lain. Komentarnya adalah, “Pasti loe deket banget ama dia ya?”

Kenapa memangnya, saya tanya. Dia bilang, “Karena loe jarang banget merujuk ke seseorang sebagai seorang sahabat.” Saya tidak menyadari hal kebiasaan (atau ketidakbiasaan) tersebut sampai detik itu. Benar juga.

Tapi yang saya ceritakan waktu itu memang benar sahabat saya. Sahabat-sahabat yang telah lebih dari 15 tahun bersama saya, melihat segala perubahan saya, up and down saya, dan tetap saja tenang-tenang berada di sekitar saya.

Yang cuma melemparkan senyum dan ekspresi pasrah kalau saya sedang dalam mood yang satu itu, atau saya memutuskan untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan.

Orang-orang yang gak perlu saya bercerita sudah bisa membaca saya. Kadang tanpa berbicara mereka cuma menepuk punggung saya, melingkarkan tangannya di pundak saya. Yang bisa dengan seenaknya berkomentar, “Jelek amat tampang loe.”

The 91 girls. Love you all to bits. Artikel ini untuk merayakan perjalanan naik turun kiri kanan maju mundur dalam hidup kita. Untuk persahabatan seumur hidup yang telah kita bina selama ini.

Sunday, August 26, 2007

Pilgrim for Life

[English]
Kita terus ngobrolin tentang tulis-menulis. Kita ngobrolin tentang blog kita masing-masing. “Tulisan loe waktu di Spanyol bagus-bagus. Kenapa? Apa karena suasana?”

Saya jadi tergelitik. Iya, kenapa ya? Jadi saya lihat kembali tulisan saya di blog itu. Saya jadi terbawa emosi. Mencuatkan kembali begitu banyak memori dan rasa.

Tulisan yang terindah adalah ketika kita menulis dengan hati. Dan kita tidak bisa menulis dengan hati kalau kita tidak merasakan kehadiran hati itu, ketika kita berjalan tanpanya pas di sisi kita. Karena itu tulisan saya dulu berbeda dengan yang sekarang.

Sekembali saya dari Spanyol, saya bilang ke seorang teman bahwa untuk merasakan ketenangan selama di Spanyol itu gampang. Tantangannya adalah untuk terus menjaga sensasi itu, suasana hati itu, di tengah kebisingan jakarta yang sibuk, dalam himpitan tenggat waktu pekerjaan, isu-isu keluarga dan teman, serta problema bangsa dan negara.

Saya pernah bilang baru-baru ini bahwa saya merasa kok tulisan saya sudah mulai kontemplatif lagi ya. Mungkin memang itu adalah tempat ‘pelarian’ saya. Tempat menenangkan diri saya. Pada saat jiwa sudah mulai terlalu lelah berjibaku dengan segala hal-hal gak penting dalam hidup. Ketika tanda-tanda untuk memfokuskan diri kembali sudah menguat.

Seperti yang kaukatakan. Mau jalan lewat manapun, pasti ada masalah. Mungkin masalah yang berbeda, tapi pasti ada masalah. Tantangan yang harus dilewati untuk menumbuhkembangkan jiwa kita. Gak ada gunanya bilang, “coba aku melakukan xx, pasti tidak akan yyy..”

Sudah saatnya (bagi saya) untuk kembali ke suasana itu lagi, saat saya merasa damai dengan diri saya, ketika jiwa dan hati begitu terhubung. Dan memfokuskan kembali diri ini untuk menapaki perjalanan pribadi saya sebagai seorang “pilgrim for life”.

Kali ini ada tantangan lebih. Kali ini, saya melakukannya di tengah kebisingan jakarta yang sibuk, di himpitan tenggat waktu pekerjaan serta isu-isu keluarga, teman serta masalah yang dihadapi negara tercinta ini.

Seperti yang dikatakan oleh guru yoga saya ketika mengakhir sesi latihan dengan savasana (corpse pose), “pada saat kita membuka mata dan mengakhiri latihan ini, cobalah untuk tetap menjaga savasana yang ada dalam diri kita.”

Saya menantikan saat saya merasakan apa yang diucapkan oleh guru saya yang lain: saat ketika kita tidak lagi mencari solusi bagi hidup kita, karena hidup ini sendiri adalah sebuah solusi.

Tentang tulis-menulis

[English]
Lucu rasanya melihat semangatmu ketika kita bercakap tentang tulis-menulis. Bukan lucu, lucu. Tapi lebih ke lucu, senang. Lucu yang menciptakan senyum di wajah dan hati saya.

Saya juga senang menulis. Saya mengekspresikan diri melalui tulisan. Ketika saya tidak punya insprirasi untuk menulis buat kerjaan, saya selalu menulis di blog dulu, agar ide kreatif itu kembali mengalir. Ketika saya merasa sedih atau marah, saya juga menulis.

Tapi gaya tulisan saya begitu berbeda darimu, atau dari siapa pun juga sebenarnya. Beberapa orang menulis tentang hal-hal serius seperti politik dan lain-lain. Beberapa orang menulis dengan gaya yang begitu sinis. Beberapa menulis dengan puitisnya. Dengan gaya lugu seorang anak kecil. Tulisan saya begitu lugas. Langsung.

Mungkin memang kita bisa belajar banyak tentang seseorang dari tulisannya. Bukan hanya dari apa yang ia tulis, tetapi juga dari gaya penulisannya.

Tulisan saya? Lugas. Tapi kadang penuh dengan simbol. Paradoks.

Reuni. De-uni.

[English]
Aneh. Kadang reuni tidak mencerminkan arti kata yang sebenarnya: untuk kembali bersatu, bertautan, terhubung satu sama lainnya.

Beberapa reuni bahkan menciptakan suasana yang bertolak belakang. Panitia untuk reuni berselisih terus satu sama lain tentang hal-hal remeh ketika mempersiapkan reuni itu.

Hal ini bahkan terjadi pada kelompok-kelompok yang bersatu untuk sebuah tujuan mulia. (berbicara berdasar pengalaman yang agak pribadi).

Bahkan dengan niat yang baik serta bekal spiritual yang seharusnya sudah menggunung, mreka tetap saja beragumen, yang kemudian menelurkan rasa ketidaksukaan dan perasaan negatif lainnya.

Pada saat itu, re-uni menjadi de-uni. Sayang sekali. Gak perlu sebenarnya. Sedih.

Kesan pertama. Kesan terakhir.

[English]
Kita ngobrol tentang kesan pertama. Kesan terakhir. Saya rasa ini adalah satu topik yang dekat sama kita (secara profesional) karena kita memang secara profesi bergerak dalam bidang komunikasi.

Orang sering berbicara tentang pentingnya kesan pertama. Bagi saya, kesan terakhir juga sama pentingnya.

Kesan terakhir itu lebih rumit. Karena merupakan agregat dari kesan-kesan yang dihimpun oleh orang lain dari pertama mereka berjumpa kita, hingga menit-menit terakhir menjelang perpisahan.

Mungkin juga ini kesan yang lebih dekat dengan kenyataan. Sekali lagi, karena ini adalah kesimpulan dari semua tindakan dan perkataan kita, yang semakin lama semakin lelah kita kendali karena ketidakmampuan kita untuk menyembunyikan kepribadian kita yang sebenarnya.

Kesan terakhir ini adalah kesan yang akan disimpan oleh orang-orang dan mungkin juga yang akan diceritakan oleh orang itu ke orang-orang lainnya. Kita semua tahu betapa bisa beracunnya gosip yang beredar.

Kualitas seorang aktor sering dinilai semata melalui film terakhirnya. Seorang penulis sering dinilai semata melalui buku terakhirnya.

.berusaha untuk tetap implisit.

Sarapan yang mengenyangkan

[English]
Sabtu lalu, saya sarapan bareng dengan seorang teman. Dua setengah jam. Gak terasa terlewati. Tapi banyak sekali catatan-catatan yang saya buat dari obrolan itu.

Teman saya itu, seorang sahabat. Seorang kakak. Tapi peran yang paling ia banggakan dalam hidupnya, saya yakin 100%, gak ada hubungannya dengan saya. Peran menjadi ibu bagi seorang putra. Seorang anak yang sangat beruntung.

Ketika dia menulis di blognya, akan tampak apa maksud kata-kata Judy Ford dalam buku “Wonderful ways to love a child”: “Ketika Anda tertawa bersama anak Anda, Anda serasa diberikan kesempatan untuk mengintip, mencicipi rasanya surga.”

Dan, sekali lagi mengutip dari buku indah itu, saya tau ia akan tersenyum dengan senyum khasnya, kalau saya mengatakan bahwa “menjadi orang tua itu seperti sebuah jalan dua arah: ketika Anda meraih tangannya, ia akan menggapai Anda dengan hatinya.”

Tulisan ini, serta empat tulisan berikutnya ditulis berdasar obrolan kita. Kami. Selamat ulang tahun.

Wednesday, August 22, 2007

Pelayanan Operasi Katarak

Cut and paste dari YM yang saya terima dari seorang teman. Semoga bermanfaat.

RS Fakultas Kedokteran UKI Cawang bekerja sama dengan CBM(Christoffel Blinde Mission), NGO dari Jerman, mengadakan pelayanan Operasi Katarak untuk orang yang kurang mampu. Bagi yang memerlukan pelayanan tersebut, keterangan lebih lanjut dapat menghubungi: dr. Herny P., SpM dan dr. Elisabeth di no telp. (021) 8092317 ext. 313 dan 80870762 (Poli Mata RSU FK UKI). Mohon pesan ini dapat disebarkan ke contact Anda, agar orang-orang yang kurang mampu dapat terbantu. Jika bukan Anda yang memerlukan, Anda tidak keberatan membagi informasi kan?

Friday, August 17, 2007

Kontemplatif

[English]
Saya baru menyadari bahwa tulisan saya yang baru-baru sudah kembali menjadi sangat kontemplatif dan idealis.

Kenapa ya. Hm, saya kayaknya bisa kira-kira penyebabnya, tapi saya belum siap untuk membagi atau menceritakannya.

Selamat Hari Kemerdekaan

[English]
Hari ini Indonesia merayakan Hari Kemerdekaanya yang ke-62. Saya mencoba mencari foto yang cocok untuk tulisan ini.

Pilihan saya jatuh kepada foto di bawah, menampilkan pemain bulutangkis double Indonesia, Hendra Gunawan dan Joko Riyadi, di Kejuaraan Dunia yang masih berlangsung di Malaysia.

Diambil dari artikel Kompas Cyber Media bertajuk “Pebulutangkis Indonesia Terus Melaju.” Lihat keseriusan, semangat pantang menyerah dan determinasi yang jelas tercermin dalam raut muka mereka.

Lebih dari itu, karena inilah yang saya rasakan atau saya harapkan dari bangsa dan negara kita tercinta ini: Bahwa kita terus melaju.

Saya capek mendengar orang complain, mengeluh tentang kondisi negara ini, menyalahkan pemerintah dan semua orang lain kecuali dirinya sendiri. Sudah waktunya kita mengubah paradigma itu dan menjadi lebih optimistis, konstruktif dan aktif.

Seperti kaos yang saya lihat di mall tadi siang: “You have to be the change that you want to see.” Bener banget.

Mulailah melakukan sesuatu. Apapun itu.

Tuesday, August 14, 2007

Kita sudah begitu banyak menerima

[English]
Masih dari obrolan dengan Pak Brotoseno.

Kami membicarakan tentang kontemplasi. Kami membicarakan tentang rasa syukur. Berkontemplasi tentang sebegitu banyak yang telah kita terima dari siapa pun, dan dari apa pun di alam ini.

Lihat hal yang tampak jelas. Orang-orang yang secara eksplisit dan langsung telah memberi kepada kita. Orangtua kita. Guru kita. Teman kita. Sponsor kita.

Lihat hal-hal yang tidak terlalu eksplisit. Sepiring nasi yang tengah kita makan. Petani yang bekerja keras menumbuhkannya. Orang-orang yang membantu menuai. Orang yang menyediakan pupuk. Orang yang membeli beras dari petani. Orang yang memindahkan beras sampai ke toko. Orang yang menjual beras. Orang yang membeli beras. Orang yang menanaknya untuk kita. Orang yang menyediakan nasi ini di depan kita.

Itu baru nasi. Lihat makanan lain yang kita makan, lihat perangkatnya, piring, sendok garpu, tempat duduk, meja, lampu, dan atap yang menaungi kita. Berkontemplasi atas proses yang sama. Dan orang-orang yang menemani kita menikmati makanan ini.

Lihat lebih jauh dari sekedar manusia. Udara yang kita hirup. Segarnya air untuk mengatasi dahaga. Burung-burung di sekitar. Bunga-bunga. Semua merupakan kenikmatan sendiri buat indra kita.

Lihat betapa banyaknya yang telah kita terima.

Jadi ketika kita melakukan sesuatu buat orang lain, kita tidak melihatnya seperti mereka berhutang kepada kita. Kita tidak melihat kita telah berjasa bagi mereka.K

Karena mereka sudah melakukan dan memberikan banyak kepada kita.Jauh lebih banyak. Lihat tindakan kita sebagai ungkapan rasa terima kasih, sebagai balas jasa kepada mereka, orang-orang di sekitar kita, kepada masyarakat dan kepada alam.

Tentu ada orang-orang atau peristiwa yang menimbulkan rasa sakit atau amarah dalam diri. Tapi kalau kita mulai melihat betapa banyaknya orang yang telah berjasa pada kita, betapa kita telah menerima begitu banyak, kita mulai memahami, bahwa jumlah orang yang telah memberi jauh lebih banyak ketimbang orang-orang yang menimbulkan rasa sakit dan amarah. Jumlah itu menjadi insignifikan.

Bersyukur. Mulai lakukan sesuatu. Apapun itu.

Monday, August 13, 2007

Persona: Pak Broto dan Pak Pujo

[English]
Akhir pekan lalu saya ke Solo, pulang kampung bersama ibu dan kakak-kakak saya. Salah satu tujuan kakak saya adalah hunting barang antik untuk rumahnya. Dia mendapat referensi satu orang ini, namanya Pak Brotoseno.

Sesampai di rumah beliau, ternyata beliau sudah tidak bergerak di bidang barang antik, tapi lebih ke produksi barang-barang dari kayu. Dari gayanya sudah tampak, beliau mencintai pekerjaannya. Dan hanya mengerjakan hal yang ingin ia kerjakan. Indahnya.

Saya berjalan ke lantai atas rumahnya. Saya bertanya ini ruang apa. Ternyata beliau mengajar meditasi tiap malam. Wah!

Tanpa berpikir lama saya katakan bahwa saya akan kembali malam itu. Dan saya datang. Kami (saya, kakak saya, pak broto dan bapaknya, pak pujo) berbincang. Topik malam ini adalh dasar-dasar meditasi.Pak Pujo yang memimpin.

Kami diajarkan dan mempraktekkan beberapa teknik meditasi. Katanya seorang meditator harus bisa melewati lima hal: keserakahan, kemarahan, kemalasan, keragu-raguan dan ketakutan.

Yang menarik adalah keserakahan. Karena serakah yang fisik sudah kita kenal. Tetapi banyak serakah yang lebih halus yang suka terlewat dari radar kita. Ketika kita bahagia, kita tidak mau hal itu berakhir. Itu sudah keserakahan.

Ketika kita merasa tenang, kita tidak ingin ketenangan itu berakhir. Itu merupakan keserakahan tersendiri. Weleh.

Satu paradoks yang ia utarakan adalah: untuk merasakan ketenangan yang sebenarnya, kita harus menghilangkan keinginan untuk tenang. Satu hal yang patut saya renungi sebelum saya bisa mulai memahaminya.

Baik Pak Broto maupun Pak Pujo tidak menarik biaya atas sesi yang mereka adakan tiap malam. Bahkan mereka menyediakan makan dan minum sekedarnya. Katanya "Saya dulu gak bayar untuk dapat pembelajaran ini semua. Jadi saya anggap apa yang saya lakukan adalah pemberian saya kembali." Sederhana dan sama sekali tidak ada jumawanya.

Jam sembilan, beliau menengok ke saya bilang, "saya rasa cukup sekian?". Dan sesi pun berakhir. Ketika saya pamit pulang, Pak Pujo lagi 'ngejongrok' di depan TV, menunggui program TV yang ingin ia tonton. Kepolosan yang luar biasa.

Sederhana dalam bersikap dan bertutur, tetapi kebijakan dan ketulusan tetap terpancar dari dirinya. Saya datang ke tempatnya untuk mencari barang antik, yang saya dapatkan adalah seorang guru baru. Terima kasih.

ps: Dia mengingatkan aku ke dirimu, pa. Sampai ke gerak tubuhnya. Tapi yang pasti keterus-terangannya, kesederhanaannya, kerendahan hatinya, dan kebijakannya.

Wednesday, August 08, 2007

Kumis atau klimis?

[English]
Hari PILKADA saat Jakarta nyoblos memilih gubernur barunya.
Jadi yang mana nih? *deg-degan*

Standar ganda

[English]
Malam ini saya ngobrol lama dengan seorang teman. Obrolan yang menyenangkan. (Well, sebenarnya dengan dia, setiap obrolan selalu menyenangkan). Kita ngobrol banyak hal. Ada satu subjek yang terus mengusik di benak. Moga-moga dia gak keberatan.

Tahu donk rasanya kalau kita terlalu deket pada suatu subjek atau seseorang, maka pandangan kita sudah tidak objektif lagi, persepsi menjadi agak terpengaruhi. Kita mulai memiliki standar ganda. Saya akan menggunakan contoh yang cukup umum.

Kita gak suka kalau mendengar satu orangtua berteriak ke anaknya atau melihat seseorang berlaku kasar pada orang lain. Tapi sayangnya kita pun kadang meninggikan suara ke anak dan memperlakukan orang lain dengan kurang hormat.

Kita tahu sebagai orangtua kita harus membantu anak supaya mandiri. Tapi kadang kita tergoda untuk terlalu melindungi mereka.

Kita bilang kita menghargai perbedaan yang ada di diri orang lain, misalnya dalam hal agama atau kecenderungan seksual. Tapi bagaimana kalau salah seorang keluarga terdekat kita ingin ‘berbeda’? Apakah kita juga bisa menghargainya?

Kita bilang ke orang lain: santai donk, nikmati hidup, jangan kerja terlalu keras. Tapi kita sendiri?

Mungkin itu saat-saat kita butuh orang lain untuk mengembalikan kita ke jalan yang lurus. Ketika kita harus benar-benar mendengarkan nurani. Terima kasih, teman.

Tuesday, August 07, 2007

Guru-guru kehidupan

[English]
Salah satu karunia terbesar yang saya rasakan dalam hidup ini (selain keluarga saya) adalah hal-hal yang bisa saya pelajari hanya dengan ‘menonton’ orang lain.

Orang-orang yang memperjuangkan hidupnya hanya dengan kedua tangannya. Mereka tidak berasal dari keluarga berada, tapi lihat betapa mapannya mereka sekarang secara finansial. The survivors.

Orang-orang yang begitu puas akan hidupnya, yang begitu bersyukur. Orang-orang yang penuh dengan kasih dan damai. Orang-orang yang memiliki hati yang begitu sederhana dan semangat tiada henti untuk menolong orang lain.

Orang-orang yang tidak peduli dan begitu rakus. Orang-orang yang selalu mengeluh tentang segala hal. Orang-orang yang terus berlari seperti seekor anjing yang berlari berputar mengejar ekornya sendiri.

Orang-orang yang telah melalui saat-saat berat dalam hidupnya dan berhasil. Yang telah mengalami neraka hidup dan tetap bertahan. Orang-orang yang mengalami berbagai cobaan namun kini hanya bisa sekedar bertahan untuk hidup. Dan mereka yang tidak bisa bertahan sama sekali – disadari atau tidak.

Sebuah karunia yang besar karena saya hanya perlu menonton dan tidak perlu melalui apa yang mereka lalui. Karena kalau saya juga harus merasakannya, saya tidak yakin saya bisa sekuat mereka.

Guru-guru besar dalam hidup saya. Saya hanya tinggal menonton. Dan menarik pelajaran darinya.

Thursday, August 02, 2007

Iyengar yoga retreat

[English]
Semua yang menarik dalam hidup ini dimulai dengan “kebetulan”. Tadinya saya tidak berniat ikut yoga retreat bersama Ann Barros di Ubud, Bali.

Tapi ‘kebetulan’, teman saya terus mengajak, ‘kebetulan’ saya ikut yoga retreat lain yang membuat saya mulai berubah pikiran, dan ‘kebetulan’ workload kerja saya juga semakin membuat saya berpikir “enak kali ye break sebentar..”

Dan tidak ada yang disesali sama sekali. Baru kali ini saya berkenalan dengan Iyengar yoga, yang menekankan keakuratan serta kesejajaran pada setiap postur.

Dan Ann yang sudah sekitar 30 tahun mengajar benar-benar sangat tahu apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan murid-muridnya. “Hargai keterbatasan kita”, “Berusahalah sesuai dengan keterbatasan itu.”

Tidak ada TV, tidak ada telepon (walau ada satu deadline artikel yang harus saya tulis, tidak apa). Yang ada hanya alam dan teman-teman yang menyenangkan.

Namun hiburan terindah selalu datang dari keheningan alam. Pada saat kita diam memandang pemandangan sekitar bebas dari polusi—udara maupun kebisingan. Ubud memang magis, entah kenapa.

Di akhir setiap kelas, kita selalu saling berucap salam “Namaste”, yang berarti “saya menghormati Keagungan dalam dirimu, yang penuh dengan Cinta, Cahaya dan Kebenaran hakiki. Saya menghargai relung di hatimu dan di hatiku yang membuat kita menjadi Satu.”

Mungkin memang ini jalan saya. Saya merasa nyaman bersama yoga, sebagai ajang latih diri untuk mencapai hening dan semedhi, atau sekedar membugarkan dan melenturkan tubuh. Disadari atau tidak. Diniatkan atau tidak.

Catatan: foto menyusul. Moga-moga.