Wednesday, May 23, 2007

Pendidikan dan UKM

[English]

Saya inget suatu hari pernah menyusuri bantaran kali yang ada di Jakarta, tempat rumah-rumah kumuh berdiri. Saya bertanya ke teman saya, gimana cara menghilangkan rumah-rumah itu. Dia cuma bilang, entaskan kemiskina. Bener banget. Bagaimana caranya?

Pendidikan dan pengembangan UKM. Saya benar benar benar percaya bahwa dua hal itu akan membantu membangkitkan kembali negara saya. Jangan minta saya untuk memberikan penjelasan panjang lebar alasan kuatnya. Karena saya tidak punya.

Pendidikan. Tidak perlu dijelaskan toh.

Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Mayoritas perusahaan di Indonesia dikategorikan sebagai usaha kecil atau menengah. Mayoritas. Terbayang gak kalau kebanyakan dari mereka berkembang dan maju? Kebayang betapa kuatnya gak ekonomi kita?

Kembali, gimana caranya?

Pertanyaan bernilai sejuta dolar. Saya akan mengutip teman lain ketika saya bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan?” Dia bilang: lakukan apa yang kita bisa. Pas banget. Kita kebanyakan mikir. Berhenti berpikir, mulai bekerja.

Apa yang bisa kita lakukan? Banyak sekali. Lihat keluarga orang-orang yang kerja untuk kita. Office Boy. Supir. Pembantu. Pedagang kaki lima yang tiap hari keliling melewati rumah kita.

Punya waktu luang, ketrampilan tertentu? Jadi relawan. Ikutlah kegiatan sosial di sekitar kita, apa pun yang kita anggap paling sesuai buat kita, gak terlalu penting apa itu.

Suka nulis? Ya nulis donk. Dimana pun.

Punya uang? Sumbangin. Kurangi jumlah kopi starbucks yang dibeli tiap bulan, kurangi empat saja, dan berikan uangnya ke orang-orang yang membutuhkan.

Jadi orang yang benar-benar profesional dalam pekerjaan, apa pun pekerjaan kita. Gak ada tuh korupsi. Gak ada istilah mengeluh. Kalau kita konsultan, ya berikan konsultasi yang baik. Kalau kerjanya jadi perencana bisnis, ya rencanakan dengan benar. Kalau jadi kasir, hitung dengan benar. Punya kerja? Kalau gitu kita termasuk yang beruntung.

Senyum dan sapa orang yang membukakan pintu buat kita, orang yang mbersihin meja kita tiap hari, yang menyupiri kendaraan kita ke kantor, orang-orang yang tiap hari kita temui di lift kantor.

Kalau masih tetap ngerasa gak mampu membantu, minimal jangan perburuk situasi. Sudah terlalu banyak tanda-tanda yang diberikan. Apa lagi yang kita tunggu?

Mulailah melakukan sesuatu. Apapun itu.

Akhir pekan yang menyenangkan sekali..

[English]

Sebenarnya saya sudah berencana pergi dengan beberapa teman. Tapi mereka membatalkan di saat-saat terakhir. Saya cuma mengatakan “ya udah.” Dan langsung berpindah ke Plan B. Rencana B: pergi bareng para sahabat saya. ‘Kebetulan’ mereka memang berencana pergi ke tempat yang sama. Klop.

[Nanti ya saya upload fotonya]

“Gak marah loe?” beberapa orang bertanya.

Gimana saya mau marah, kalau Plan B saya adalah pergi bareng sahabat-sahabat saya? Bahkan mungkin saya harus berterima kasih sama teman-teman saya yang membatalkan rencana jalan-jalan kita itu.

Akhir pekan yang sangat menyenangkan. Terima kasih ya.

Tuesday, May 15, 2007

"Wah, saya tidak tau"

[English]

Saya membaca tulisan ini lebih dari sepuluh tahun lalu di Kolom zodiak Daily Mail Skotlandia. Sepuluh tahun silam, tapi saya masih mengingatnya. Kata-katanya begini:

"Buat kamu, kata-kata yang paling sulit terucap bukanlah "Maafkan saya", tetapi "Saya tidak tahu."

Saya tidak tahu apakah saya harus tertawa atau tersinggung membacanya. Kata-kata yang sering terucap dan terasa akrab di telinga seperti "Tau donk pasti", "Oh saya kenal tuh orang yang tahu hal itu", atau "Saya gak gitu yakin, tapi sebentar, saya cari tahu dulu."

Hal-hal yang saya lakukan untuk memperumit hidup.

Sunday, May 06, 2007

Catatan: Mi'raj--langit II dan III (oleh A. Chodjim)

[English]

Setelah sebelumnya membahas lapisan Adam, yang mencerminkan tingkat upaya kita untuk melepaskan diri dari kemelekatan pada dunia, kita memasuki lapisan ke-dua.

Saat mi’raj, pada lapisan langit ke-dua Muhammad bertemu dengan Isa dan Yahya. Yahya dalam bahasa Arab berarti hidup, sementara Isa diriwayatkan dapat menghidupkan orang mati.

Pada lapisan ke-dua kita mempelajari bagaimana—mencoba menjadi—manusia yang dapat memaknai hidup, dan bahkan memberikan ‘kehidupan’ kepada orang lain.
Beberapa hal yang dapat kita pelajari dalam lapisan Yahya dan Isa:
* Berserah diri.
* Tidak memihak kecuali kepada kebenaran.
* Sanggup menghadapi cobaan.
* Semua itu adalah milik-Nya.
* Bebas dari keterikatan materi.

Dari situ, kita memasuki lapisan ke-tiga – Yusuf: untuk melihat keindahan di balik keindahan.

Ada tujuh hal yang melatarbelakangi kecerdasan Yusuf (yang menunjukkan betapa tingginya kesadaran beliau):
* Melihat keindahan di balik keindahan.
* Lebih baik di penjara daripada mempermalukan orang.
* Menyelamatkan orang banyak daripada diri sendiri.
* Memaafkan dan tidak memiliki dendam.
* Hanya menerima tugas yang benar-benar dikuasai.
* Senantiasa menjaga tutur kata yang baik.
* Beragama yang bersih.

Semua ini proses. Pak Chodjim bilang, “Gak bisa sa’ det, sa’ nyet”. ☺ Tapi harus dimulai. Dan mulai dari diri sendiri, kalau bukan kita yang mau mulai, siapa lagi.

Hanya orang yang sudah dapat memaknai hidup dan memberikan kehidupan bagi yang lain (melewati lapisan Yahya dan Isa) yang bisa melihat keindahan di balik keindahan (lapisan Yusuf); dan hanya orang yang sudah bisa melebihi kehidupan material (lapisan Adam), yang bisa memberikan kehidupan bagi yang lain.

Catatan lengkap dapat di-download di sini.

Terima apa yang bisa diterima, hargai perbedaan di antara kita. Masing-masing dengan kebutuhan dan tahap pertumbuhan jiwanya.

Saturday, May 05, 2007

27 tahun mengelola sekolah untuk anak tak mampu

[English]

Saya baru saya mengunjungi sekolah yang dikelola oleh teman ibu, Ibu Su’dan. Beliau bersama almarhum suaminya mendirikan sekolah ini tahun 1980 di bawah Yayasan Ittiqon untuk anak-anak kurang mampu di kawasan Jakarta Utara.

Mereka memulai dengan hanya kurang dari 10 tahun dengan bangunan gedek. Mereka mengunjungi rumah-rumah sekitar untuk meminta ijin pada para orangtua agar anaknya diperbolehkan sekolah. “Ah buat apa. Paling nanti anak saya juga jadi pemulung”.

Duapuluh tujuh tahun telah lewat. (Ampun, 27 tahun!). Kini sekolah menampung 800 murid SD dan SMP. Gratis. Beberapa kalau mau bayar, disilakan semampunya. Beberapa anak malah menabungkan uang jajannya untuk mencicil uang sekolah sebisa mereka.

Empatpuluh dua sosok luar biasa mengajar di sekolah ini, dengan ‘gaji’ jauh di bawah UMR. Mereka mengajar, membersihkan sekolah dan bahkan kalau dibutuhkan, memasak buat anak-anak muridnya.

Kadang-kadang, anak-anak mendapat sumbangan susu, nasi atau roti keju. Ibu Sudan bercerita kalau ada beberapa anak yang ketika itu belum pernah merasakan keju. Jadi begitu mereka diberi roti keju, mereka buang. “Asin, Bu,” ungkapnya jujur. Susu pun pada awalnya membuat para murid murus karena tidak terbiasa.

Saya begitu bangga ketika mendengar bahwa murid dari sekolah itu termasuk ranking lima besar murid dengan nilai UAS terbaik se-Jakarta Utara.

Murid-murid yang telah menyelesaikan tingkat SMA mendapat beasiswa untuk memasuki program D3 UIN Syarif Hidayatullah, untuk kemudian kembali ke sekolah sebagai pengajar. Satu siklus telah dilalui dengan mulia.

Kini sekolah Ittiqon baru selesai membangun dua buah kelas baru. Mereka telah dijanjikan oleh sebuah organisasi bantuan untuk membangun 15 kelas lagi .

Masih banyak yang harus dikerjakan. Ini wish list saya:
  • Pemberian susu atau nutrisi lain mingguan.
  • Pemeriksaan kesehatan anak didik.
  • Buku-buku atau alat pendidikan lain.
  • Gaji guru yang lebih baik.
  • Bonus untuk guru.
  • Gedung yang lebih memadai.
  • Dan harapan bahwa anak-anak ini bisa menjadi manusia yang lebih besar, ketimbang kita semua.

Berminat?


Mulailah melakukan sesuatu. Apapun itu.