Wednesday, November 28, 2007

Telah dibuka: JakartaDoYoga!

[English]
Senang rasanya teman saya, Yusni, sudah berhasil mewujudkan impiannya untuk membuka studio yoga, Jakartadoyoga. Di tengah-tengah kota Jakarta.

Saya mengunjungi acara pembukaan studionya Sabtu lalu. Acaranya dijuluki “Walking meditation and yoga all day long.” Di acara ini jakartadoyoga menyelenggarakan meditasi bergerak ke salah satu taman di dekat studio, satu sesi yoga di taman, dan lima kelas yoga lainnya di studio sepanjang hari. Cara yang pas untuk meluncurkan sebuah studio yoga.

Yang paling saya suka tentang Yusni, studionya, atau pun semua acara yang ia gelar adalah bahwa kalau kita datang ke sana, rasanya kita datang ke acara teman. Tidak terasa ada jarak antara penyelenggara dan peserta.

Dan di sana kita benar-benar bisa merasakan betapa semangatnya si Yusni terhadap yoga. Saya bertandang ke studionya dan bisa merasa bahwa si pemilik tempat ini telah mencurahkan hatinya kepada persiapan dan manajemen studionya.

Salut kepada Yusni, studionya dan seluruh penggemar yoga di Jakarta maupun di seluruh pelosok dunia lain. Kuddos.

Untuk informasi lebih lanjut, kunjungi www.jakartadoyoga.com, email studio@jakartadoyoga.com, atau main-main ke Jl. Sunda No 7, Lantai 3, Menteng.

Thursday, November 22, 2007

Satu milyar lebih untuk inovator ICT

[English]
Microsoft Indonesia bersama SENADA, sebuah proyek untuk peningkatan daya saing yang didanai oleh USAID, hari ini meluncurkan program iMULAI, sebuah program kompetisi dan penghargaan berskala nasional bagi solusi inovatif untuk keperluan bisnis.

Program iMULAI bertujuan untuk menggugah semangat berinovasi dan menegaskan pentingnya inovasi di kalangan pebisnis Indonesia, serta mendukung terciptanya perekonomian Indonesia yang berdaya saing dan berbasis pengetahuan.

Kompetisi yang akan diselenggarakan hingga tanggal 31 Desember 2007 ini terbuka untuk semua perusahaan Indonesia (baik perusahaan yang baru mulai maupun yang sudah mapan) maupun organisasi non pemerintah.

iMULAI akan memilih tiga pemenang dengan gagasan inovasi paling menjanjikan dan paling berpotensi untuk memberikan dampak positif bagi industri Teknologi Informasi dan Komunikasi Indonesia.

Setiap inovasi ini akan menerima dukungan dalam bentuk piranti keras dan piranti lunak bisnis dari Microsoft senilai lebih dari Rp145.000.000 serta pendanaan hibah dari SENADA sebesar Rp220.000.000 untuk biaya pengembangan inovasi.

Untuk info lebih lanjut, kunjungi situs web iMULAI.

Tuesday, November 20, 2007

Serpihan dari alam semesta

[English]
[Pada suatu waktu, teman saya Hanny dan saya sendiri sedang mengalami kemacetan dalam menulis. Lantas kami memutuskan untuk saling menulis di blog yang lain -- saya tulis di blog Hanny, Hanny tulis di blog saya.

Jadi, teman-teman, berikut adalah tulisan blogger tamu pertama saya, Hanny, blogger yang situsnya mungkin merupakan satu-satunya situs blog yang secara rutin saya kunjungi.]

Dear Eva,

Saya tidak tahu apa-apa mengenai spiritualitas, meditasi, yoga, atau hal-hal indah lainnya yang dekat di hatimu. Tetapi, sebagaimana telah kita sepakati, mari memerankan Athena dalam The Witch of Portobello, dan saya akan mulai bercerita tentang hal-hal yang tidak saya ketahui sama sekali...

Sekitar setahun yang lalu, tiba-tiba saja, saya memutuskan untuk menggunakan kata 'splinters' ketika saya tidak ingin mencantumkan nama asli dalam tulisan-tulisan saya. Saya jatuh cinta pada kata itu semasa SMU, ketika saya menemukannya di dalam sebuah puisi oleh Edith Sodergran, The Stars.

Edith adalah penyair yang memperkenalkan modernisme Finland-Swedish dengan rima bebas dalam puisi-puisinya, dan tidak menerima banyak pujian atau perhatian semasa hidupnya, tetapi kini ia dipandang sebagai salah satu penyair terkemuka Finlandia.

Apakah menurutmu Edith terlalu maju dari masanya?
Apakah menurutmu ia menyerupai Athena-nya Coelho dalam The Witch of Portobello?

Terlepas dari itu, saya tidak ingin menganggap hal ini sebagai sebuah kebetulan, tetapi jika kamu mencari kata 'splinter' di dalam kamus, kata itu berarti "a small, thin, sharp piece of wood, glass, or similar material broken off from a larger piece" atau "kepingan / serpihan kecil, tipis, atau tajam dari kayu, kaca, atau materi sejenis yang terpisah/terpecah dari kepingan yang lebih besar".

Bagaimana jika kepingan yang lebih besar itu adalah semesta, Eva? Bagaimana jika saya adalah serpihan dari semesta? Bagaimana jika kita semua adalah serpihan dari alam semesta ini? Bukankah kita memang demikian adanya?

Jadi kini tidaklah sulit untuk membayangkan bahwa kita terhubung satu sama lain dengan suatu cara; bahwa kita mampu melakukan hal-hal yang mulia, bahwa pemikiran kita sangatlah magnetik dan mampu menarik hal-hal yang kita cintai semakin dekat kepada kita, bahwa kita mampu untuk mengupas rahasia semesta, satu demi satu setiap waktu.

Dan ini, Eva, inilah yang saya sebut spiritualitas.

Sesuatu yang telah ada di dalam diri kita semenjak lahir, mengaliri nadi kita dan memacu jantung kita; tetapi kita tetap mencarinya dalam perjalanan-perjalanan yang panjang dan melelahkan itu, hanya untuk mengetahui bahwa sebenarnya kita tidak pernah kehilangan apa-apa.

H.

[Saya gak ubah satu kata pun dalam tulisanmu Han. Karena memang tidak perlu.

Sudah cantik. Sebagaimana biasa.
]

Sunday, November 18, 2007

Satu bulan lagi

[English]
Ingat “perubahan besar dalam waktu dekat” yang pernah saya singgung beberapa waktu lalu? Nah ini dia.

Saya memutuskan untuk kembali ke habitat alami saya, freelancing. Untuk menjadi seorang communications specialist (jabatan yang saya tuliskan sendiri di kartu nama saya) secara freelance sekali lagi.

Dan kalau boleh jujur, sebenarnya, kali ini lebih dari itu.

Saya memiliki dua hal yang saya gandrungi pada saat ini (tiga kalau kita hitung juga keluarga saya). Pertama, komunikasi. Kedua adalah penyembuhan alami dan segala bawaannya (meditasi, yoga, spiritualisme, dsb).

Pada 2006, saya menyimpulkan bahwa saya tetap menyukai komunikasi. Saya masih menggemari dan bersemangat untuk bekerja di industri itu. Dengan syarat, harus dilakukan untuk suatu tujuan yang bermanfaat untuk masyarakat banyak. Jadi saya memutuskan untuk menfokuskan diri pada isu tanggung jawab sosial korporasi dan proyek pembangunan.

Ketika datang kesempatan untuk menjadi seorang manajer komunikasi penuh-waktu dalam sebuah proyek pembangungan (posisi yang masih saya duduki hingga sekarang), saya menyambutnya dengan gembira.

Satu tahun telah berlalu. Saya kini memiliki konklusi yang berbeda. Ternyata saya tetap tidak merasa 100% sreg dengan kondisi saya. Jiwa ini lelah. Begitu pun tubuh. Otak bingung memikirkan kenapa hal ini masih terus terjadi.

Kemudian datanglah The Witch of Portobello. Sebuah buku yang menempatkan saya dalam jalur kontemplatif yang sudah lama terlupakan. Saya sadar kalau saya harus memilih di antara dua kegandrungan saya tadi.

Meskipun demikian banyak pelajaran yang saya dapat, jaringan sosial/profesional yang terbangun, dan dampak yang telah diciptakan dalam waktu setahun terakhir ini, rasanya komunikasi sudah tidak terasa demikian menggairahkan. Untuk saya.

Saya membayangkan diri ini terus menjalani karir komunikasi dan saya tidak terlalu senang dengan apa yang terbayang. Saya tidak bisa melihat damai. (Tentu, mungkin saja ini hanya bayangan saya yang sangat terbatas).

Pilihan kini (lebih) jelas. Saya akan mengarah pada. Untuk keseribu kalinya, saya akan mendorong diri ini ke wilayah baru, di luar comfort zone saya. Untuk kembali menjadi murid. Saya sudah menemukan beberapa guru. Saya sudah mendaftar untuk dua kursus meditasi di bulan Desember. Suatu awal.

Seperti halnya menulis, komunikasi harus menjadi sebuah medium untuk sesuatu yang lebih besar, atau, secara pragmatis, menjadi cara untuk mencari sesuap nasi (dan segenggam berlian..). Fokus saya kini akan lebih pada penyembuhan.

Pilihan sudah jelas, namun tidak demikian dengan jalan di depan saya. Tak apa. Namanya juga proses. Saya akan mengambil langkah satu demi satu. Dengan bimbingan-Nya. Atau sesuatu agung dalam diri.

Saya mulai menghitung mundur kapan kapal ini mulai berlayar. Sekitar satu bulan dari sekarang. Ambil napas dalam-dalam.

Perubahan sudut pandang

[English]
Sudah agak larut dan saya masih ketak-ketuk di meja kantor saya. Ruangan sudah mulai menggelap. Mata ini terus menatap monitor komputer sampai waktu untuk pulang (akhirnya) tiba.

Saya memutar kursi saya untuk melihat ke jendela. Sekedar mengetahui seberapa macetnya kondisi jalan. Dan saya terkagum-kagum pada pemandangan yang terhampar di depan saya.

Langit jingga di atas bayangan gelap pencakar langit Jakarta.

Pemandangan ini sebenarnya sudah dari tadi stand-by di situ, siap untuk menghibur siapa pun yang dinaunginya tanpa pandang bulu, namun satu-satunya yang saya pandangi hingga detik itu adalah komputer saya.

Hal-hal yang bisa kita lihat, kalau saja kita mau mengubah sudut pandang kita.

Guru

[English]
Bulan ini saya diberkahi kesempatan untuk bertemu dengan (minimal) dua tokoh guru. Sosok yang menurut saya berhak dipanggil “guru”. Sosok dengan ilmu dan keahlian yang demikian tinggi tetapi tetap bisa bersikap sederhana, biasa-biasa saja, dan tidak sungkan untuk mengulurkan tangan.

Pak Budi. Seorang terapis craniosacral. Saya dikenalkan oleh seorang teman. Saya mengunjungi rumahnya suatu malam pada saat ia mengadakan sesi meditasi. Saya tidak terlalu bisa mengenalinya karena ia begitu berbaur dengan yang lain. Kira-kira 10 orang yang hadir mengobrol dan memulai meditasi. Pak Budi kemudian menjawab semua pertanyaan dari peserta dan bahkan dengan senang hati menerapkan penyembuhan ke salah satu hadirin.

Pak Irmansyah Effendi. Pendiri Reiki Tummo. Beberapa tahun lalu saya mengambil kelas Reiki Tummo tetapi belum pernah merasa sreg. Suatu hari seorang teman me-YM saya dan memberitahu akan adanya temu alumni akbar dengan Pak Irmansyah sebagai pembicara. Menarik.

Saya duduk di deretan terdepan. Sang pembicara belum hadir. Kemudian datang seorang muda dengan rambut agak acak-acakan dan baju hawaii biru-putih. Dia sibuk sendiri dengan memasang notebook dan LCD. Seorang perempuan yang duduk di samping saya bilang, “Pak Irmansyah?” dan dia tersenyum. Ya ampun, itu Pak Irmansyah? Wow. Kenapa dia begitu ‘biasa-biasa saja’?

Saya benar-benar menikmati sesi yang diselenggarakan Pak Budi dan pak Irmansyah.

Bulan ini saya juga ‘kehilangan’ seorang guru lain. Pak Pujo yang meninggal dunia bulan lalu. Saya hanya sekali bertemu dengannya namun kesan yang ia tinggali begitu dalam. Wafatnya beliau mengingatkan saya pada satu-satunya saat kami bertemu.

Orang-orang dengan kebijakan yang demikian agung dan kesederhanaan yang mendalam. Orang-orang yang berhak dipanggil “guru”. Dan saya bersyukur memiliki kesempatan untk bertemu dengan mereka.

Jika ditilik dari jumlah guru yang saya temui dalam waktu singkat ini, mungkin sekarang saatnya masuk sekolah lagi. Senang rasanya bisa menjadi murid kembali.

Wednesday, November 07, 2007

Buat mama dan papa

Tuhan, maafkan saya dan maafkan papa dan mama.

Sayangi mereka sebagaimana mereka menyayangiku ketika aku kecil. SEJAK aku kecil.

*pelukcium*