Wednesday, September 10, 2008

Menilik ke dalam

[English]
Saya tengah mengikuti sebuah diskusi kelompok, ketika salah seorang peserta bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya. Dia ingin membantu seseorang yang datang kepadanya, namun tidak bisa karena dia sudah terlanjur ada janji lain.

Sang peserta terus berpikir bagaimana perasaan orang itu dan apakah ia telah mengambil keputusan yang benar dengan tidak menghiraukan permintaan tersebut.

Seorang peserta lain bercerita betapa ia telah memaafkan orang yang telah menyakitinya. Betapa kita harus sabar. Betapa kita harus memaafkan dan melepaskan. Harus bersikap rendah hati dan sederhana.

Saya berpikir, menakjubkan sekali bagaimana kita sering berupaya untuk memperbaiki diri dengan menelaah cara kita bersikap terhadap orang lain atau berdasarkan cara orang lain memandang kita. Kadang kita tidak menyadari bahwa yang punya masalah itu kita dengan diri kita sendiri, bukan kita dengan mereka, apalagi mereka dengan diri mereka sendiri.

Sebuah buku yang baru-baru ini saya baca memberikan perspektif berbeda (dan menarik). Buku itu menyarankan kita (atau sebenarnya, saya) untuk mulai dengan diri sendiri. Ketimbang menekankan pada bagaimana kita harus bersikap, buku itu mengundang kita untuk memperhatikan proses yang terjadi dalam diri.

Mungkin memang sudah saatnya untuk (lebih) jujur pada diri kita, tentang diri kita sendiri. Apa yang sebenarnya kita rasa? Untuk memahami diri. Untuk menerima bahwa kita masih merasakan kemarahan, kemuakan, kegembiraan, dan cinta. Segala kombinasi rasa yang berkecamuk dalam diri. Untuk jujur pada diri.

Kita terlalu banyak menghabiskan waktu kita mengingkari apa yang kita rasa--terutama kalau rasa itu negatif. Terlalu sering kita hanya menyapu perasaan kita ke kolong tempat tidur--sekedar memindahkan dari sadar ke bawah sadar, menambahkan beban emosi yang sebenarnya telah menumpuk. Tidak benar-benar mengatasinya.

Kita mulai dengan mengakui perasaan kita dan memperhatikannya. Kemudian memperhatikan bagaimana rasa itu berubah, berevolusi.

Buku itu kemudian mengajak kita untuk "menghirup perasaan negatif, dan menghembuskan perasaan positif." Saya rasa ini pendekatan yang cukup berani.

Namun hanya setelah melalui proses penilikan ke dalam ini, kita dapat melangkah ke tahap selanjutnya untuk merangkul orang lain. Hanya dengan memahami perasaan kita, kita dapat mulai memahami perasaan orang lain. Hanya dengan menerima dan mencintai diri kita, kita dapat mulai menerima dan mencintai orang lain.

Masuk akal menurut saya. Ya gak sih?

Catatan tambahan. Apakah kita benar-benar berendah hati ketika kita secara eksplisit mengatakan kita rendah hati? Apakah kita benar-benar sabar ketika kita mengklaim diri ini sabar? Apakah kita benar-benar menerima ketika kita menyatakan bahwa kita menerima? Atau kita hanya membohongi diri sendiri? Sebuah kata lain muncul di pikiran ketika saya menulis ini: Arogansi. Lupa kita siapa sebenarnya lawan main kita.

2 comments:

niarief said...

Hai Eva, sy Nia, salam kenal.... Aduh Va, sy senang banget dg blog mu,(tiga2nya!!!) Sbnrnya sy sdh lama mengikuti blog Eva, tp "sok menahan diri" utk hanya jd pembaca pasif. Ternyata... gak tahan juga... Saya merasa harus menyapa Eva, terutama utk bilang TERIMA KASIH, krn isi blog Eva, mulai dr pengalaman dn perasaan dlm kegiatan/khidupan sehari2 smp ke hal yg berbau kontempl, sgt mmprkaya diri sy sdr (Oya,gara2 crita Eva, sy langsung menghub pak Hudoyo lho, lewat email). Sy jg senang kontempl (sy jg murid pMA - pak Merta Ada, maksudnya). Bg sy, proses menuju perbaikan/ peningkatan kualitas sbg manusia terus berjalan (wlpun rasanya bg sy kok lambaa...n banget, hehee) Seand Tuhan bikin rapot, nilai sy msh sputar 6, 6,5, plg banter 7,5. Malah msh suka dpt 5, 4,5... waahhh... Ok, Va, senang skli kalau perkenalan ini bersambut ^u^.... Btw, insya Allah Nov '08 nti sy ikut TB-2 di Baturiti. Sukses terus buat Eva. SSHB. Nia.

Eva.M said...

Hai Nia, Salam kenal juga.

Terima kasih sudah mengunjungi 'rumah-rumah' saya di dunia maya ini. Senang mendengar kalau ternyata cerita saya ini entah bagaimana bisa juga bermanfaat bagi orang lain.

Nilai rapor tidak terlalu penting, yang penting ada tendensi konsisten untuk membaik.

Moga-moga kita terus diperjalankan untuk menuju-Nya oleh Sang Maha Kuasa dan dapat memberikan manfaat bagi alam ini.

Salam buat guru-guru kita, Pak Hudoyo dan Pak Merta, kalau bertemu.

SSHB,
eva