Monday, August 11, 2008

Kesepakatan dengan Tuhan

[English]
Tiga hari pertama dalam Tapa Brata saya merupakan [berhenti sejenak, mencari istilah positif untuk memaparkannya] 'yang paling kurang menyenangkan’ bagi saya.

Tubuh dan pikiran (atau jiwa) beradaptasi dengan gaya hidup, kegiatan dan jadwal harian yang baru.

Setiap sendi tubuh terasa sakit. Kurangnya (atau ketidakadaannya) konsentrasi. Kaki kesemutan dan terkadang keram. Udara demikian dingin. Otak ini tampak tak sanggup memahami apa yang harus ia lakukan atau rasakan selama bermeditasi.

Hari pertama. Hari kedua. Hari ketiga. Sungguh, menantang, bahkan membuat frustrasi.

Jadi malam hari ketiga, setelah semua orang kembali ke kamarnya masing-masing dan saya pun kembali ke kamar saya, saya duduk untuk memanjatkan doa di larut malam dan berbincang dengan Tuhan.

Saya mengusulkan kesepakatan dengan-Nya. Saya katakan, kurang lebih dalam kata-kata berikut, “Gini ya, Tuhan, saya dengan senang hati menjalani semua itu kalau memang itu yang Kau mau, tapi bantuin saya donk. Mudahkan proses ini buatku.”

Iya, saya tetap saja lugas, langsung dan tegas bahkan dengan-Nya sekalipun.

Saya harus mengingat-ingat 'doa' ini karena tampaknya cukup efektif.

Hari keempat, saya terjaga dari tidur dengan tekad kuat. Saya katakan pada diri bahwa saya harus dapat melalui ini semua. Saya merasa layak Po dalam Kungfu Panda ketika keempat pahlawan memberikannya pelajaran yang cukup keras (dalam arti sebenarnya) ketika mereka berlatih bersama untuk pertama kali.

Po jatuh dan jatuh lagi. Namun setiap terjatuh , dia bangkit kembali--dengan antusiasme yang tak dapat dimengerti dengan akal sehat--dan berteriak, “Woo hoo! Keren abissss. Yuk, kita lakukan lagi yuk!”

Saya merasa seperti itu. Saya berjanji pada diri bahwa saya akan berusaha melakukan yang terbaik, meskipun saya tidak bisa berkonsentrasi 100% atau kaki dan punggung ini terasa sakit.

Jadi, mulai saat itu, saya menerapkan regim yang baru. Saya datang ke setiap sesi meditasi dengan rajinnya. Saya duduk diam di setiap sesi meditasi yang berlangsung selama 45-60 menit itu. Saya mendisiplinkan diri untuk menarik kembali pikiran saya yang melayang ke sana ke mari (untuk keseribu kalinya) selama meditasi.

Saya melakukan semua shalat dan doa saya. Saya menjalani latihan yoga saya. Saya berjalan mengelilingi taman untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Saya bahkan dengan rapinya melipat selimut, pashmina dan jaket saya setiap kali selesai satu sesi meditasi. Saya berjanji pada diri untuk tersenyum setiap kali saya memulai dan menyudahi meditasi.

Pagi itu saya duduk menghadap bukit-bukit saat matahari mulai menyapa dunia, saya merasa Tuhan mengangguk, menyetujui usulan kesepakatan saya. Awan beranjak naik meninggalkan bukit di hadapan saya. Di belakangnya, saya melihat bukit yang lain, dan yang lain, dan yang lain. Kejelasan pandangan. Saya tersenyum. Mereka tersenyum balik kepada saya.

Saya beranjak keluar dari ruang makan dan mengangkat kepala saya, menengok langit yang terbentang tepat di atas kepala. Sang bulan masih terpekur di sana. Jam tujuh pagi dan bulan masih ada di situ. Seperti ia berusaha bertahan hingga tegukan napas terakhirnya, mengumpulkan segala daya untuk melihat hasil akhir episode perbincangan saya dengan Tuhan, menyemangati dan tersenyum sepanjang jalan saya.

Saya kembali tersenyum. Saya akan baik-baik saja.

No comments: