Wednesday, April 23, 2008

Refleksi yang sempurna

[English]
Ini kali kedua saya menggunakan kata “sempurna”. Hidup rupanya memang sedang baik-baik saja.

Kita duduk bareng untuk keribuan kali. Dan setiap kali, selalu merupakan saat yang amat menyenangkan.

Siang yang demikian cerah (matahari tersenyum lebar, langit biru terang), tempat ngopi yang pas (makanan enak, staf ramah, pengunjung menyenangkan), dan kita yang duduk di dekat jendela melongok ke lapangan hijau dan orang berlalu-lalang di sekeliling kita.

Kita berbincang sedikit tentang kerja. Kita berbincang lebih banyak tentang pribadi. Kita berbincang tentang keluarga, rasa dan perjalanan. Kita berbincang tentang bahagia dan resah.

Saya rasa sedikit sekali cerita yang tidak saya bagi dengan dirimu. Saya dengan senang hati menjawab semua hal yang kamu tanyakan. Saya pun dengan suka cita dan sukarela bercerita tentang hal yang tak kamu tanyakan.

Kita berbicara tentang kita yang senantiasa menjadi si kuat. Si penyelesai masalah dalam cinta dan hidup. Kita sebagai orang-orang dengan hidup sederhana tanpa ada yang disembunyikan.

Hidup kita demikian sederhana sehingga tak ada yang perlu kita bagi kepada orang lain. Tidak ada keluhan satu kata pun. Hidup yang sederhana. Hidup yang baik-baik saja. Kita yang kuat-kuat saja.

Sampai suatu saat dalam kurun bincang kita, kebenaran menyesakkan menguak. (Wah, saya baru saja melihatmu online! Di jam-jam aneh ini). Kita ini terlalu gengsi, harga diri begitu tinggi, terlalu tinggi untuk mengakui atau bahkan menyadari.

Menara ini sedemikian tinggi sehingga kita sendiri pun tak dapat melihat apa yang ada di dalam. Semua baik-baik saja. Semua terbuat dari bebatuan kokoh.

Biarkan diri menjadi lemah, menjadi rentan, kata saya. Atau itu kata-katamu? Tak penting. Tak masalah. Sama saja. Pernyataan berlaku dua arah. Seperti biasa.

Karena kamu adalah refleksi sempurna diri saya. Apa yang saya ucapkan pada kamu, saya ucapkan pada diri sendiri. Cerita kamu adalah cerita saya juga.

Ketika saya mendengarkanmu, saya mendengarkan diri sendiri, dengan rasa bahagia dan kesedihan mendalam. Apa yang kamu rasakan (atau kamu pikir kamu rasakan) selalu terasa familiar di saya. Mengerikan.

Pantaslah saya tidak pernah ragu untuk bercerita padamu. Sejak pertama kita berbincang. Karena saya hanya berbincang dengan diri sendiri. Tidak perlu merasa malu. Karena kamu sudah tahu. Karena entah bagaimana itu pun kamu.

Saya menyayangimu sebagai seorang sahabat tercinta. Sejak awal. Hingga kapan pun. Terima kasih sudah menjadi cermin yang bening, refleksi sempurna dari diri ini. Walau kerap kita enggan mengakuinya.

Saat yang menyenangkan. Pas untuk melepas penat. Terima kasih.

PS: Ingat foto kita yang kita ambil di akhir kopi kita, yang ternyata buram? Mungkin ada hal-hal yang harus kita simpan sendiri. Atau tepatnya, di antara kita saja. Tempat sampah bagi satu sama lain.

No comments: