Sunday, June 29, 2008

Rambu dan simbol

[English]
Saya orang yang sangat percaya akan berbagai rambu dan simbol dalam hidup, rambu dan simbol dari kehidupan. Hidup gemar menyapa kita dengan beragam tanda, mengarahkan apa yang perlu kita pelajari dan lakukan.

Hari ini, hidup menyapa untuk berujar bahwa saya belum terlalu pandai membacanya.

Saya tengah berjalan menuju rumah seorang teman. Ia dengan baik hati telah mengirimkan peta rumahnya beberapa hari sebelumnya. Tadi malam, saya telah mempelajarinya dan bahkan membuat catatan kecil dengan hati-hati.

Tentunya, pagi ini catatan itu tertinggal di rumah. Saya baru menyadarinya saat saya memasuki perumahan teman saya. Ck. Tipikal saya banget, saya pikir. Baik, mari berpikir positif. Saya terus berjalan dan mencoba membayangkan rute rumah teman saya.

Saya mengikuti gambar mental itu. Sampai suatu titik, saya berhenti dan melihat nomor blok rumah di samping saya. “W. Harusnya N,” gumam saya, “Saya harus kembali ke jalan besar.”

Seraya berputar, saya menengok ke kiri. Ada beberapa mobil parkir di kejauhan. “Aha, pasti itu,” kata saya pada diri (Sekarang saya tidak terlalu paham kenapa saya berpikir demikian). Saya mengarah ke sana. Ternyata memang rumah teman saya.

Saya menelusuri kembali peta mental itu di kepala saya. Saya pun menyadari kesalahan saya.

Saya langsung belok ke kiri (garis hijau) ketimbang belok sedikit ke kanan dulu sebelum belok kiri.
Saya telah mengabaikan belokan kecil aneh tapi ternyata penting itu.

Demikian pula saya dalam hidup. Saya melupakan catatan kecil yang telah saya buat dengan hati-hati. Saya berikan label "tipikal saya" terus-menerus pada setiap pikiran, ucapan dan tindak-tanduk saya, hingga suatu saat benar-benar menjadi tipikal saya. Saya melewatkan belokan kecil tak 'wajar' yang sebenarnya harus saya lewati sebelum saya melanjutkan perjalanan.

Saya berhenti sejenak untuk membaca paragraf di atas. Ah, iya, saya juga sering terlalu keras pada diri.

Setuju. Mari coba lebih positif melihat diri. Jika saya benar-benar memperhatikan apa yang saya lakukan, saya bisa memiliki gambaran mental yang jelas. Saya senang berkontemplasi. Saya tidak (lagi) terlalu kesal apabila saya berbuat kesalahan. Saya memikirkan langkah selanjutnya dan melanjutkan perjalanan. Saya percaya pada instink yang telah kerap 'menyelamatkan' saya.

Tetap, hari ini hidup mengingatkan bahwa saya masih melewatkan demikian banyak tanda yang telah ia anugerahkan pada saya–entah karena
ketidaksabaran, ketidakpedulian ataupun ego.

Jujur, itu pula sebab saya masih melewatkan begitu banyak tanda, rambu, dan simbol darimu–karena ketidaksabaran, ketidakpedulian ataupun ego. Tolong jangan menyerah terhadap diri saya.

Tuesday, June 24, 2008

Mr. Zero

[English]
Akhir pekan kemarin sangat menyenangkan, bersama keluarga dan teman. Saya menerima satu hadiah istimewa dari seorang teman.

Dia adalah suami dari seorang teman yang sudah saya anggap sebagai kakak saya. Sebenarnya hari Minggu itu adalah pertama kali saya bertemu dengan suaminya. Dia (sang suami) mendengar tentang cerita saya dan perjalanan yang akan saya lakukan.

Dia berujar , “Saya akan kasih kamu Mr. Zero. Saya sudah menyimpan satu buat orang yang menurut saya cocok untuk menerimanya.”

Dia beranjak dari tempat duduknya, keluar ruangan, dan kembali dengan membawa boneka kuning dengan tulisan hitam “Mr. Zero” dan angka “0” di perutnya. Kalau tidak salah, dari ESQ-nya Ary Ginanjar.

Saya tersenyum. Saya mengerti pesannya. Mirip pesan yang disampaikan oleh seorang teman lain beberapa bulan silam.

Sebuah proses berpikir lateral. Untuk kembali ke titik nol. Untuk hidup tanpa terlalu berpegang erat pada ide yang telah lebih dulu tertanam dalam diri. Untuk (benar-benar) berpikiran terbuka. Sebuah tantangan luar biasa bagi orang-orang idealis seperti saya.

Saya rasa sikap seperti ini didiskusikan secara lebih eksplisit dalam Budha ketimbang tradisi lain. Sikap "ke titik nol" ini merupakan dasar dari kesadaran (mindfulness), sebuah konsep yang didiskusikan panjang lebar oleh seorang Bhante Gunaratana.

Mindfulness merupakan observasi tanpa prasangka/penilaian. Kemampuan pikiran untuk mengamati tanpa ada preferensi, kritik atau penilaian tertentu. Tidak ada yang mengejutkan ketika seseorang bersikap mindful. Orang itu memiliki minat seimbang terhadap objek yang diamati, apa adanya. Tidak ada keputusan, tidak ada penilaian. Hanya pengamatan.

Mindfulness adalah pikiran yang bertindak sebagai cermin jernih. Kemawasan total. Kesadaran tanpa konsep. Kesadaran akan sini kini. Kewaspadaan yang tidak egois. Kesadaran akan perubahan. Observasi.

Mindfulness benar-benar melihat objek yang disadari. Tidak dipikirkan. Objek disimpan sebagai pengalaman, tetapi tidak untuk dibandingkan, diberikan label, atau dikategorikan. Mindfulness mengamati semuanya layak hal itu terjadi untuk pertama kali. Tidak ada analisis berdasarkan refleksi atau memori.

Mindfulness melihat objek secara langsung, apa adanya, esensi sesungguhnya dari semua fenomena. Mengingatkan kita tentang apa yang seharusnya kita lakukan.

Mengingatkan saya tentang apa yang seharusnya saya lakukan. Apa yang selayaknya saya pelajari. Apa yang selayaknya saya ingat.

“Kalau kamu menghadapi situasi yang sulit--atau sebenarnya situasi apa pun--kembalilah ke titik nol itu. Kembali ke Mr. Zero. Dia akan menjadi sahabat terbaikmu,” kata teman saya. Saya tahu dia benar.

Saya tersenyum. Saya mengerti pesannya. Terima kasih.

Mengenang Miko Protonema

Copy and paste dari email seorang teman. Beberapa hal memang patut didukung.

Konser amal “dari teman untuk teman”
untuk mengenang Miko Protonema
Jam 12.00, 30 Jun 2008 - jam 03.00, 1 Jul 2008
Fame Station Bandung

Konser amal “dari teman untuk teman”untuk mengenang Miko Protonema adalah sebuah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh dana guna memberikan sedikit bantuan kepada keluarga yang ditinggalkan berupa asuransi pendidikan untuk Fiko, anak yang ditinggalkan Miko.

Miko memang bukan siapa-siapa. Namun kepergiannya memberikan inspirasi kepada kami teman-temannya, mungkin inilah moment yang dapat mempersatukan dan mendorong kami (segelintir orang Bandung dari berbagai komunitas yang bersentuhan dengan dunia kreatif, pertunjukkan, dan pehobi motor) untuk bergerak, berbuat sesuatu, menggali potensi lebih optimal, lebih produktif, menuju masa depan Bandung yang lebih baik, dan berbagi untuk sesama. Bandung Bergerak! Jadi selain untuk charity, event ini juga diharapkan menjadi tonggak kebangkitan dan perekat kebersamaan berbagai komunitas Bandung.

Event yang akan diselenggarakan dari pukul 12.00 tanggal 30 Juni 2008 hingga 03.00 tanggal 1 Juli 2008 di Fame Station Bandung ini, insya Allah dapat terselenggara karena dukungan dari berbagai pihak. Diantaranya: IKA Unpad yang menyediakan asuransi pendidikan untuk Fiko, Harian Umum Pikiran Rakyat sebagai media partner, serta banyak media lainnya.

Para musisi yang telah menyatakan kesediaannya untuk hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan ini antara lain: PAS Band, Syaharani, Java Jive, Baron cs, Yuke-Dewa & Friend, Jodi Bedjo, Gugum Project Pop, Rocket Rockers, Speaker First, The Panas Dalam, Alone At Last, 4 Peniti, Boy Are Toys, Dirty Doll, 70 Orgasm, Cuts, Nudist Island, Time Bomb Blues, Bubble, Blue Fairy, Good Boy Badminton, Fresh Milk, Experience, Glory Of Love, The Patrol, Bad Boy Blues, The Ababiels Attack, Roullette, Red Arses, Hopelane, D’Army, Cronik, M.a.l.i, Freaky Famous dan lain-lain.

Kegiatan charity ini diprakarsai oleh Joe P Project yang dibantu oleh PASS17, 86 Community, Naracipta Production, Independent Network Indonesia dan Forum Event Bandung, serta banyak pihak lain yang tidak tersebutkan satu per satu.


NARACIPTA
P R O D U C T I O N

Rumah Musik Harry Roesli
Jl. Supratman 57 Bandung 40115
phone | fax 022 720 5890
mobile 0811 222 5678

event | talent | music | training
m a n a g e m e n t

Sunday, June 22, 2008

22 Juni

[English]
"Lagi ngapain sih?"
"Sini, duduk. Papa mau liatin sesuatu."
"Apa?"
"Ini kunci untuk A, yang ini kunci untuk B. Ini dokumen-dokumen untuk C, sementara ini dokumen-dokumen untuk D. Papa simpan di sini. Kalau dokumen-dokumen untuk E papa taruh di bank. Ini kunci untuk ke safety boxnya dan passkey-nya 123456."
"Ngapain sih papa ngomong gini? Emang papa mau kemana?"

Itu pembicaraan saya dengan Bapak saya. Beberapa minggu kemudian, kesehatan beliau menurun terus hingga sekitar delapan bulan ketika beliau meninggal dunia.

22 Juni adalah hari ulang tahun Bapak saya. 22 juga adalah usia saya ketika beliau meninggal dunia. 22 dibagi dua, 11 (Juni), adalah saat beliau meninggal dunia.

Tadinya saya ingin menggunakan kata "ketika saya kehilangan beliau". Tapi rasanya kurang pas. Saya tidak pernah benar-benar kehilangan Bapak saya. Beliau selalu berada di sisi saya, mengiringi setiap langkah saya. Jadi saya gunakan kata-kata "meninggal dunia." Beliau sudah meninggalkan dunia ini dan melanjutkan perjalanannya.

...

Aku sudah lama tidak menyalakan lilin. Tapi pagi (dini hari) ini, aku menyalakannya untukmu, Pop. Mencuatkan kembali semua nostalgia kita dan pelajaran (serta kebiasaan) yang telah Papa limpahkan (tularkan?) kepadaku.

Senantiasa aktif. Bersikap positif. Komentar singkat menghujam dengan permainan kata yang cerdik. Keingintahuan. Deretan pertanyaan terperinci yang mengganggu. Kesederhanaan. Kecintaan pada alam. Kecintaan pada buku. Perhatian terhadap detail dan kepada orang di sekitar kita.

Pragmatis. Idealis. Lugas. Berani mencoba sesuatu yang baru (meskipun kita tidak tahu sama sekali tentang hal itu, dan berpotensi memalukan diri sendiri).

Mendengarkan orang tanpa membiarkan mereka mendikte kita. Melakukan segala sesuatu a la diri (
Tradisi. Emang kenapa tradisi mesti dipertahankan? Pernah Papa tanya itu. Khas Papa). Tidak mencampuri urusan orang. Berbicara seperlunya. Membaca gelagat dan situasi.

Mengizinkan. Melepaskan. Menjalani. Menghargai. Menikmati hidup. Bersantai. Berdoa. Hidup. Mencintai keluarga, mencintai Mama.

Tentunya aku belum menguasai semua itu, tapi minimal
khan aku sedang berusaha belajar.

Aku mengingat masa-masa kita tidak terlalu akrab (Akrab?
Boro-boro..). Atau lebih tepatnya, saat aku tidak terlalu dekat dengan Papa. Kemudian aku pikir, kenapa juga diungkit. Aku sadar itu semua proses. Prosesku, dan mungkin proses Papa juga (Karma kali ya, Pop? :p) Tetap saja, aku minta maaf kalau aku telah menyakiti hati Papa dan Mama.

Terima kasih pada Papa (dan Mama, dan Tuhan) yang telah membantuku hingga menjadi diriku kini. Terima kasih telah membebaskanku bertumbuh sesuai dengan jalan yang kupilih. Untuk membiarkanku membuat kesalahan dan belajar darinya, namun tetap berada dua langkah di belakangku-- memperhatikan, menjaga, mengasihi, menyayangi.

Aku merasa aku akan segera memasuki tahap baru dalam hidupku, pop. Tetap di sampingku, ya. Ini wilayah yang papa tahu betul, jauh lebih baik ketimbang orang lain dalam hidupku.

Sunday, June 15, 2008

Persona: Tita!

[English]
(Siapapun yang mengenal saya tahu bahwa saya bukan penggemar tanda seru. Jadi tulisan ini tentunya cukup istimewa bagi saya).

Harian Kompas.
Hari ini.
Halaman 11.
Kolom “Buku”.


Saya hanya ingin mengatakan betapa bangganya saya ketika membaca ulasan tentang buku yang telah ditulis (atau tepatnya digambar) oleh teman saya.

Saya tahu dia punya buku harian berbentuk komik. Saya pernah membacanya beberapa waktu lalu. Dan kini saya senang sekali karena dia sudah berhasil mempublikasinya menjadi sebuah buku.

Teman SMA saya yang demikian berbakat ini memang istimewa dalam banyak hal. Misalnya saja, satu, semua orang--benar-benar semua orang (yang ia kenal)--dapat melihat betapa dia seorang perancang grafis/desain produk yang luar biasa.

Kedua, dia orang yang baik sekaligus idealis di luar batas manusia normal :p, dan entah bagaimana bisa hidup dengan prinsip-prinsipnya ini. Ketiga, dia orang/teman/istri/ibu/dosen yang paling nyantai yang pernah saya temui.

Tita adalah seorang istri, ibu dua anak, dosen di Bandung dengan minat terhadap desain produk berkelanjutan, teman, perancang grafis/produk. Seorang teman ngopi setiap kali kami berada di satu kota yang sama.

Tita bisa ditemui di blog esduren-nya.

Beberapa orang memang dikaruniai bakat yang luar biasa. Well, kurang tepat. Beberapa orang memang dikaruniai pemahaman atas bakatnya dan keberanian untuk tetap pada jalannya itu.

Masing-masing insan memiliki bakat unik. Hanya beberapa menyadarinya. Lebih sedikit lagi yang memanfaatkannya.

¡Viva la vida!

Catatan: Arif Mulyadi - Hijrah

[English]
Pengajian kali ini membahas tentang hijrah, dalam arti “membaik” atau tepatnya bergerak dari satu titik dalam kehidupan kita ke titik lain yang lebih baik.

Hijrah diawali dengan keinginan untuk memperbaiki diri. Agar hijrah diridhai Allah, maka hijrah itu pun harus mengacu pada ketentuan-Nya. Ketentuan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

Definisi Tuhan sebagai Kasih Sayang merupakan nilai universal yang dapat diterima semua orang. Apabila kita menjalani hidup ini dengan benar, maka sifat kasih sayang ini pula yang akan terpancar dari kita. Bahwa kita selalu berbuat baik, penuh kasih sayang, kepada semua.

Komponen dalam hijrah adalah: ingat dan bersyukur. Implementasinya: dengan senantiasa bersikap kasih sayang sesuai dengan Al Qur’an. Keluarannya: takwa dan perbuatan baik.

Mengingat Allah merupakan makna kata shalat yang sebenarnya. Mengingat perintah-Nya untuk kemudian dikerjakan, dan mengingat larangan-Nya untuk kemudian dijauhi. Ingat (zikir) sebanyak-banyaknya.

Bersyukur atas segala nikmat yang ada pada diri: tubuh, ruh dan jiwa (penglihatan, pendengaran, perabaan, perasaan, penciuman, dan akal pikiran). Cara mensyukurinya adalah dengan menggunakan dan merawat dengan baik segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita.
* Cara merawat jasad ada empat: beri makan, bersihkan, beristirahat dan berolah raga.
* Cara merawat ruh: dengan berdzikir. Sebanyak-banyaknya. Minta perlindungan Allah.
* Cara merawat jiwa: dengan berbuat baik.

Al Qur’an digunakan sebagai acuan dalam hidup. Al Qur’an dibaca, dipelajari, dipahami, dilaksanakan, dan disyiarkan. Muhammad pun telah menciptakan berbagai reminder system (rukun Iman, Rukun Islam, Adzan, Iqamah) untuk membantu kita tetap ingat kepada-Nya.

Proses hijrah ini harus berlaku terus menerus, selama kita hidup. Inilah kesungguhan kita. Jihad yang sebenar-benarnya. Hijrah dan jihad harus menyatu. Sesuai kemampuan. Semua ini adalah proses.

[Ada pembicaraan menarik tentang mesjid. Sama seperti kesalahkaprahan terhadap pemahaman shalat, ada juga kesalahkapraham terhadap pemahaman mesjid. Secara bahasa, mesjid berarti tempat bersujud. Secara hakikat, tempat manusia bersujud di hatinya.

Maka kalbu seorang mukmin adalah baitullah yang sebenarnya. Mengingat Allah (shalat) dilakukan dalam hati kita (mesjid). Shalat dilakukan dalam mesjid. Saya suka ini ☺.]

Catatan lengkap bisa di-download di sini.

Wednesday, June 11, 2008

Terlalu sakit

[English]
Pernah gak berdoa atau berdzikir sepanjang mendengarkan cerita seorang teman? Saya pernah. Kemarin sore.

Saya menelepon seorang teman untuk menanyakan kabar dan alasan dia tidak datang ke sesi diskusi akhir pekan lalu. Jawaban yang saya terima demikian panjang. Dan sepanjang jawaban itu, saya tidak berkata apa-apa, hanya berdoa.

“Soalnya terlalu sakit buat gua untuk pergi,” ujarnya. Duh.

Teman saya ini kena kanker bertahun-tahun lalu. Kankernya sudah tidak ada sekarang. Tetapi segala macam perawatan yang ia jalani bertahun-tahun itu telah merusak tubuhnya secara permanen.

Buat saya, dia adalah salah satu orang terkuat yang saya kenal.

Pernah ada teman lain yang menyarankan dia untuk mendengarkan musik yang bisa menenangkan jiwa. Alih-alih dia menjawab, saya yang menanggapinya, "Kayaknya kita gak berhak bicara tentang rasa sakit deh ke dia. Dia itu lebih tahu tentang rasa sakit ketimbang kita semua digabung."

Kemarin pun rasanya seperti itu. Suara teman saya tetap positif dan semangat, walau kadang saya dapat merasakan nada getir yang halus. Dia bercerita tentang perawatan yang ia jalani. Para dokter sudah angkat tangan, jadi dia kini mengambil jalur pengobatan alternatif.

Yang terakhir adalah perawatan di suatu tempat di Jawa Tengah. Dia harus naik kereta ke kota terdekat, kemudian melanjutkan dengan naik bus untuk mencapai tempatnya.

Perawatan kali ini, di kepala saya, tidak terlalu masuk akal. Teman saya itu sama logisnya dengan saya. Jadi saya bisa mengira-ngira betapa putus asanya dia sebenarnya kalau dia sampai mengambil keputusan ini.

“Ketemuan yuk akhir pekan ini,” saya bilang, Gua ke rumah loe.”

“Dengan senang hati, kalau mau datang. Sabtu pagi biasanya gua membatik tapi gak yakin gua kuat gak weekend ini. Telepon dulu ya,” jawabnya ringan.

Dia terdiam sesaat, seperti berpikir, dan melanjutkan, “Sebentar, wah gak bisa denk. Gua harus ke rumah sakit untuk suntik morfin weekend ini. Jadi kayaknya harus weekend depan tuh.”

Akhir pekan ini atau depan. Bahkan akhir pekan depannya lagi. Saya akan datang. Saya akan luangkan waktu untuk datang.

Tuesday, June 10, 2008

Saatnya untuk secangkir kopi

[English]
Tak ada cara yang lebih baik untuk menikmati secangkir kopi (atau teh herbal, atau segelas jus lemon segar) ketimbang dengan mereka yang demikian dekat di hati. Kadang dengan keluarga, dengan diri ataupun buku. Namun kerap dengan sahabat.

Apakah itu di pagi hari, siang, saat senja maupun malam. Di tepi jalan maupun tepi sungai. Secangkir kopi tidak pernah membosankan apabila disertai dengan teman yang pas.

Ditambah sejumput gula tanpa perlu apa-apa lagi, mungkin kadang sedikit susu segar, full cream, tidak pernah low-fat. Namun selalu ditemani dengan percakapan intim yang menimbulkan senyum di bibir dan di hati saya.

Apakah itu obrolan kosong. Seperti hari ketika kita mendiskusikan kenapa hanya ada satu pohon itu di atas bukit, atau apakah awan itu lebih mirip beruang atau kelinci.

Dan ketika kita menimbang-nimbang mungkin kita perlu membukukan pembicaraan tak penting (namun sangat menyenangkan) ini dalam buku berjudul "The inspired conversationalists."

Atau topik-topik yang lebih dalam. Kita sama-sama tahu apa saja itu.

Atau ketika dirimu mengingatkanku bahwa "rasa kendali hanyalah sebuah ilusi." Sapaan lembut yang begitu menohok untuk perfeksionis seperti dirimu dan saya.

Atau ketika dirimu dengan yakin menebak masa depan kita. Saya pun menantikan saat kita duduk bersama dalam suatu konferensi internasional. Saya sebagai (konsultan dari) seorang politisi dan dirimu sebagai pembela hak asasi manusia internasional.

Dan secangkir kopi yang akan kita nikmati setelahnya. "Itu bagian yang terbaik," katamu.

Pernah dirimu bertanya kenapa saya bisa mengertimu sedemikian baik, "Apakah karena kamu memang sesensitif itu? Atau karena kamu juga mengenal dengan baik cerita ini?" Ingin saya memilih opsi pertama.

Tapi saya semakin menyadari kini bahwa opsi kedua adalah jawaban yang lebih tepat. Persis seperti buku kecil "If life is a game, these are the rules" yang diberikan oleh teman lain kemarin. Buku itu mengatakan bahwa orang-orang lain hanyalah cermin dari dirimu. Dirimu untuk diriku, demikian sebaliknya.

Kopi selalu menghangatkan. Jus lemon menyegarkan.

Hari ini saya merayakan persahabatan. Karena saya mengingatmu.

Selamat ulang tahun, walau sedikit terlambat.

Saturday, June 07, 2008

Menilik masa lalu

[English]
Mari kita bicara sekali lagi tentang bersih-bersih. Tampaknya, dalam dua minggu terakhir ini, topik tersebut menjadi favorit dalam diri saya.

Tadi malam di sebuah film di Disney Channel, karakter yang dimainkan oleh Bruce Willis diingatkan kalau dia terlalu sombong jika dia menganggap bahwa dirinya disitu sekedar membantu diri mudanya (diri mudanya mengarungi waktu untuk bertemu dengannya).

Benar, mungkin saja diri mudanya dapat belajar sesuatu dari karakter Bruce Willis, tapi sang diri muda juga ada di situ untuk membantu dia mengingat. Membantu dia mengingat. Tampaknya banyak sekali kejadian yang membantu saya mengingat akhir-akhir ini.

Saya telah diperkenalkan (kembali) kepada beberapa teman-teman yang 'gelo', yang mengingatkan saya bagaimana cara menertawai (terbahak-bahak) hal-hal tidak penting. Orang-orang yang bisa bercanda dan berbincang secara enteng tentang apa pun, bahkan tentang hal yang menyakitkan dalam hidup.

Orang-orang berbeda dengan kegilaan yang berbeda-beda pula. Namun, entah bagaimana, semua itu adalah saya. Beberapa rasanya seperti dibawa khusus dari masa lalu saya untuk mengingatkan saya tentang saya yang lalu. (ge-er ya).

Acara ngopi Rabu malam kemarin dengan seorang teman benar-benar telah melakukan hal ini ke saya. Kami berbincang dan tertawa tentang banyak hal. Kami berbicara tentang masa lalu, masa kini, tentang kerja, kehidupan sosial, dan hubungan dengan orang lain. Kami bercakap tentang bagaimana dan kenapa.

Sikap dan kepribadian kami telah berubah sesuai dengan situasi kerja dan etape hidup. Dan betapa kami sudah berubah. Kata-kata atau perilaku yang kami ucapkan atau kami lakukan terhadap orang dulu, tidak akan tega kami ucapkan atau kami lakukan sekarang. Amin.

Perbincangan ini mengingatkan saya tentang asal usul saya. Mengingatkan saya sudah menjadi seperti apa saya sekarang. Mungkin mengingatkan bahwa saya harus tetap memiliki sisi yang lebih ringan, lebih 'tolol', hampir gelo itu dalam diri. Bahwa saya tetap harus 'gila' supaya bisa tetap waras.

Atau, mungkin, itu hanya pertanda bahwa saya terlalu berusaha memisahkan diri dari masa lalu saya (munurut saya (dulu), itu untuk alasan yang kuat) dan berusaha untuk menciptakan suatu identitas baru yang lebih kuat dan dewasa.

Masa lalu-masa lalu itu. Awalnya, kita bergumul dengan mereka dan kita merasa bersalah terhadap diri sendiri. Kemudian kita dorong mereka jauh ke dalam diri dan (kita pikir) sudah lewatlah semua ini.

Kemudian kita menyadari mereka masih di sana, tetap menyakiti, dan kita bertahan dengan menolaknya sama sekali, tanpa menyadari bahwa sebenarnya dengan cara ini pun masalah belum selesai, Kita sekedar menjadi marah, pahit, atau minimal skeptis.

Perbincangan Rabu malam itu membuat saya berpikir bahwa sebenarnya masa lalu tidaklah terlalu buruk. Masa lalu adalah bagian dari dinding-dinding pembangun diri saya kini.

Yang membuat hidup, hidup. Terima. Nikmati. Biarkan mengalir. Mencoba. Sedikit demi sedikit. Tak lupa sejumput bumbu kegilaan untuk membantu meringankan.

Terima kasih. Terima kasih, semua.

Bersih-bersih

[English]
Saya naik ke pojok “kerja/baca” saya di rumah. Saya tidak terlalu suka dengan apa yang saya lihat. Terlalu penuh, berantakan. Banyak barang yang sebenarnya sudah tidak saya butuhkan.

Saya ingat-ingat kapan terakhir kali saya membereskannya. Sudah terlalu lama tidak. Waktunya untuk membereskan dan membersihkan pojok ini.

Jadi saya habiskan setengah pagi saya dan setengah siang saya hari ini untuk melakukannya. Saya keluarkan semua kertas, buku dan apa pun itu, sebarkan di lantai dan meja, dan mulai menelaahnya satu per satu. Buang atau simpan. Kalau simpan, simpan di mana.

Belum selesai benar, tapi saya senang dengan hasil sementara ini.

Ini baru bersih-bersih secara fisik. Mudah (coba bilang itu ke pemerintah!). Bersih-bersih emosional itu masalah lain. Dan saya pun melakukannya juga (akhir) pekan ini.

Saya tidak ingat kapan terakhir kali jadwal (kerja) saya sepadat jadwal saya dua bulan terakhir ini. Saya sering melewatkan ‘ritual’ pagi saya, olahraga saya, ngopi-ngopi saya dengan teman/buku, dan (percaya tidak) akhir pekan saya.

Masalahnya, buat saya, kalau saya sudah seperti ini, ke-moody-an saya kembali menyeruak ke permukaan, berikut semua kardus-kardus emosi yang sudah lama tersimpan diam-diam. Di masa saya terjaga maupun di waktu tidur.

Jadi minggu ini, hari Kamis sore, saya memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal. Tubuh sudah tidak kuasa. Pikiran dan jiwa apa lagi.

Dan saya lakukan terhadap diri apa yang saya lakukan pada pojok kerja saya: saya keluarkan kertas-kertas mental itu, sebarkan di lantai sehingga saya bisa melihat semuanya, dan mulai menelaahnya satu per satu. Buang atau simpan. Diurutkan dan dirapikan.

Seperti halnya pojok kerja sama, saya juga belum selesai beres-beres yang ini. Tapi saya cukup senang dengan hasil sementara yang telah saya capai.

Friday, June 06, 2008

EFT

[English]
Seharian saya mereka-reka bagaimana sebaiknya saya menuangkan apa yang terus menempel di pikiran saya ini, dengan gaya penulisan yang biasa saya terapkan dalam blog. Tapi saya tidak menemukan satu cara pun. Jadi saya akan menuliskannya langsung saja.

… Saya belum pernah melihatmu selelah kamu tadi malam. Mungkin sudah waktunya untuk berehat sejenak. Bagaimana kalau dirimu menerapkan emotional freedom technique (EFT) yang saya tunjukkan beberapa waktu lalu?

Ah, siapa juga saya, berani-beraninya berkata seperti ini. Bagaimana kalau kita sama-sama berehat sejenak. Sama-sama mencoba menerapkan EFT. Atau mungkin kita harus mencoba 'pengobatan' yang lebih ekstrim.

Tuesday, June 03, 2008

Tentang kerja lepas (freelancing)

[English]
Tiga tahun lalu, saya bertemu dengan orang yang luar biasa ini. Pertemuan pertama saya dengannya, walau tampak demikian kebetulan, seperti yang dengan indah ia ungkapkan, "sama sekali bukanlah kebetulan. Lebih merupakan pertemuan bahagia antara dua teman lama yang sudah sekian tahun tak bertemu.”

Sekitar tiga bulan lalu, dia bertanya tentang kerja lepas (freelancing). Kemarin saya menerima berita gembira darinya bahwa dia sudah mengambil langkah menjadi seorang pekerja lepas. (Tolong dicatat, ini sama sekali bukan dorongan buat kamu untuk melakukan hal yang sama. Minimal, tidak sekarang. Belum waktunya).

Kami setuju bahwa kerja lepas bukanlah reaksi kami terhadap perasaan bahwa sesuatu yang berharga dari kami telah dicuri. Kerja lepas adalah tentang merancang ulang hidup kita agar sesuai dengan prioritas serta menerapkan prinsip hidup dalam suatu tatanan terbaik yang mampu kita lakukan.

Kami percaya bahwa kalau kita mengikuti panggilan itu dan menapaki jalan spiritual ini, maka alam semesta akan bekerja sama untuk membuka pintu buat kita. Semua akan mengalir secara alami bagi kita yang mengikuti panggilan jiwanya.

Kalau tidak, maka keresahan itu akan selalu ada.

Bagaimana kita bisa tahu kalau kita sudah siap atau memang dirancang untuk menjadi seorang pekerja lepas? Kalau kita masih memiliki pertanyaan itu, mungkin kita berarti belum siap. Kita melakukannya karena kita melakukannya. Tidak terlalu dipikirkan apa penyebab spesifiknya.

Ketika alam bawah sadar kita atau sesuatu di dalam diri ini tahu bahwa memang itu hal yang harus kita lakukan. Semua mengalir begitu saja. Itulah jalan kita dan (sementara ini) kita tidak melihat jalan lain. Ini adalah alasan terbaik. Satu-satunya alasan yang ada.

Tentunya, kerja lepas memang membutuhkan rasa stabilitas dan kepercayaan diri untuk memulainya. Setelah itu, semua berkisar tentang disiplin diri, upaya terus menerus untuk memperluas jaringan, meningkatkan kemampuan diri, serta memasarkan diri sendiri.

Tidak ada lagi yang menjaga atau mengawasi kita. Tidak ada yang mempromosikan kita selain diri kita sendiri. Kita dituntut untuk mandiri. Pada saat yang sama, kita perlu memberikan keleluasaan yang cukup pada diri ini untuk beristirahat, bersantai dan menikmati hidup.

Di suatu titik dalam kehidupan kita, kita terpanggil untuk melakukan apa yang harus kita lakukan semasa hidup. Beberapa di antara kita mendengar dan memenuhi panggilan itu. Ketika kita melakukannya, semua akan mengalir secara alami.

Di titik lain setelah itu, hidup, kerja dan spiritualitas menyatu. Pada saat itu, spiritualitas menjadi profesi seumur hidup dan satu-satunya, yang secara konsisten kita terapkan dalam kehidupan kita. Betapa indah kalau ini telah terjadi.

Saran terbaik yang ada, adalah untuk percaya. Believe.

Izinkan saya untuk mengutipmu, "Mempraktekkan Dharma Buddha bagiku bukanlah sekedar suatu kegiatan untuk mengisi diagram "suatu hari dalam kehidupan." Bagiku ini adalah profesi seumur hidup yang harus diterapkan untuk menerapkan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi aku bertekad untuk memiliki kebebasan waktu untuk menerapkan hal tersebut, untuk membantu makhluk lain, dan memiliki uang secukupnya untuk biaya hidup sehari-hari dan sedikit tabungan jika dibutuhkan.”

Penuturan yang indah, seperti biasa. Saya berharap kamu menyimpannya baik-baik di hati. Dan mengingatnya pada saat hidup terasa agak sulit atau ketika keraguan melanda. Suatu kehormatan dan kebahagiaan bagiku untuk bertemu dan berteman denganmu.