[English]
…
Dan rembulan adalah tempat dua teman senang bertemu, berbagi cerita tentang terang dan gulita. Dalam hening, kicau kata, gelak tawa dan air mata—kadang semua teraduk menjadi satu.
Atau bahkan melalui saling tukar tatapan kriptik, bahasa tubuh yang demikian halus, dan siratan senyum yang hanya dapat dipahami oleh keduanya.
Rembulan memang titik temu sempurna. Rembulan tidak berdaya untuk menghasilkan sinar sendiri. Ia sekedar memantulkan sinar yang ia dapat (kebanyakan) dari matahari—layaknya dua teman yang mencerminkan satu dengan yang lain. Rembulan menyinar dengan terang yang lembut. Tak pernah menyilaukan, namun tetap menghadirkan kehangatan sederhana bagi hati dan mengulas senyum bagi bibir.
Jadi, tampaknya aku akan bertemu denganmu malam ini di langit, dimana rembulan menjelma—purnama maupun tidak. Putih, jingga, abu atau merah jambu. Untuk sekali ini saja, aku tak terlalu peduli terhadap detail.
Bahkan bila rembulan tak merupa pun, kita tahu bahwa ia ada. Kita tetap tahu di mana harus bertemu. Kita tetap bertemu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena ia sibuk menyinari belahan dunia lain. Tak apa. Cahaya rembulan cukup melimpah bagi semua. Namun ingat, keindahan hangat yang menyelimuti kita, tetaplah ekslusif untuk kita. Aku tahu. Begitu pula dirimu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena rute edarnya yang tidak mudah diprediksi, tak semudah mentari. Aku rasa itu bagian dari keindahan sang rembulan--membuat kita terus menebak, memunculkan rasa penasaran dan kadang merindu. (Aku mulai bertanya-tanya apakah matahari adalah satu-satunya yang dicerminkan oleh sang rembulan.)
Atau mungkin rembulan tak menampakkan diri karena terhalang awan. Itu pun aku tak keberatan. Karena awan membawa janji-janji akan turunnya hujan. Hujan pula mengingatkan aku pada dirimu.
Dan di tempat yang akan kukunjungi ini—hujan turun setiap saat.
---
Tantanganku bukanlah untuk mengingatkan diri agar mendongak menatap langit malam. Tantanganku adalah untuk tidak terus-menerus mendongak. Aku tahu aku harus memfokuskan diri pada apa yang terbentang di hadapanku dan tidak mengizinkan hati ini berkelana terlalu sering, bahkan untuk mengembara menjenguk dirimu sekalipun.
Lagipula, jauh di dasar hati, aku tahu kau akan baik-baik saja. Kau memang sedemikian kuat dan terberkati. Dan itu satu-satunya yang aku perlu tahu. Satu-satunya hal yang penting bagiku.
Temanku tersayang. Mentor spiritualku dalam mencinta, merasa (lagi), berekspresi (lagi), dan—kini—untuk melepaskan. To let go. Aku tahu aku mesti membiarkan dirimu menapaki perjalananmu sendiri.
Dan tempatku adalah dua langkah di belakangmu, atau tepatnya, di sekitarmu. Di belakang ruangan, menyeruput kopi hitam hangat, mencicipi kue kecil, dan mencelotehkan obrolan tak bermakna dengan sosok di sebelahku. Tersenyum bangga kepadamu, karenamu.
Sementara kau berada di atas panggung, kembali bertumbuh dengan indah, dan wangi dan liar dan segar, serta penuh rasa syukur atas segala hal kecil yang mengada.
Waktu telah tiba bagi kita untuk meneruskan perjalanan. Entah bersama atau sendiri-sendiri, atau kadang bersama kadang terpisah. Ya, mungkin itu. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan dan bagian dari karunia dalam hidup ini.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Foto pertama diambil di Ubud (Bali), kedua dari sini dan ketiga di Anomali Coffee (Senopati, Jakarta).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment