Monday, May 05, 2008

Menunda keinginan

[English]
Kakak perempuan saya baru saja mengikuti pelatihan mendidik anak. Mereka mendiskusikan banyak hal. Salah satunya adalah saat sang pelatih menyarankan para orang tua untuk melatih anaknya menunda keinginan.

Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tidak perlu memenuhi permintaan tersebut saat itu juga. Tunda seperlunya. Berikan jeda antara permintaan dan pemenuhannya.

Sang pelatih mengatakan bahwa hal ini akan melatih anak memiliki jeda-jeda serupa dalam kehidupan. Untuk tidak bertindak reaktif (secara instink ataupun emosional) pada saat itu juga. Untuk berpikir sebelum mereka menanggapi berbagai stimuli dalam hidup. Untuk berlaku bijak. Aduh.

Menarik, pikir saya. Suatu kebiasaan yang baik untuk diajarkan dengan cara demikian sederhana. Saya tahu kalau berpikir sebelum bertindak itu baik. Saya tahu menunda keinginan juga baik. Namun saya tidak pernah menautkan dua hal tersebut. Paling sedikit, tidak dalam hal mengasuh anak.

Saya akan mempersilakan dua guru besar saya meneruskan cerita ini.

Jalal-ad-din Rumi mengatakan, “Permulaan dari kesombongan dan kebencian berada pada keinginan duniawi, dan kekuatan keinginanmu berakar dari kebiasaan. Ketika tendensi buruk menjadi kokoh sebagai buah kebiasaan, kemarahan/kemurkaan akan (mudah) terpicu ketika ada pihak yang berusaha mengekangmu.”

Kemudian beliau juga pernah berkata, “Jika kamu terganggu oleh setiap friksi, bagaimana kamu bisa terpoles dengan baik?” Ok juga, guru. Bagaimana kita bisa melakukan in? Bagaimana kita mengelola keinginan kita? Datanglah guru saya yang lain, Al Ghazali.

Dalam bukunya Disciplining the Soul (Mendisiplinkan jiwa – yang mungkin merupakan salah satu buku yang paling berpengaruh dalam hidup saya), Al-Ghazali mengutip Yahya ibn Muadh al Razi, “Lawan jiwamu dengan pedang disiplin diri. Ada empat: makan sedikit, tidur sebentar, bicara seperlunya, dan toleransi semua perbuatan buruk yang dilakukan terhadapmu. Makan sedikit akan meniadakan keinginan, tidur sebentar akan membersihkan aspirasimu, berbicara seperlunya akan menyelamatkanmu dari berbagai penderitaan, dan mentoleransi perbuatan buruk akan mengantarmu ke tujuanmu—karena salah satu hal tersulit bagi manusia adalah untuk berlaku lembut ketika tidak diacuhkan atau ketika mentolerir perbuatan buruk yang dilakukan terhadapnya.” (Al Ghazali, Disciplining the Soul, hal57)

Benar sekali. Mentolerir perbuatan buruk/salah merupakan salah satu tantangan terbesar. Bagaimana caranya saya bisa menahan diri terhadap orang yang tidak mengacuhkan atau yang menjahati saya? Kapan saya harus mengatakan sesuatu dan kapan saya harus diam?

Beliau (Al Ghazali) kemudian berkata, “Pernah seseorang bertanya kepada Umar ibn Abd Al-Azis, ‘Kapan saya harus berbicara?’ Dan Umar menjawab, ‘Ketika kamu ingin diam.’ ‘Kapan saya harus diam?’ tanya orang itu lagi, dan Umar berujar, ‘Ketika kamu ingin berbicara.’ (Al Ghazali, Disciplining the Soul, hal59)

Saya mengangguk-anggukan kepala saya. Namun kemudian, saya jadi bingung sendiri dengan pernyataan itu. Rupanya saya memang masih belajar.

Kalau demikian, mari mulai dari awal. Seperti yang dikatakan di pelatihannya kakak saya. Tunda keinginan. Keinginan kita dulu. Bukan keinginan anak.

No comments: