Sunday, August 31, 2008

Foto keluarga - Agustus 2008

[English]
Foto keluarga sebelum Ramadhan. 31 Agustus 2008.
Gak heran saya demikian mencintai mereka

Wednesday, August 27, 2008

Hidup tak usai

[English]

Kota kecil abad pertengahan bertatahkan batu itu hening sempurna
Semua penghuni telah terlelap
Semua kecuali satu. Annette yang remaja
Jalan kota diam membisu
Namun bagi remaja ini
Sang kota tengah membeberkan jiwa yang lelah

Annette yang remaja terbalut dalam jaket musim dingin
Dia menatap nanar pada jalan melompong
Dada sesak, napas singkat, mata membasah
Namun ia tetap berdiri, tak tergerak
Membeku dalam ruang dan waktu
Tak acuh terhadap fahrenheit menusuk yang menggeluti tubuh

Karena ada tusukan lain yang terasa lebih menohok
Sesuatu tentang kota yang demikian dicinta
Kesedihan mendalam, frustasi dan kemiskinan yang melantakkan hati

Annette telah menentukan langkah
Ia tahu apa yang yang harus ia lakukan
Dan niat pun meneguh untuk mengejewantahkannya

Merasa cukup, perempuan ini masuk kembali
Ke gubuk kecil yang hangat dan nyaman
Ke sang ayah yang pandai dan pekerja keras
Ke ibunda nan sederhana dan penuh cinta
Dan ke adik laki-lakinya yang lugu

Annette yang mulai tumbuh dewasa tahu
Tanah subur di keliling kota ini adalah kunci
Untuk membawa orang-orang di sekitarnya
keluar dari jurang kemiskinan
Perekonomian berbasis pertanian. Itulah jawabannya
Itulah yang akan ia tekuni
Sebuah dedikasi total terhadap idealisme dan sesama

Prestasi Annette melambung di atas semua perempuan di zamannya
Pikiran-pikirannya dihargai

Namun Annette berpuas terlalu cepat
Pujian dan penghargaan telah membutakan
Keangkuhan pun secara laten mengambil alih kuasa atas jiwa
Ia lupa seberapa jauh ia masih dapat berjalan
Ia melalaikan beribu kilometer yang masih harus ia tapaki

Jalan pun membelok semakin jauh
Annette yang dewasa bertemu seorang pria
Mereka jatuh cinta
Mereka hidup berbahagia selama sisa hari dalam kehidupan

Annette lupa tujuan ia mengada
Ia mencengkeram kebahagiaan, takut akan kehilangan yang ia punya
Ia tidak tahu kalau ia bisa saja memiliki segalanya
Memiliki ini dan itu
Dan masih banyak lagi. Sang Pemelihara sedemikian murah hati

Di atas tempat tidurnya, Annette yang setengah tua menilik sekitar
Ia merasa bahagia. Ia merasa cinta
Annette telah memiliki apa yang ia dambakan
Kekayaan. Kehormatan. Keluarga
Dan (pemahaman akan) cinta
(yang ternyata membatasi dan cenderung salah kaprah)

Namun di menit-menit terakhir, ia teringat sesuatu
Kerja belum usai
Ia telah menafikan alasan kenapa ia ada di sini
Kini ia mulai menyadari kembali
Di saat-saat terakhir dalam hidupnya

Namun masih tersisa butiran asa
Perjalanan belum benar-benar berakhir
Masih ada kesempatan lain
Dan kesempatan itu mewujud sekarang, saat ini

Ketika semua entah bagaimana tertata rapi
Ketika semua dapat dan akan menjelma menjadi jalinan sempurna
Cinta. Dan kali ini, ia berharap Sang Maha Cinta.

Sunday, August 24, 2008

Terus..?

[English]
"Perhatikan barang bawaan Anda"

Saya membaca tulisan itu di satu toilet pusat perbelanjaan.

Pandangan saya lantas jatuh pada tas saya. Saya memperhatikannya, kemudian saya berpikir, "umm, terus mesti ngapain lagi?"

:p

Monday, August 18, 2008

Catatan akhir untuk perjalanan kali ini: Kehidupan yang demikian cepat

[English]
Tuntas sudah. Akhir dari rangkaian perjalanan saya kali ini. Besok, kerja (sebagai seorang profesional dalam bidang komunikasi) dimulai kembali. Perjalanan tiga minggu yang luar biasa.

Beberapa minggu lalu, ketika saya membeberkan jadwal perjalanan saya—yoga, meditasi, pelatihan penyembuhan, ketemuan dengan orang, empat-bahkan-lebih-lokasi di tiga negara dalam kurun waktu tiga minggu, dia berkata "cepat sekali hidupnya.”

Saya tidak pernah berpikir seperti itu hingga saat teman saya berkata demikian. Suatu sudut pandang yang cukup valid. Kalau Anda melihat jadwal saya, maka hidup saya ini tampak berjalan sangat cepat dari satu titik ke titik lain.

Namun menariknya, di setiap titik, hidup tersebut seperti melambat hingga ke tingkat yang tampak tidak bergerak sama sekali. Hidup ini berjalan lambat di tiap titik. Hidup telah memanfaatkan waktu yang dimilikinya dan menikmati proses yang dijalaninya.

Kini hidup sama sekali tak tampak berjalan cepat. Tidak lagi.

Hidup dengan ringan pindah dari satu titik ke titik lain, namun saya tahu bahwa ia menyimak setiap detik yang dilewatinya--mencelupkan diri dalam pengalaman yang diberikan oleh tiap node petualangan, menikmati proses, dan menyambut setiap pelajaran yang dihadiahkan oleh alam.

Melepaskan, menikmati, dan menyambut tampak menjadi kata-kata kunci dari episode perjalanan kali ini.

Rasa terima kasih saya haturkan pada guru-guru dan teman-teman saya. Dan Tuhan. Dan keluarga saya tercinta. Dan--walau terdengar aneh--kepada diri yang telah mengizinkan proses ini berlangsung.

Saat saya menulis catatan akhir ini, sebuah kalimat dalam buku yang saya terima dari seorang teman seperjalanan beresonansi dalam ruang kepala: “Compassion for others begins with kindness to ourselves. --- Rasa kasih terhadap makhluk lain dimulai dengan kebaikan dan kelembutan terhadap diri sendiri.”

PS: Kangen juga dengan dirimu. Um, beneran.

Thursday, August 14, 2008

Layaknya tangan kiri dan tangan kanan

[English]
Seorang pria tengah memaku dinding. Tangan kirinya memegang paku, sementara tangan kanannya memegang palu. Duk duk duk.

“Aduh!” tiba-tiba sang pria berteriak. Dia telah memukul tangan kirinya dengan palu. Atau kalau mau, bisa dibilang tangan kanannya (yang memegang palu) telah memukul tangan kirinya (yang memegang paku).

Tahukah Anda apa yang terjadi selanjutnya?

Tangan kanan segera membuang palu yang tengah dipegangnya untuk memegang tangan kiri. Tangan kiri tengah kesakitan dan fokus pada rasa sakitnya. Kedua tangan bekerja sama untuk sebaik-baiknya mengurangi rasa sakit.

Menurut Anda, apa yang akan terjadi kalau hal ini berlangsung antara dua manusia? A memukul B. A bisa saja melarikan diri. A bisa saja berlagak tidak terjadi apa-apa. Atau A bisa saja memarahi B karena keteledorannya—menerapkan prinsip 'memarahi dulu sebelum dimarahi.'

B, di lain pihak, mungkin akan menatap A dengan rasa marah dan benci. B tentu akan menyalahkan A atas apa yang baru saja terjadi. B akan menyimpan rasa kesal dan jauh di dalam benaknya mungkin telah menyimpan baik-baik memori kejadian ini dan diam-diam menyusun rencana balas dendam di masa nanti.

Tapi tidak demikian dengan tangan-tangan itu. Tangan kanan tidak melarikan diri. Ia tak bisa melarikan diri. Kedua tangan ini tergabung dalam satu tubuh. Tangan kanan langsung melupakan apa yang tengah ia kerjakan untuk mengurus tangan kiri. Tangan kiri tidak memendam kekesalan dan bahkan tidak berpikir sama sekali untuk membalas dendam terhadap tangan kanan.

Selalu aja ada hal yang terjadi. Kedua tangan bekerja sama sebaik mungkin. Mereka bisa merasa satu sama lain. Mereka terhubung satu sama lain. Mereka tahu bahwa, pada akhirnya, mereka adalah satu dan saling terkoneksi. Tidak ada yang menyalahkan siapa pun. Mereka terus bekerja sama.

Tubuh manusia yang luar biasa ini merupakan refleksi mikroskopis tentang bagaimana dunia saling terkait dan bagaimana manusia selayaknya memperlakukan satu sama lain. Sayangnya, sedikit sekali yang memperhatikan.

-cerita dari Thich Nhat Hanh yang dihaturkan selama pembicaraan dengan Nat di Bangkok.

Bangkok: teman-teman lama bertemu

[English]
Saya baru menyadari bahwa Bangkok adalah satu-satunya kota dalam rute saya kali ini yang saya tidak punya agenda khusus kecuali bertemu dengan teman. Tidak ada retreat, tidak ada pelatihan, tidak ada apa-apa. Enak juga sekali-sekali tidak punya agenda.

Ada satu agenda sih: untuk ngobrol dengan teman saya Nat. (oh dan sesi pijat Thai.) Saya bertemu dengan Nat ketika saya di Spanyol secara 'kebetulan.' Kami ngopi bareng dan mulai mengobrol. Obrolan singkat bertumbuh menjadi pertemanan.

Kunjungan tiga hari ke Bangkok ini sebenarnya merupakan kali kedua saya bertatap muka dengannya. Saya tidak terlalu tahu apa yang yang harus saya tulis di sini. Ada ide, Nat? Saya tidak kenal orang lain yang bisa saya ajak ngobrol seperti kami ngobrol.

Di taksi menuju bandara pagi hari itu, saya merasa sedih. Saya telah mengunjungi beberapa tempat akhir-akhir ini, namun hanya Bangkok yang berhasil membuat saya merasa sesentimentil ini.

Saya merasa seperti meninggalkan kota ini terlalu cepat. Rasanya Bangkok belum berkesempatan untuk menceritakan kisah-kisahnya pada saya. Mungkin ada kata-kata yang belum terucap, pemandangan yang belum terlihat, dan pengalaman yang belum terbagi.

Di atas pesawat, saya membuka halaman pertama buku yang Nat berikan pada saya. Buku berjudul "Start Where You Are: A Guide to Compassionate Living written" by a female monk Pema Chödrön. Buku yang luar biasa kuat. Saya bergidik ketika membuka halaman pertamanya dan saya dapat merasakan mata saya menghangat ketika saya membuka halaman pembuka.

Halaman ix, paragraf dua:
“In our era, when so many people are seeking help to relate to their own feelings of woundedness and at the same time wanting to help relieve the suffering they see around them, the ancient teaches presented here are especially encouraging and to the point. When we find that we are closing down to ourselves and to others, here is instruction on how to open. When we find that we are holding back, here is instruction on how to give. That which is unwanted and rejected in ourselves and in others can be seen and felt with honesty and compassion. This is teaching on how to be there for others without withdrawing.”

Saya menulis entri ini namun saya awalnya tidak tahu gambar-gambar apa yang dapat saya pajang di sini sebagai ilustrasi. Mungkin saya seharusnya mengambil foto atau gambar dari tempat-tempat yang kita kunjungi dan santapan yang kita makan, Nat. Namun gambar-gambar itu terasa tidak penting dan bahkan tidak relevan ketimbang hal-hal yang kita obrolkan dan bagi. Terima kasih telah menjadi suatu hadiah bagi hidup.

Kamu benar. Pertemuan yang terasa kebetulan itu sebenarnya bukanlah kebetulan sama sekali. Pertemuan itu bukanlah pertemuan dua orang asing, namun pertemuan dua teman lama.

Tuesday, August 12, 2008

Singapura: Untuk sebuah urusan (tak biasa)

[English]
Entah kenapa, Singapura selalu terasa 'bisnis' di lidah saya. Rasanya saya tidak pernah menyambangi negara ini murni sebagai turis. Selalu saja ada tujuan spesifik: mengantar ibu saya ke rumah sakit, mengunjungi teman-teman, menghadiri konferensi, atau, seperti kali ini, mengikuti pelatihan.

Saya mengikuti pelatihan empat hari Craniosacral Therapy (CST). Cranio apa? Sebuah teknik penyembuhan melalui sentuhan ringan yang dikembangkan oleh John Upledger. Secara sederhana, sentuhan ringan ini akan merilekskan otot yang tegang dan, sebaliknya, mengaktifkan kembali otot tidur.

Saya menggandrungi CST karena beberapa alasan. CST dapat membantu orang. (Saya menjadi saksi. Saya pernah merasakannya.) Terapi ini menggunakan sentuhan ringan, yang tidak menimbulkan rasa sakit sama sekali. (hanya sentuhan seberat lima gram.) CST memiliki penalaran medis ilmiah yang cukup kuat untuk mendukung teknik ini (pas untuk otak kiri saya yang super kritis dan kerap logis berlebihan.)

Sentuhan ini adalah cara untuk terhubung dengan tubuh (dan pikiran) sang 'pasien'. Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk menyembuhkan diri sendiri. Sentuhan sekedar mengatakan "kami mendengarkan" dan menunggu sang tubuh untuk membuka diri dan mulai bercerita.

[Ingatkan saya untuk menulis lebih banyak tentang CST. Sementara ini, silakan mengacu ke situs web resmi Upledger Institute untuk info lebih lanjut.]

Pelatihannya sendiri sangat amat menyenangkan. Bapak instruktur Michael, keempat asisten pengajar dan Greenpartners sebagai penyelenggara (hai Kheng!) benar-benar hebat.

Dua dari asisten tersebut adalah terapis saya—Martyn dan Heather. Saya sebelumnya tidak tahu bahwa mereka akan ada di sana. Jadi Heather menyelinap dari belakang, menutup mata saya dengan tangannya dan berkata, “Tebak siapa saya. Kamu harusnya bisa menebak dari sentuhan tangan saya .” ☺ Wah, lelucon khas CST!

Saya benar-benar menikmati pelatihan ini. Serius. Pada hari pertama, saya meng-sms teman saya sekedar untuk mengatakan “Aku suka hidupku.” Dari dasar hati terdalam. Saya rasa kata-kata itu tidak pernah tercetus di pikiran saya, minimal sudah lama tidak. Hidup saya murni suatu berkah, namun hari itu saya benar-benar merasa terberkati.

Ketika saya menceritakan ke beberapa teman bahwa saya mengambil pelatihan ini, mereka bertanya, “Mau ngapain setelah loe ngambil kursus itu?” Pertanyaan menarik.

Sebuah pertanyaan yang mengingatkan saya pada tulisan Paulo Coelho di Pilgrimage. Karakter utamanya begitu bersemangat untuk menemukan pedang sakti itu. Sedemikian semangat sehingga dia tidak menyadari bahwa sebelum dia menemukan pedang tersebut, terlebih dahulu dia harus menjawab satu pertanyaan terpenting: “Apa yang akan kaulakukan setelah menemukan pedang tersebut?”

Saya sendiri belum yakin apa jawaban saya. Mungkin ini merupakan suatu langkah mewujudkan mimpi masa kecil untuk menjadi dokter. Dulu saya memang ingin menjadi dokter, sehingga saya bisa menggunakan setengah waktu saya untuk mencari uang dan setengah sisanya untuk membantu orang.

Atau mungkin ini masa melunasi hutang. Saya ingat perasaan tak berdaya saya ketika saya menjadi relawan untuk membantu korban banjir besar Jakarta. Demikian banyak yang menderita, sedikit sekali yang bisa saya lakukan.

Tak tahu lah. Tapi saya yakin pada saatnya saya akan tahu harus saya apakan kemampuan saya itu.

Sementara, saya ingin berterima kasih kepada tim CST (dan teman-teman baru saya) untuk pengalaman yang demikian berharga dan menyenangkan. Terima kasih kepada Kota Singapura yang selalu berbaik hati pada saya (dan profesional plus efisien!).

Terima kasih ekstra spesial pada Yolli, Hany dan Andien yang telah mengizinkan saya menghamparkan diri di tempat mereka. Nila dan Mike untuk hidangan veggie-nya. Peluk hangat untuk teman-teman yang saya temui selama di sana.

Berbagi cerita

[English]
Sepanjang 11 hari meditasi TB2, saya menghabiskan 10 hari di antaranya dalam keadaan hening. Masa hening (noble silence) berarti “keheningan di tataran tubuh, ucapan dan pikiran. Segala bentuk komunikasi dengan sesama peserta meditasi--baik dalam bentuk bahasa tubuh, tulisan, lisan, dsb--tidak diperbolehkan.

Namun peserta diperbolehkan berbicara dengan para fasilitator/instruktur jika diperlukan. Mereka juga diperbolehkan untukberkomunikasi dengan pihak penyelenggara berkenaan dengan masalah seperti makanan, akomodasi, kesehatan, dsb. Tetapi kontak seperti ini sekalipun harus diminimalkan. Kita harus menciptakan rasa bahwa kita berjalan sendiri.”

Yang tidak saya sangka-sangka adalah .. bahwa tidak berbicara dengan orang di sekitar saya bukanlah tantangan terbesar bagi saya. Mungkin karena saya tidak terlalu mengenal mereka. Kami baru bertemu beberapa jam sebelumnya, sehingga ikatan emosional belum terbentuk dengan kuat.

Tantangan terbesar saya, ternyata, adalah bahwa saya tidak bisa menulis atau bercerita (secara tertulis maupun lisan) kepada teman-teman saya.

Saya kangen bercerita dengan teman-teman saya—dengan kamu—dan berbagi impresi dengan mereka—dengan kamu. Saya kangen teman-teman saya—kangen kamu. Dibutuhkan 10 hari hening untuk membantu saya menyadari betapa berbagi dengan teman-teman saya—dengan kamu—demikian berharga buat saya.


Bukit-bukit dan awan yang terhampar di hadapan saya memberikan pelajaran keduanya:”Bersabarlah. Tunggu hingga proses ini berakhir, tunggu sampai semua ini terang bagimu, kemudian berbagi ceritalah”.

Sang rembulan, yang terus bertahan di langit hingga jam tujuh pagi hari itu, menguatkan pelajaran ini: "Teman-temanmu akan tetap ada di situ ketika kau selesai, menunggu dirimu untuk kembali pada mereka.”

Malam terakhir

[English]
Malam itu adalah malam terakhir saya di Pacung untuk TB2. Hari berikutnya adalah saat kami menyudahi masa hening, hari-hari meditasi pun akan berakhir, dan saya akan melanjutkan perjalanan.

Jadi larut malam itu, saya duduk di teras saya, menatapi taman yang telah menggelap sedari tadi dan langit malam gemintang yang terbentang di atas saya.

Saya tersenyum dan berterima kasih pada mereka—pada malam, bintang, kolam, air mancur, sawah, taman, hewan, angin—atas pengalaman penuh berkah ini. Satu-satunya sahabat perjalanan di kala doa-doa malam terpanjatkan.

Malam demikian benderang. Saya belum pernah melihat langit demikian bertabur bintang di Indonesia. Namun bulan tak tampak. Saya sedikit bertanya-tanya kemana dia. Tak mengapa. Saya tahu ia ada di sana, entah dimana tepatnya tapi ada. Saya tetap menghaturkan senyum padanya.

Saya menimbang-nimbang untuk pergi tidur, namun sesuatu dalam diri mengajak untuk bertahan barang sejenak lagi. Jadi saya terus duduk dan berbincang dengan alam malam yang ramah, dekat dan hangat.

Kemudian malam mempersembahkan pertunjukan puncaknya untuk kali terakhir: Sebuah bintang jatuh yang gemilang dan—tampak—penuh warna. Cepat! Sebutkan sebuah keinginan!

Saya tidak dapat menahan senyum. Baik sekali.

Malam telah mengucap kata terakhirnya. Ia lantas mengizinkan saya untuk beranjak ke peraduan.

Perhatikan alam merekah

[English]
Bagaimana caranya ini..











Berubah menjadi ini..











Kemudian ini..











Sebelum sepenuhnya berkembang menjadi ini..









Perhatikan bagaimana alam merekahkan keindahannya.

X menandai titiknya

[English]
Lihat gambar di kiri ini? Gambar yang saya ambil ketika saya sedang bermeditasi dengan Bali Usada di Pacung, Bali.

Bila kita berdiri pas di situ dan tubuh mengarah ke titik bertemunya dua bukit di hadapan kita, kita dapat mendengar air mengalir dari tiga sumber berbeda: sungai kecil di depan, kolam di belakang, dan air mancur di kanan.

Tapi Anda tidak akan dapat melihatnya. Anda pun tidak akan dapat mendengarnya.

Titik luar biasa itu disediakan oleh alam khusus untuk saya. Hanya untuk saya. Dan saya tidak akan berbagi dengan siapa pun!

Terbang kembali

[English]
Saya tengah duduk di ruang makan ketika saya melihat ada burung terjatuh ke tanah. Jatuhnya cukup keras. Saya menjulurkan kepala, mencoba melihat kenapa burung itu bisa terjatuh. Ternyata ada anak-anak yang melempar burung tersebut dengan batu. *geram*

Kedua anak itu berlari-lari dengan semangatnya mendekati sang burung. Saya memandangi mereka, tak tahu mesti apa. Hanya terduduk dan menatap.

Jarak antara anak dan burung tinggal dua meter ketika tiba-tiba wooshhh sang burung mengangkasa kembali. Terbang gagah meninggalkan kedua anak dengan tangan hampa.

Sayang saya sedang dalam keadaan hening. Kalau tidak, saya akan bertepuk tangan dan bersorak untuk sang burung. Nilai sementara: Burung 1, Manusia 0.

Dalam komedi, waktu memang krusial, teman. Waktu memang krusial.

Monday, August 11, 2008

Apa niatmu?

[English]
Ketika kita berargumen dengan klien kita untuk membela tim kita, apakah kita melakukannya atas nama profesionalisme, kecintaan pada tim kita, atau atas nama amarah terhadap klien tersebut?

Ketika kita menghentikan seorang ayah dari memukul anaknya (naudzubillahi min dzalik), apakah kita melakukannya atas nama cinta terhadap sang anak, atau dengan rasa muak kepada si ayah?

Ketika kita berteriak “hentikan korupsi!”, apakah kita melakukannya atas nama keadilan dan kesejateraan bagi seluruh lapisan masyarakat, atau dengan rasa benci terhadap para koruptor?

Kemarahan, rasa muak dan benci adalah emosi negatif, apapun alasannya. Mereka menimbulkan luka dan cacat pada jiwa. Mereka menodai bahkan itikad terbaik sekalipun. Baek-baek.

-dari ceramah Pak Merta Ade

Kepompong

[English]
Tahukah Anda kalau ulat harus menemukan jalan keluarnya sendiri dari kepompongnya untuk menjelma menjadi kupu-kupu?

Kalau, misalnya, Anda berniat baik membantu sang ulat dengan menggunting kepompongnya, maka calon kupu-kupu itu tidak akan memiliki otot sayap yang cukup kuat untuk terbang.

Jika Anda berusaha memudahkan upayanya, maka si calon kupu-kupu ini tidak akan melewati suatu proses latihan otot ketika ia menggeliat merangkak keluar dari kepompongnya.

Kadang kita memang perlu menjalani dan melewatinya sendiri untuk benar-benar memahami dan membangun otot tubuh dan pikiran kita. *Mode justifikasi: aktif ;)*

-dari ceramah Pak Merta Ade

Gambar diambil dari sini.

Obrolan dengan Pak Merta Ade

[English]
Saya tidak ingat kapan terakhir kali seorang guru (atau atasan) saya begitu antusias terhadap apa yang saya lakukan, bahkan lebih antusias dari saya sendiri. Itu yang saya rasakan ketika saya berbincang dengan guru meditasi Bali Usada saya Pak Merta ada di hari ketiga TB2.

Saya menghampiri terasnya. Begitu beliau melihat saya mendekati, Pak Merta Ade bangkit dari duduknya dan dengan senyum lebar dia menatap mata saya dan menjabat erat tangan saya. “Saya senang sekali Eva ikutTB2. Eva sudah ikut TB1 dan sekarang TB2. Bagus. Bagus sekali," ujar beliau dengan semangat. Saya merasa tersanjung.

Perbincangan berlangsung. Saya ceritakan padanya apa yang menjadi tantangan saya selama bermeditasi.

Saya katakan betapa saya merasa tidak nyaman setiap kali berusaha merasakan keenam karakteristik elemen tanah di tubuh ini.

Say bilang setiap kali saya berada di tahap tanah, saya cepat-cepat beranjak dari satu karakteristik ke karakteristik berikutnya.

Pak Merta mengulas, “Itu berarti Eva sudah cukup sensitif untuk merasakan elemen tanah. Kemudian kalau Eva merasa sudah siap, Eva bisa coba bertahan di situ sedikit lebih lama, merasakan sensasi yang timbul dan mengamati perubahan yang terjadi, bahwa semua akan berubah cepat atau lambat.”

Saya kagum betapa beliau dapat mengatakan semua itu secara positif. Pak Merta tidak memarahi saya karena berusaha untuk menghindari segala ketidaknyamanan itu dan bilang kalau "kamu salah. Itu bukan cara yang seharusnya kamu lakukan. Jangan lemah gitu. Hadapi rasa sakit dan ketidaknyamanan itu.”

Sebaliknya, beliau menggunakan kata-kata “Kalau Eva merasa sudah siap." Tidak ada satu kata pun yang bersifat penilaian berlebihan atau negatif dalam kalimat-kalimatnya.

Karena itu beliau adalah guru dan saya muridnya ☺

Kesepakatan dengan Tuhan

[English]
Tiga hari pertama dalam Tapa Brata saya merupakan [berhenti sejenak, mencari istilah positif untuk memaparkannya] 'yang paling kurang menyenangkan’ bagi saya.

Tubuh dan pikiran (atau jiwa) beradaptasi dengan gaya hidup, kegiatan dan jadwal harian yang baru.

Setiap sendi tubuh terasa sakit. Kurangnya (atau ketidakadaannya) konsentrasi. Kaki kesemutan dan terkadang keram. Udara demikian dingin. Otak ini tampak tak sanggup memahami apa yang harus ia lakukan atau rasakan selama bermeditasi.

Hari pertama. Hari kedua. Hari ketiga. Sungguh, menantang, bahkan membuat frustrasi.

Jadi malam hari ketiga, setelah semua orang kembali ke kamarnya masing-masing dan saya pun kembali ke kamar saya, saya duduk untuk memanjatkan doa di larut malam dan berbincang dengan Tuhan.

Saya mengusulkan kesepakatan dengan-Nya. Saya katakan, kurang lebih dalam kata-kata berikut, “Gini ya, Tuhan, saya dengan senang hati menjalani semua itu kalau memang itu yang Kau mau, tapi bantuin saya donk. Mudahkan proses ini buatku.”

Iya, saya tetap saja lugas, langsung dan tegas bahkan dengan-Nya sekalipun.

Saya harus mengingat-ingat 'doa' ini karena tampaknya cukup efektif.

Hari keempat, saya terjaga dari tidur dengan tekad kuat. Saya katakan pada diri bahwa saya harus dapat melalui ini semua. Saya merasa layak Po dalam Kungfu Panda ketika keempat pahlawan memberikannya pelajaran yang cukup keras (dalam arti sebenarnya) ketika mereka berlatih bersama untuk pertama kali.

Po jatuh dan jatuh lagi. Namun setiap terjatuh , dia bangkit kembali--dengan antusiasme yang tak dapat dimengerti dengan akal sehat--dan berteriak, “Woo hoo! Keren abissss. Yuk, kita lakukan lagi yuk!”

Saya merasa seperti itu. Saya berjanji pada diri bahwa saya akan berusaha melakukan yang terbaik, meskipun saya tidak bisa berkonsentrasi 100% atau kaki dan punggung ini terasa sakit.

Jadi, mulai saat itu, saya menerapkan regim yang baru. Saya datang ke setiap sesi meditasi dengan rajinnya. Saya duduk diam di setiap sesi meditasi yang berlangsung selama 45-60 menit itu. Saya mendisiplinkan diri untuk menarik kembali pikiran saya yang melayang ke sana ke mari (untuk keseribu kalinya) selama meditasi.

Saya melakukan semua shalat dan doa saya. Saya menjalani latihan yoga saya. Saya berjalan mengelilingi taman untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Saya bahkan dengan rapinya melipat selimut, pashmina dan jaket saya setiap kali selesai satu sesi meditasi. Saya berjanji pada diri untuk tersenyum setiap kali saya memulai dan menyudahi meditasi.

Pagi itu saya duduk menghadap bukit-bukit saat matahari mulai menyapa dunia, saya merasa Tuhan mengangguk, menyetujui usulan kesepakatan saya. Awan beranjak naik meninggalkan bukit di hadapan saya. Di belakangnya, saya melihat bukit yang lain, dan yang lain, dan yang lain. Kejelasan pandangan. Saya tersenyum. Mereka tersenyum balik kepada saya.

Saya beranjak keluar dari ruang makan dan mengangkat kepala saya, menengok langit yang terbentang tepat di atas kepala. Sang bulan masih terpekur di sana. Jam tujuh pagi dan bulan masih ada di situ. Seperti ia berusaha bertahan hingga tegukan napas terakhirnya, mengumpulkan segala daya untuk melihat hasil akhir episode perbincangan saya dengan Tuhan, menyemangati dan tersenyum sepanjang jalan saya.

Saya kembali tersenyum. Saya akan baik-baik saja.

Alam yang statis, pengalaman dinamis

[English]

Di sinilah saya menghabiskan 11 hari meditasi TB2 saya.

Mengagumkan betapa gambar alam yang demikian statis dapat menyajikan pengalaman yang begitu kaya dan dinamis. Ada saja pelajaran baru setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik. Tergantung seberapa terbukanya kita terhadap pengalaman yang disajikan.

10 hari berdiam diri

[English]
Tahap kedua dari perjalanan: 11 hari meditasi Tapa Brata II (TB2), dikelola oleh Bali Usada, di Pacung (dimana pun itu di Bali. Geografi memang tidak pernah menjadi salah satu kekuatan saya).

Dari 11 hari tersebut, 10 hari di antaranya saya jalani dalam keadaan hening (noble silence).

Saya belum pernah melakukan meditasi selama sebelas hari sebelumnya. Klise memang, selalu ada saat pertama bagi segala yang terjadi. Saya pernah mengikuti meditasi tujuh hari, tapi belum pernah sebelas.

Suatu pengalaman yang berbeda. Suatu pengalaman berharga.

Seperti biasa, orang-orang di sekitar selalu menarik perhatian saya. Apalagi yang ini. Sekumpulan orang yang tidak sekedar ingin iseng mencoba-coba bermeditasi untuk pertama kalinya.

Mereka sudah menjalani beberapa tradisi meditasi. Mereka telah mengikuti Tapa Brata 1. Entah bagaimana, mereka tentu berpikir ada manfaatnya dan memutuskan untuk melanjutkan ke TB2.

Saya disapa oleh alam yang demikian indah dan hidup yang begitu sederhana, berbincang dengan teman-teman (pada saat hening belum dimulai atau telah lewat) dan Pak Merta Ade, membuat suatu kesepakatan dengan Tuhan sekedar untuk mampu menjalani ini semua, dan melakukan berbagai rendez-vous dengan pekatnya malam di Pacung.

Begitu banyak yang ingin saya ceritakan sehingga saya memutuskan—seperti halnya pengalaman saya beryoga—untuk membaginya dalam beberapa entri. Saya kangen berbagi ini semua dengan teman-teman—dengan kamu.

Selamat menikmati. Pelan-pelan.

Sunday, August 10, 2008

Ruang yang terbuka bagi semua

[English]
Saya suka sekali kamar ini.

Jujur saya tadinya berharap mendapatkan kamar lain, yang ada di bagian lebih belakang dari penginapan ini. Kamar-kamar di belakang memiliki tata ruang dan perabot yang lebih cantik dan tradisional, memiliki pemandangan yang lebih indah dan terletak lebih dekat dengan peserta yoga lain.

Rupanya saya terlalu cepat berbicara.

Kamar saya itu, kamar saya yang lebih sederhana dan terpencil itu, adalah sempurna. Pertama, kamar ini sebenarnya nyaman dan mencukupi. Semua berfungsi dengan baik.

Kedua, saya punya tetangga yang pas. Sesama peserta yoga yang entah bagaimana memiliki latar belakang profesional (dan personal) yang mirip dengan saya. Jadi kami langsung nyambung.

Ketiga, kamar ini merupakan kamar terdekat ke ruang yoga kami. Lima menit ekstra yang demikian berharga. Orang lain harus sudah mulai berjalan ke kelas, saya masih bisa leyeh-leyeh sebentar.

Selain itu, dan ini yang paling ok, kamar ini menghadap jalan kecil yang harus dilalui oleh semua orang ke kelas yoga atau kemana pun. Dilengkapi dengan teras depan cantik, saya merasa memiliki rumah mungil menyenangkan yang menyambut setiap teman atau tamu yang kebetulan lewat.

Mencukupi, nyaman, terbuka dan hangat. Sebuah rumah impian.

Terima kasih atas antusiasmenya

[English]
Pesan singkat melalui HP saya terima ketika saya di Bali.

Dia: "Hai Va, kita ketemuan hari ini?”
Saya: "Gak, kita ketemu dua minggu lagi. Tapi terima kasih lho untuk antusiasmenya :D”

Saya tahu teman saya tentu sekedar lupa atau punya alasan lain yang lebih logis, tapi biarkan saya untuk berpegang pada yang satu ini ;)

Ingin seperti pertama kali

[English]
Saya tengah duduk diam menatapi tarian Kecak malam itu. Saya melihat teman-teman non-Indonesia saya mengagumi gerakan tarian Kecak yang demikian dinamis. Tapi saya tidak. Saya lupa sudah berapa kali saya menonton tarian ini.

Namun sebagian dari diri saya berharap ini adalah kali pertama saya menyaksikannya. Saya berharap saya dapat mengalami rasa yang sama seperti mereka yang tengah menikmati tarian ini untuk pertama kalinya.

Seperti seorang anak kecil yang melihat semua untuk pertama kalinya dan secara spontan dan lincah menjadi sangat bersemangat.

Menyenangkan sekali bukan apabila kita bisa memiliki antusiasme layak anak kecil seperti itu?

Putaran tubuh dan keseimbangan

[English]
Saya sangat menyukai filosofi yang melatari gerakan yoga. Berikut tiga hal yang saya catat dari sesi saya dengan Ann Barros.

Keseimbangan dalam pose pohon
Kami tengah melakukan pose pohon (tree pose). Biasanya pelatih kerap menyuruh kami untuk memfokuskan pandangan pada satu titik selama melakukan pose tersebut untuk menjaga keseimbangan tubuh.

Tapi bukan Ann. Ann justru mengatakan yang sebaliknya. "Coba gerakkan pandangan Anda dari satu titik ke titik lain. Tubuh Anda harus tetap seimbang. Keseimbangan hendaknya datang dari dalam.”

Putaran tubuh (twist)
Setiap kali sesi akan berakhir, Ann mengajak kita untuk memutar tubuh. Putaran seperti ini, menurut filsuf yoga, melepaskan kemarahan serta kesedihan mendalam. Duh.

Kalau twist saja bisa begitu, gimana kalau twist-and-shout ya? ;)

Savatsana
Setiap sesi yoga hendaknya diakhiri dengan pendinginan/relaksasi. Salah satu yang dilakukan adalah savatsana atau corpse pose.

Pose ini dikatakan berguna untuk merilekskan tubuh, menurunkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit di kepala, kelelahan dan insomnia, menenangkan otak serta membantu mengurangi stres dan depresi ringan.

Savatsana selalu ditaruh kedua terakhir (sebelum meditasi) dalam sesi yoga. Saya senang sekali setiap mendengar Ann mengatakan--seraya kita melakukan savatsana, "Apabila Anda sudah siap, Anda dapat membangunkan tubuh Anda kembali sambil tetap menjaga keberadaan savatsana dalam diri.”

Sekarang sudah mulai dipahami belum kenapa saya demikian mencintai yoga? :)

Bekerja @ Ubud

[English]
Email ke seorang klien seminggu sebelum saya berangkat ke Bali: "Hai. Sekedar mengingatkan. Saya akan pergi ke Bali dalam waktu seminggu. Apakah Mbak masih membutuhkan bantuan saya? Kalau ya, bolehkah kita selesaikan semua sebelum saya pergi?”

Email ke klien yang sama dua hari sebelum saya pergi: ”Hai. Bolehkah saya mendapat kepastian bahwa kita sudah bisa bergerak ke tahap selanjutnya? Saya akan pergi dua hari lagi. Tapi kalau dibutuhkan, saya masih bisa bekerja hingga tanggal 22 pagi. Tanggal 22 siang, saya akan memulai meditasi saya dan akan mematikan hp serta koneksi Internet saya.”

Saya menerima email dari klien saya tepat pada hari saya pergi ke Bali. Jadi pekerjaannya harus saya selesaikan selama saya di Bali. Saya mengakses Internet dan ngobrol dengan teman saya. Saya ceritakan padanya bahwa saya sedang di Bali dan sedang bekerja.

Teman saya hanya bertanya satu hal, “Bagaimana perasaanmu?” Pertanyaan yang bagus. “Baik-baik saja” jawab saya, "Saya sama sekali tidak keberatan melakukan pekerjaan ini sekarang.”

“Bagus. Hanya itu yang penting." adalah tanggapan yang saya dapatkan darinya.

Teman saya benar. Perasaan baik-baik saja, tidak keberatan, menganggap semua ringan atau bahkan dengan sejumput (atau lebih) suka cita adalah penting, apapun yang tengah kita hadapi.

Yoga di Bali

[English]
Juli lalu, saya mengikuti kursus lima hari Iyengar Yoga bersama Ann Barros. Ini kali ke-dua saya mengikuti kelasnya.

Tampaknya saya demikian menikmati kelasnya yang dulu sehingga saya dengan senang hati kembali ke Ubud untuk mengikutinya lagi.

Hm, sebenarnya sih, saya akan kembali ke Ubud untuk alasan apapun.

Saya sangat menyukai kelas-kelas Iyengar. Tradisi Iyengar memberikan perhatian khusus pada presisi (saya banget gak sih☺) dan keselarasan dalam setiap posturnya.

Tradisi ini menggunakan berbagai alat bantu khusus seperti tali-tali, bantal, selimut tebal, kursi dsb untuk membantu praktisi mengalami kesempurnaan dalam postur.

Karena itu, kelas ini terasa sebagai kursus penyegaran untuk mengingatkan saya bagaimana postur-postur yoga itu sebenarnya. Anda harus menyaksikan sendiri bagaimana Ann berkomentar dan membetulkan postur kami serinci mungkin--yang kadang terasa tidak nyaman pada saat kita berada dalam keadaan terbalik (kaki di atas, kepala di bawah). Dia juga senang menyelipkan satu dua catatan filosofis yoga. Senangnya!

Kami tinggal di penginapan Kebun Indah. Saya menempati sebuah kamar yang sangat menyenangkan dan bertemu beberapa teman yang sama menyenangkannya.

Sarapan adalah salah satu momen favorit buat saya. Kami berkumpul di kamar terbesar dan bersama-sama menyantap sarapan. Nyam nyam.

Saat-saat itulah kami bisa saling bercerita. Waktu sarapan adalah saat saya bisa mendengarkan cerita luar biasa dari teman-teman baru saya. Orang lain memang benar-benar cermin dari kita semua. Cermin-cermin tercinta.

Pada waktu luang, saya menjelajahi Ubud, kadang sendiri (dengan buku!), namun kadangkala dengan teman untuk ngopi, makan siang, makan malam, atau pun menonton pagelaran tari Kecak. Sekali dua kali meng-sms teman-teman. Dan terkadang, bekerja ;)

Saya menapaki jalan-jalan alternatif di Ubud dan tetap bisa merasakan betapa mengagumkannya mereka.

Beberapa bahkan lebih menarik ketimbang jalan-jalan utama sesak dengan toko turis.

Saya menyadari bahwa telah lama saya tidak berjalan-jalan sendiri. Kangen pengalaman itu.

Namun kini saya telah menemukan sensasi berada bersama diri lagi. Menyenangkan mengalami rasa itu kembali. Lebih senang lagi karena rasa itu datang dibarengi oleh teman-teman baru, Ubud dan Iyengar Yoga yang demikian indah.

Terima kasih, Ann. Terima kasih, teman-teman. Terima kasih, Ubud. Seperti yang dikatakan oleh Arnold the Governator, “Saya akan kembali!” Saya janji.

Catatan untuk diri: harus mendapatkan foto teman-teman dan taruh di sini.

Saturday, August 02, 2008

Di hari pernikahanmu

[English]
Maafkan bila aku tak dapat hadir pada salah satu hari terpenting dalam hidupmu.

Aku tak akan banyak memberi alasan, karena rentetan kata apa pun yang akan kumuntahkan dari mulutku akan terasa hambar di telinga maupun hatimu.


Namun hati dan doaku akan tetap hadir bersamamu, terutama di hari istimewamu ini. Aku berdoa agar dirimu dan pasangan dianugerahi hidup yang bersimbah kebahagiaan sederhana dan cinta sejati.

Semoga kalian berdua dapat membentuk suatu kemitraan spiritual seumur hidup yang patut menimbulkan iri di hati semua makhluk.

Sebuah kemitraan yang mengizinkan masing-masing kalian untuk saling mendukung dalam bertumbuh dan mewujudkan potensi diri seutuhnya--dengan ikhlas dan penuh kebahagiaan.

Saat tidak ada lagi yang disebut dengan "pengorbanan", karena memang tak ada yang merasa menjadi korban ataupun mengorbankan sesuatu. Ketika setiap hari dipandang sebagai satu lagi keajaiban dan hadiah istimewa dari Tuhan.

Semoga kalian berdua dapat menyambut pagi, menapaki hari, dan beranjak tidur dengan pemahaman dan rasa syukur akan ternikmatinya hidup dan cinta terindah yang pernah ada.