[English]
Akhirnya tiba juga saatnya. Saya akan pergi sekitar tujuh-delapan bulan untuk belajar di Sekolah Beshara, Skotlandia, Britania Raya. Insya Allah saya akan menjumpai Anda kembali pada bulan April atau Mei 2009. Jangan terlalu nakal. Tetap bersenang-senang. Baek-baek.
-eva
Gambar: Diambil di salah satu ruas jalan Orchard Road, Singapura.
Tuesday, September 16, 2008
Rembulan dan rintik hujan
[English]
…
Dan rembulan adalah tempat dua teman senang bertemu, berbagi cerita tentang terang dan gulita. Dalam hening, kicau kata, gelak tawa dan air mata—kadang semua teraduk menjadi satu.
Atau bahkan melalui saling tukar tatapan kriptik, bahasa tubuh yang demikian halus, dan siratan senyum yang hanya dapat dipahami oleh keduanya.
Rembulan memang titik temu sempurna. Rembulan tidak berdaya untuk menghasilkan sinar sendiri. Ia sekedar memantulkan sinar yang ia dapat (kebanyakan) dari matahari—layaknya dua teman yang mencerminkan satu dengan yang lain. Rembulan menyinar dengan terang yang lembut. Tak pernah menyilaukan, namun tetap menghadirkan kehangatan sederhana bagi hati dan mengulas senyum bagi bibir.
Jadi, tampaknya aku akan bertemu denganmu malam ini di langit, dimana rembulan menjelma—purnama maupun tidak. Putih, jingga, abu atau merah jambu. Untuk sekali ini saja, aku tak terlalu peduli terhadap detail.
Bahkan bila rembulan tak merupa pun, kita tahu bahwa ia ada. Kita tetap tahu di mana harus bertemu. Kita tetap bertemu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena ia sibuk menyinari belahan dunia lain. Tak apa. Cahaya rembulan cukup melimpah bagi semua. Namun ingat, keindahan hangat yang menyelimuti kita, tetaplah ekslusif untuk kita. Aku tahu. Begitu pula dirimu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena rute edarnya yang tidak mudah diprediksi, tak semudah mentari. Aku rasa itu bagian dari keindahan sang rembulan--membuat kita terus menebak, memunculkan rasa penasaran dan kadang merindu. (Aku mulai bertanya-tanya apakah matahari adalah satu-satunya yang dicerminkan oleh sang rembulan.)
Atau mungkin rembulan tak menampakkan diri karena terhalang awan. Itu pun aku tak keberatan. Karena awan membawa janji-janji akan turunnya hujan. Hujan pula mengingatkan aku pada dirimu.
Dan di tempat yang akan kukunjungi ini—hujan turun setiap saat.
---
Tantanganku bukanlah untuk mengingatkan diri agar mendongak menatap langit malam. Tantanganku adalah untuk tidak terus-menerus mendongak. Aku tahu aku harus memfokuskan diri pada apa yang terbentang di hadapanku dan tidak mengizinkan hati ini berkelana terlalu sering, bahkan untuk mengembara menjenguk dirimu sekalipun.
Lagipula, jauh di dasar hati, aku tahu kau akan baik-baik saja. Kau memang sedemikian kuat dan terberkati. Dan itu satu-satunya yang aku perlu tahu. Satu-satunya hal yang penting bagiku.
Temanku tersayang. Mentor spiritualku dalam mencinta, merasa (lagi), berekspresi (lagi), dan—kini—untuk melepaskan. To let go. Aku tahu aku mesti membiarkan dirimu menapaki perjalananmu sendiri.
Dan tempatku adalah dua langkah di belakangmu, atau tepatnya, di sekitarmu. Di belakang ruangan, menyeruput kopi hitam hangat, mencicipi kue kecil, dan mencelotehkan obrolan tak bermakna dengan sosok di sebelahku. Tersenyum bangga kepadamu, karenamu.
Sementara kau berada di atas panggung, kembali bertumbuh dengan indah, dan wangi dan liar dan segar, serta penuh rasa syukur atas segala hal kecil yang mengada.
Waktu telah tiba bagi kita untuk meneruskan perjalanan. Entah bersama atau sendiri-sendiri, atau kadang bersama kadang terpisah. Ya, mungkin itu. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan dan bagian dari karunia dalam hidup ini.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Foto pertama diambil di Ubud (Bali), kedua dari sini dan ketiga di Anomali Coffee (Senopati, Jakarta).
…
Dan rembulan adalah tempat dua teman senang bertemu, berbagi cerita tentang terang dan gulita. Dalam hening, kicau kata, gelak tawa dan air mata—kadang semua teraduk menjadi satu.
Atau bahkan melalui saling tukar tatapan kriptik, bahasa tubuh yang demikian halus, dan siratan senyum yang hanya dapat dipahami oleh keduanya.
Rembulan memang titik temu sempurna. Rembulan tidak berdaya untuk menghasilkan sinar sendiri. Ia sekedar memantulkan sinar yang ia dapat (kebanyakan) dari matahari—layaknya dua teman yang mencerminkan satu dengan yang lain. Rembulan menyinar dengan terang yang lembut. Tak pernah menyilaukan, namun tetap menghadirkan kehangatan sederhana bagi hati dan mengulas senyum bagi bibir.
Jadi, tampaknya aku akan bertemu denganmu malam ini di langit, dimana rembulan menjelma—purnama maupun tidak. Putih, jingga, abu atau merah jambu. Untuk sekali ini saja, aku tak terlalu peduli terhadap detail.
Bahkan bila rembulan tak merupa pun, kita tahu bahwa ia ada. Kita tetap tahu di mana harus bertemu. Kita tetap bertemu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena ia sibuk menyinari belahan dunia lain. Tak apa. Cahaya rembulan cukup melimpah bagi semua. Namun ingat, keindahan hangat yang menyelimuti kita, tetaplah ekslusif untuk kita. Aku tahu. Begitu pula dirimu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena rute edarnya yang tidak mudah diprediksi, tak semudah mentari. Aku rasa itu bagian dari keindahan sang rembulan--membuat kita terus menebak, memunculkan rasa penasaran dan kadang merindu. (Aku mulai bertanya-tanya apakah matahari adalah satu-satunya yang dicerminkan oleh sang rembulan.)
Atau mungkin rembulan tak menampakkan diri karena terhalang awan. Itu pun aku tak keberatan. Karena awan membawa janji-janji akan turunnya hujan. Hujan pula mengingatkan aku pada dirimu.
Dan di tempat yang akan kukunjungi ini—hujan turun setiap saat.
---
Tantanganku bukanlah untuk mengingatkan diri agar mendongak menatap langit malam. Tantanganku adalah untuk tidak terus-menerus mendongak. Aku tahu aku harus memfokuskan diri pada apa yang terbentang di hadapanku dan tidak mengizinkan hati ini berkelana terlalu sering, bahkan untuk mengembara menjenguk dirimu sekalipun.
Lagipula, jauh di dasar hati, aku tahu kau akan baik-baik saja. Kau memang sedemikian kuat dan terberkati. Dan itu satu-satunya yang aku perlu tahu. Satu-satunya hal yang penting bagiku.
Temanku tersayang. Mentor spiritualku dalam mencinta, merasa (lagi), berekspresi (lagi), dan—kini—untuk melepaskan. To let go. Aku tahu aku mesti membiarkan dirimu menapaki perjalananmu sendiri.
Dan tempatku adalah dua langkah di belakangmu, atau tepatnya, di sekitarmu. Di belakang ruangan, menyeruput kopi hitam hangat, mencicipi kue kecil, dan mencelotehkan obrolan tak bermakna dengan sosok di sebelahku. Tersenyum bangga kepadamu, karenamu.
Sementara kau berada di atas panggung, kembali bertumbuh dengan indah, dan wangi dan liar dan segar, serta penuh rasa syukur atas segala hal kecil yang mengada.
Waktu telah tiba bagi kita untuk meneruskan perjalanan. Entah bersama atau sendiri-sendiri, atau kadang bersama kadang terpisah. Ya, mungkin itu. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan dan bagian dari karunia dalam hidup ini.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Foto pertama diambil di Ubud (Bali), kedua dari sini dan ketiga di Anomali Coffee (Senopati, Jakarta).
Monday, September 15, 2008
Selamat Idul Fitri 1429H
[English]
Saya melihat sekitar dan bertanya-tanya
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi mereka.
Saya menilik ke dalam dan mereka-reka
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi diri sendiri.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429H
Semoga perjalanan pulang menuju diri sejati Anda
dipenuhi kesadaran akan cinta dan damai.
PS: Saya nyadar kok. Agak sedikit awal. Tapi saya akan pergi besok lusa (Rabu pagi) ke Britania Raya. Saya akan mengambil kursus enam bulan di Sekolah Beshara, Skotlandia. Selama itu, saya praktis tidak akan mengakses Internet dan teknologi bergerak.
Baek-baek, teman-teman.
Selamat bersenang-senang dalam kehidupan!
Saya melihat sekitar dan bertanya-tanya
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi mereka.
Saya menilik ke dalam dan mereka-reka
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi diri sendiri.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429H
Semoga perjalanan pulang menuju diri sejati Anda
dipenuhi kesadaran akan cinta dan damai.
PS: Saya nyadar kok. Agak sedikit awal. Tapi saya akan pergi besok lusa (Rabu pagi) ke Britania Raya. Saya akan mengambil kursus enam bulan di Sekolah Beshara, Skotlandia. Selama itu, saya praktis tidak akan mengakses Internet dan teknologi bergerak.
Baek-baek, teman-teman.
Selamat bersenang-senang dalam kehidupan!
Wednesday, September 10, 2008
Harta tercuri
[English]
Al Ghazali mengatakan bahwa kadang Tuhan (atau alam atau apa pun kekuatan Maha yang kaupercayai) akan mengambil hal-hal yang demikian kita hargai dan dekap erat di hati guna memberi kita pelajaran akan hidup.
Agar kita dapat belajar hidup tanpa hal-hal yang kita kekapi itu dan dapat terus melangkah.
Agar kita dapat menghargai karunia yang kita miliki dan menggunakannya secara (lebih) bijak.
Hanya setelah kita memahami, Dia akan mengembalikannya pada kita.
Saya telah merasakan sedemikian banyak hal diambil dari saya selama perjalanan hidup ini. Beberapa masih belum saya dapati kembali. Beberapa saya masih ragu atau bahkan takut untuk memilikinya lagi. Pengingkaran dan penghindaran. Tampaknya saya benar-benar masih terus belajar.
post script: Namun akan kusampaikan satu hal padamu. Apapun yang telah teralami, aku tetap baik-baik saja dan aku masih merasa sebagai salah satu makhluk yang paling beruntung-- dan terberkati--yang pernah ada di muka bumi. Seperti halnya dirimu. Lebih dari yang kaukira. Terima kasih telah menjadi salah satu karunia dalam hidupku.
Jangan pernah memiliki pandangan yang berbeda dari ini.
Al Ghazali mengatakan bahwa kadang Tuhan (atau alam atau apa pun kekuatan Maha yang kaupercayai) akan mengambil hal-hal yang demikian kita hargai dan dekap erat di hati guna memberi kita pelajaran akan hidup.
Agar kita dapat belajar hidup tanpa hal-hal yang kita kekapi itu dan dapat terus melangkah.
Agar kita dapat menghargai karunia yang kita miliki dan menggunakannya secara (lebih) bijak.
Hanya setelah kita memahami, Dia akan mengembalikannya pada kita.
Saya telah merasakan sedemikian banyak hal diambil dari saya selama perjalanan hidup ini. Beberapa masih belum saya dapati kembali. Beberapa saya masih ragu atau bahkan takut untuk memilikinya lagi. Pengingkaran dan penghindaran. Tampaknya saya benar-benar masih terus belajar.
post script: Namun akan kusampaikan satu hal padamu. Apapun yang telah teralami, aku tetap baik-baik saja dan aku masih merasa sebagai salah satu makhluk yang paling beruntung-- dan terberkati--yang pernah ada di muka bumi. Seperti halnya dirimu. Lebih dari yang kaukira. Terima kasih telah menjadi salah satu karunia dalam hidupku.
Jangan pernah memiliki pandangan yang berbeda dari ini.
Menilik ke dalam
[English]
Saya tengah mengikuti sebuah diskusi kelompok, ketika salah seorang peserta bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya. Dia ingin membantu seseorang yang datang kepadanya, namun tidak bisa karena dia sudah terlanjur ada janji lain.
Sang peserta terus berpikir bagaimana perasaan orang itu dan apakah ia telah mengambil keputusan yang benar dengan tidak menghiraukan permintaan tersebut.
Seorang peserta lain bercerita betapa ia telah memaafkan orang yang telah menyakitinya. Betapa kita harus sabar. Betapa kita harus memaafkan dan melepaskan. Harus bersikap rendah hati dan sederhana.
Saya berpikir, menakjubkan sekali bagaimana kita sering berupaya untuk memperbaiki diri dengan menelaah cara kita bersikap terhadap orang lain atau berdasarkan cara orang lain memandang kita. Kadang kita tidak menyadari bahwa yang punya masalah itu kita dengan diri kita sendiri, bukan kita dengan mereka, apalagi mereka dengan diri mereka sendiri.
Sebuah buku yang baru-baru ini saya baca memberikan perspektif berbeda (dan menarik). Buku itu menyarankan kita (atau sebenarnya, saya) untuk mulai dengan diri sendiri. Ketimbang menekankan pada bagaimana kita harus bersikap, buku itu mengundang kita untuk memperhatikan proses yang terjadi dalam diri.
Mungkin memang sudah saatnya untuk (lebih) jujur pada diri kita, tentang diri kita sendiri. Apa yang sebenarnya kita rasa? Untuk memahami diri. Untuk menerima bahwa kita masih merasakan kemarahan, kemuakan, kegembiraan, dan cinta. Segala kombinasi rasa yang berkecamuk dalam diri. Untuk jujur pada diri.
Kita terlalu banyak menghabiskan waktu kita mengingkari apa yang kita rasa--terutama kalau rasa itu negatif. Terlalu sering kita hanya menyapu perasaan kita ke kolong tempat tidur--sekedar memindahkan dari sadar ke bawah sadar, menambahkan beban emosi yang sebenarnya telah menumpuk. Tidak benar-benar mengatasinya.
Kita mulai dengan mengakui perasaan kita dan memperhatikannya. Kemudian memperhatikan bagaimana rasa itu berubah, berevolusi.
Buku itu kemudian mengajak kita untuk "menghirup perasaan negatif, dan menghembuskan perasaan positif." Saya rasa ini pendekatan yang cukup berani.
Namun hanya setelah melalui proses penilikan ke dalam ini, kita dapat melangkah ke tahap selanjutnya untuk merangkul orang lain. Hanya dengan memahami perasaan kita, kita dapat mulai memahami perasaan orang lain. Hanya dengan menerima dan mencintai diri kita, kita dapat mulai menerima dan mencintai orang lain.
Masuk akal menurut saya. Ya gak sih?
Catatan tambahan. Apakah kita benar-benar berendah hati ketika kita secara eksplisit mengatakan kita rendah hati? Apakah kita benar-benar sabar ketika kita mengklaim diri ini sabar? Apakah kita benar-benar menerima ketika kita menyatakan bahwa kita menerima? Atau kita hanya membohongi diri sendiri? Sebuah kata lain muncul di pikiran ketika saya menulis ini: Arogansi. Lupa kita siapa sebenarnya lawan main kita.
Saya tengah mengikuti sebuah diskusi kelompok, ketika salah seorang peserta bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya. Dia ingin membantu seseorang yang datang kepadanya, namun tidak bisa karena dia sudah terlanjur ada janji lain.
Sang peserta terus berpikir bagaimana perasaan orang itu dan apakah ia telah mengambil keputusan yang benar dengan tidak menghiraukan permintaan tersebut.
Seorang peserta lain bercerita betapa ia telah memaafkan orang yang telah menyakitinya. Betapa kita harus sabar. Betapa kita harus memaafkan dan melepaskan. Harus bersikap rendah hati dan sederhana.
Saya berpikir, menakjubkan sekali bagaimana kita sering berupaya untuk memperbaiki diri dengan menelaah cara kita bersikap terhadap orang lain atau berdasarkan cara orang lain memandang kita. Kadang kita tidak menyadari bahwa yang punya masalah itu kita dengan diri kita sendiri, bukan kita dengan mereka, apalagi mereka dengan diri mereka sendiri.
Sebuah buku yang baru-baru ini saya baca memberikan perspektif berbeda (dan menarik). Buku itu menyarankan kita (atau sebenarnya, saya) untuk mulai dengan diri sendiri. Ketimbang menekankan pada bagaimana kita harus bersikap, buku itu mengundang kita untuk memperhatikan proses yang terjadi dalam diri.
Mungkin memang sudah saatnya untuk (lebih) jujur pada diri kita, tentang diri kita sendiri. Apa yang sebenarnya kita rasa? Untuk memahami diri. Untuk menerima bahwa kita masih merasakan kemarahan, kemuakan, kegembiraan, dan cinta. Segala kombinasi rasa yang berkecamuk dalam diri. Untuk jujur pada diri.
Kita terlalu banyak menghabiskan waktu kita mengingkari apa yang kita rasa--terutama kalau rasa itu negatif. Terlalu sering kita hanya menyapu perasaan kita ke kolong tempat tidur--sekedar memindahkan dari sadar ke bawah sadar, menambahkan beban emosi yang sebenarnya telah menumpuk. Tidak benar-benar mengatasinya.
Kita mulai dengan mengakui perasaan kita dan memperhatikannya. Kemudian memperhatikan bagaimana rasa itu berubah, berevolusi.
Buku itu kemudian mengajak kita untuk "menghirup perasaan negatif, dan menghembuskan perasaan positif." Saya rasa ini pendekatan yang cukup berani.
Namun hanya setelah melalui proses penilikan ke dalam ini, kita dapat melangkah ke tahap selanjutnya untuk merangkul orang lain. Hanya dengan memahami perasaan kita, kita dapat mulai memahami perasaan orang lain. Hanya dengan menerima dan mencintai diri kita, kita dapat mulai menerima dan mencintai orang lain.
Masuk akal menurut saya. Ya gak sih?
Catatan tambahan. Apakah kita benar-benar berendah hati ketika kita secara eksplisit mengatakan kita rendah hati? Apakah kita benar-benar sabar ketika kita mengklaim diri ini sabar? Apakah kita benar-benar menerima ketika kita menyatakan bahwa kita menerima? Atau kita hanya membohongi diri sendiri? Sebuah kata lain muncul di pikiran ketika saya menulis ini: Arogansi. Lupa kita siapa sebenarnya lawan main kita.
Tuesday, September 09, 2008
Lentera jiwa
[English]
Saya senang dengan orang-orang (terutama teman-teman) yang memiliki mimpi dan aspirasi. Saya terlebih menyukai mereka yang mengikuti mimpi-mimpi itu. Saya sangat percaya bahwa panggilan dari dalam yang terus-menerus mengemuka itu benar-benar berusaha mengatakan sesuatu pada kita. Ia bukan sekedar hal acak tak berarti.
Jadi saya membuka tangan dan hati terhadap tren Lentera Jiwa baru-baru ini.
Memang, ini (lagi-lagi) sebuah langkah pemasaran yang keren dari Yoris dan Morin untuk mempromosikan album baru Nugie.
Tetap saja, Lentera Jiwa merupakan sarana untuk mengingatkan kita bahwa kita dapat (dan seharusnya) memanfaatkan dan menikmati hidup semaksimal mungkin. Untuk mengejewantahkan potensi kita sebaik kita bisa dan tidak menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Recto Verso – album terbaru Dee juga merupakan contoh nyata dari lentera jiwa seseorang. Saya tidak membicarakan Dee di sini. Saya rasa dia tidak perlu perkenalan lagi (Love and light, D).
Saya ingin menceritakan tentang seorang teman lain yang membantu mendistribusikan album Recto Verso. Teman saya ini bekerja dalam bidang TI. Dia sangat gandrung pada musik atau, sejujurnya, apa pun yang berbau indie.
Yang menarik di sini adalah teman saya itu telah menggandrungi musik sejak saya pertama kenal dia (yang berarti sudah cukup lama, karena saya kenal dia saja sudah lebih dari 15 tahun).
Dia mungkin tidak (belum?) bisa mendedikasikan waktunya untuk memainkan instrumen musik sendiri tapi dia mempersembahkan pada musik apa yang ia bisa--kecintaannya, kemampuan organisasi dan manajemennya, dan logikanya yang brilian.
Dia menyumbangkan apa yang ia miliki. Mungkin dia satu-satunya yang bisa memainkan peran itu, dan hal ini membuatnya unik dalam konteks keseluruhan formula yang ada.
Pemikiran ini membawa saya kembali ke tahun 2002, ketika saya merasa agak tak berdaya melihat semua korban banjir Jakarta. Saya mengikuti seorang teman dokter saya keliling. Dia membantu para korban. Sedangkan seorang saya, apa yang bisa saya lakukan? Saya sekedar membantu teman saya membungkus obat-obat sederhana bagi para korban.
Sekarang--setelah memperhatikan teman saya dengan musik indie-nya--saya menyadari bahwa saya tidak perlu menjadi dokter untuk membantu dalam bidang kesehatan. Secara profesi, saya seorang konsultan komunikasi. Jadi harusnya itu yang saya lakukan--dan telah mulai saya lakukan sedikit-sedikit.
Saya belum menemukan satu topik--atau organisasi--yang bisa membuat saya demikian tertarik sehingga saya ingin saya fokuskan diri saya padanya.
Namun, sejauh ini, saya lebih memilih untuk menjadi 'konsultan' bagi lembaga atau yayasan yang dikelola teman-teman saya--melaksanakan pelatihan komunikasi, membantu membuat newsletter, menulis cerita tentang mereka, memfinalisasi proposal pendanaan mereka, dsb.
Mungkin itulah tempat atau fungsi unik saya dalam ensembel ini. Itu dan hal lain. Kita lihat nanti.
Saya bisa bilang dua hal pada Anda, sementara ini. Pertama, dengarkan diri Anda dan temukan panggilan itu. Kedua, tidak perlu terburu-buru. Ini semua proses. Anda tidak perlu serta merta melompat dan melakukannya sekarang juga.
Mungkin yang Anda lakukan sekarang adalah persiapan menuju langkah yang akan Anda ambil. Persiapan yang baik adalah setengah dari kemenangan yang akan kita capai. Manfaatkan waktu yang ada, namun jangan terlena terlalu lama ;)
Saya ingin mengulang apa yang ditulis di situs web Lentera Jiwa:
"Hidup memang penuh pilihan, tapi seringkali pilihan terbaik adalah mengikuti LENTERA JIWA kita. Cahaya yang menuntun kita pada tujuan hidup. Our passion in life.
Bagaimana dengan LENTERA JIWA-mu?"
Saya senang dengan orang-orang (terutama teman-teman) yang memiliki mimpi dan aspirasi. Saya terlebih menyukai mereka yang mengikuti mimpi-mimpi itu. Saya sangat percaya bahwa panggilan dari dalam yang terus-menerus mengemuka itu benar-benar berusaha mengatakan sesuatu pada kita. Ia bukan sekedar hal acak tak berarti.
Jadi saya membuka tangan dan hati terhadap tren Lentera Jiwa baru-baru ini.
Memang, ini (lagi-lagi) sebuah langkah pemasaran yang keren dari Yoris dan Morin untuk mempromosikan album baru Nugie.
Tetap saja, Lentera Jiwa merupakan sarana untuk mengingatkan kita bahwa kita dapat (dan seharusnya) memanfaatkan dan menikmati hidup semaksimal mungkin. Untuk mengejewantahkan potensi kita sebaik kita bisa dan tidak menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Recto Verso – album terbaru Dee juga merupakan contoh nyata dari lentera jiwa seseorang. Saya tidak membicarakan Dee di sini. Saya rasa dia tidak perlu perkenalan lagi (Love and light, D).
Saya ingin menceritakan tentang seorang teman lain yang membantu mendistribusikan album Recto Verso. Teman saya ini bekerja dalam bidang TI. Dia sangat gandrung pada musik atau, sejujurnya, apa pun yang berbau indie.
Yang menarik di sini adalah teman saya itu telah menggandrungi musik sejak saya pertama kenal dia (yang berarti sudah cukup lama, karena saya kenal dia saja sudah lebih dari 15 tahun).
Dia mungkin tidak (belum?) bisa mendedikasikan waktunya untuk memainkan instrumen musik sendiri tapi dia mempersembahkan pada musik apa yang ia bisa--kecintaannya, kemampuan organisasi dan manajemennya, dan logikanya yang brilian.
Dia menyumbangkan apa yang ia miliki. Mungkin dia satu-satunya yang bisa memainkan peran itu, dan hal ini membuatnya unik dalam konteks keseluruhan formula yang ada.
Pemikiran ini membawa saya kembali ke tahun 2002, ketika saya merasa agak tak berdaya melihat semua korban banjir Jakarta. Saya mengikuti seorang teman dokter saya keliling. Dia membantu para korban. Sedangkan seorang saya, apa yang bisa saya lakukan? Saya sekedar membantu teman saya membungkus obat-obat sederhana bagi para korban.
Sekarang--setelah memperhatikan teman saya dengan musik indie-nya--saya menyadari bahwa saya tidak perlu menjadi dokter untuk membantu dalam bidang kesehatan. Secara profesi, saya seorang konsultan komunikasi. Jadi harusnya itu yang saya lakukan--dan telah mulai saya lakukan sedikit-sedikit.
Saya belum menemukan satu topik--atau organisasi--yang bisa membuat saya demikian tertarik sehingga saya ingin saya fokuskan diri saya padanya.
Namun, sejauh ini, saya lebih memilih untuk menjadi 'konsultan' bagi lembaga atau yayasan yang dikelola teman-teman saya--melaksanakan pelatihan komunikasi, membantu membuat newsletter, menulis cerita tentang mereka, memfinalisasi proposal pendanaan mereka, dsb.
Mungkin itulah tempat atau fungsi unik saya dalam ensembel ini. Itu dan hal lain. Kita lihat nanti.
Saya bisa bilang dua hal pada Anda, sementara ini. Pertama, dengarkan diri Anda dan temukan panggilan itu. Kedua, tidak perlu terburu-buru. Ini semua proses. Anda tidak perlu serta merta melompat dan melakukannya sekarang juga.
Mungkin yang Anda lakukan sekarang adalah persiapan menuju langkah yang akan Anda ambil. Persiapan yang baik adalah setengah dari kemenangan yang akan kita capai. Manfaatkan waktu yang ada, namun jangan terlena terlalu lama ;)
Saya ingin mengulang apa yang ditulis di situs web Lentera Jiwa:
"Hidup memang penuh pilihan, tapi seringkali pilihan terbaik adalah mengikuti LENTERA JIWA kita. Cahaya yang menuntun kita pada tujuan hidup. Our passion in life.
Bagaimana dengan LENTERA JIWA-mu?"
Wednesday, September 03, 2008
Saat berdiam diri. Saat hening.
[English]
Sekolah saya belum dimulai. Saya bahkan belum memulai perjalanan saya secara fisik. Namun beragam pelajaran tampaknya sudah mulai berdatangan.
Seorang mentor penyembuhan Reza Gunawan pernah berucap pada saya bahwa kadang tubuh dan jiwa kita tahu kalau kita akan beperjalanan dan mereka pun berinisiatif memulai prosesnya bahkan sebelum kita memulai perjalanan yang kasat mata sekalipun.
Saya dapat merasakan bahwa proses telah dimulai. Di dalam. Satu (atau dua, atau tiga) sensasi yang demikian akrab dan, saya ingat betul, cukup intens. Mereka mulai mengemuka kembali. Kali ini, saya menyambutnya dengan tangan terbuka dan sepenuh hati. Mungkin saya perlu menyisipkan kata "mencoba" di sini, karena proses ini bisa menjadi sangat menantang.
Guru meditasi saya Pak Merta Ade dari Bali Usada pernah berkata, “Jika kamu sudah siap, coba merasakannya lebih lama." (terjemahan: jangan melarikan diri. Coba hadapi.)
Kala itu beliau tengah mengacu pada sensasi indera yang kerap muncul selama meditasi. Tapi pendengaran saya menangkap hal-hal di luar itu. Saya mendengar kesedihan, kemarahan, trauma dan berbagai hal lain yang berkecamuk dalam diri. Segala emosi yang belum tuntas.
Buku yang saya terima dari seorang teman menganjurkan untuk memulai dari tempat saya kini berpijak. Untuk mengakrabkan diri dengan kondisi fisik dan emosi saya; untuk belajar dari mereka. Kembali, segala emosi yang belum tuntas.
Kedua kejadian di atas mengajak saya untuk "memperlambat laju jalan, menghentikan langkah, duduk tenang dan menghadapi diri." Jadi saya pun duduk. Dalam hening. Tanpa ditemani seorang pun kecuali Kamu.Tak mudah.
Entah bagaimana semua perasaan dan memori usang semakin lama semakin jelas. Saya menjadi gelisah. Saya bertanya-tanya apakah saya benar-benar telah siap untuk menceburkan diri ke dalam hal ini lagi.
Tapi bukan saya kalau tidak ada coba-coba kreatif.
Mungkin kalau saya menyibukkan diri, saya tidak akan terlalu terikat pada kegiatan ini. Saya mengerjakan beberapa proyek meskipun tanggal keberangkatan saya sudah semakin mendekat. Rupanya saya lupa siapa yang sedang saya hadapi. Kedua proyek pun berjalan tak terlalu cepat. Saya masih punya banyak waktu luang untuk "terikat pada kegiatan ini."
Hm, mungkin ada cara meringankan beban ini sedikit. Berbagi mungkin membantu? Tak ada salahnya khan bila saya bercerita ke satu atau dua teman? Salah.
Beberapa hal memang sebaiknya tetap tak terucap dan disimpan sendiri. Selalu saja ada yang terjadi. Koneksi Internet terputus. Terlalu banyak orang di sekitar. Jadwal yang tak sinkron. Tak ada cukup waktu. Jadi gitu, bukan karena saya tak mau berbagi, tapi saya tak bisa, saya tak boleh.
Untuk kesekian kalinya, saya terduduk dalam hening. Dengan diri dan aku. Dan Dirimu.
Saya tahu waktunya telah tiba. Saya mafhum ini adalah perjalanan pribadi yang harus saya tapaki sendiri. Tanpa seorang pun kecuali Kamu. Miliki keyakinan. Ya, saya yakin.
Kamu mungkin tak mengerti. Tak apa. Kadang saya pun tak paham.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Sekolah saya belum dimulai. Saya bahkan belum memulai perjalanan saya secara fisik. Namun beragam pelajaran tampaknya sudah mulai berdatangan.
Seorang mentor penyembuhan Reza Gunawan pernah berucap pada saya bahwa kadang tubuh dan jiwa kita tahu kalau kita akan beperjalanan dan mereka pun berinisiatif memulai prosesnya bahkan sebelum kita memulai perjalanan yang kasat mata sekalipun.
Saya dapat merasakan bahwa proses telah dimulai. Di dalam. Satu (atau dua, atau tiga) sensasi yang demikian akrab dan, saya ingat betul, cukup intens. Mereka mulai mengemuka kembali. Kali ini, saya menyambutnya dengan tangan terbuka dan sepenuh hati. Mungkin saya perlu menyisipkan kata "mencoba" di sini, karena proses ini bisa menjadi sangat menantang.
Guru meditasi saya Pak Merta Ade dari Bali Usada pernah berkata, “Jika kamu sudah siap, coba merasakannya lebih lama." (terjemahan: jangan melarikan diri. Coba hadapi.)
Kala itu beliau tengah mengacu pada sensasi indera yang kerap muncul selama meditasi. Tapi pendengaran saya menangkap hal-hal di luar itu. Saya mendengar kesedihan, kemarahan, trauma dan berbagai hal lain yang berkecamuk dalam diri. Segala emosi yang belum tuntas.
Buku yang saya terima dari seorang teman menganjurkan untuk memulai dari tempat saya kini berpijak. Untuk mengakrabkan diri dengan kondisi fisik dan emosi saya; untuk belajar dari mereka. Kembali, segala emosi yang belum tuntas.
Kedua kejadian di atas mengajak saya untuk "memperlambat laju jalan, menghentikan langkah, duduk tenang dan menghadapi diri." Jadi saya pun duduk. Dalam hening. Tanpa ditemani seorang pun kecuali Kamu.Tak mudah.
Entah bagaimana semua perasaan dan memori usang semakin lama semakin jelas. Saya menjadi gelisah. Saya bertanya-tanya apakah saya benar-benar telah siap untuk menceburkan diri ke dalam hal ini lagi.
Tapi bukan saya kalau tidak ada coba-coba kreatif.
Mungkin kalau saya menyibukkan diri, saya tidak akan terlalu terikat pada kegiatan ini. Saya mengerjakan beberapa proyek meskipun tanggal keberangkatan saya sudah semakin mendekat. Rupanya saya lupa siapa yang sedang saya hadapi. Kedua proyek pun berjalan tak terlalu cepat. Saya masih punya banyak waktu luang untuk "terikat pada kegiatan ini."
Hm, mungkin ada cara meringankan beban ini sedikit. Berbagi mungkin membantu? Tak ada salahnya khan bila saya bercerita ke satu atau dua teman? Salah.
Beberapa hal memang sebaiknya tetap tak terucap dan disimpan sendiri. Selalu saja ada yang terjadi. Koneksi Internet terputus. Terlalu banyak orang di sekitar. Jadwal yang tak sinkron. Tak ada cukup waktu. Jadi gitu, bukan karena saya tak mau berbagi, tapi saya tak bisa, saya tak boleh.
Untuk kesekian kalinya, saya terduduk dalam hening. Dengan diri dan aku. Dan Dirimu.
Saya tahu waktunya telah tiba. Saya mafhum ini adalah perjalanan pribadi yang harus saya tapaki sendiri. Tanpa seorang pun kecuali Kamu. Miliki keyakinan. Ya, saya yakin.
Kamu mungkin tak mengerti. Tak apa. Kadang saya pun tak paham.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Monday, September 01, 2008
Dari satu rumah ke rumah lain
[English]
Sekarang sudah bulan September. Pada tanggal 17, saya akan ke Skotlandia untuk mengikuti program enam bulan di sebuah sekolah bernama Beshara.
Perjalanan di bulan-bulan mendatang kehidupan saya dimulai dengan salah satu kelokan tak terduga dalam hidup saya. Saya diperkenalkan ke kelompok Beshara di Jakarta tahun lalu.
Saya menghadiri program akhir pekannya dan saya akui bahwa saya tidak langsung nyambung dengan mereka. Namun ada sesuatu yang terus menerus menarik saya ke kelompok itu. Saya nurut saya, mungkin atas nama penasaran.
Awal tahun ini, saya kembali mengikuti program akhir pekan Beshara. Di penghujung acara, saya ngobrol-ngobrol santai dengan salah seorang fasilitatornya.
Saya bertanya apakah mungkin bagi saya untuk mendapatkan beasiswa guna mengikuti program di sana. Beliau menjawab, "Coba saja email direktur sekolahnya." Pernyataan yang demikian sederhana.
Hebatnya, proses selanjutnya pun sama sesederhananya. Saya tak 'mengacuhkan' jawaban beliau, hingga seminggu kemudian entah apa yang menggerakkan saya. Saya pikir, ya sud, kenapa tidak. Toh saya tidak akan rugi atau kehilangan apa-apa dengan mengemailnya.
Lantas, saya email sang direktur sekolah. Beliau pun menjawab. Ya. Ya??!?!? Saya SMS beberapa teman, mem-forward email itu, dan bertanya ke mereka apakah saya telah memahami email ini dengan benar. Iya, kata mereka. Wah.
Beberapa teman (berulang kali) bertanya bagaimana saya bisa dapat beasiswa itu, atas dasar apa. Satu-satunya jawaban yang dapat saya berikan adalah: “Mungkin, kita hanya perlu bertanya.” Jawaban pasrah karena saya tak tahu harus bernalar seperti apa lagi. Tak perlu.
Dan sisa cerita pun bergulir dengan sendirinya. Saya menerima email tersebut bulan Maret tahun ini. Hidup terus mengalir. Sekarang kita sudah di bulan September. Dua minggu dari sekarang, insya Allah saya akan berada di Skotlandia.
Skotlandia. Kawasan yang sangat dekat di hati saya. Para sahabat dan keluarga saya tahu betapa saya telah jatuh cinta pada tempat itu.
Jadi ketika mereka mendengar saya akan ke Skotlandia, mereka hanya memberikan dua komentar: “Memang sudah digariskan” dan “Oh, mau pulang kampung.”
Iya, saya pun merasa saya akan pulang kampung. Saya akan pulang, dari satu rumah ke rumah yang lain. Memang sudah digariskan. Saya sekedar menjalani.
Kalau kamu ke sana--dan kamu ke sana bersama saya, saya yakin kamu akan dapat melihat apa yang saya lihat, dan merasa apa yang saya rasa. Mungkin kemudian kamu akan mengerti kenapa.
---
Saya terjaga pagi ini dengan sebuah SMS dari seorang teman: “Mudah-mudahan semua upaya baik bisa membimbing jiwa kepada pencerahan sejati, sekalipun itu bukanlah jalan yang mudah.”
Saya tahu. Kamu tahu. Yang lain tidak. Tarik napas dalam.
Gambar diambil dari Beshara, Stirling Uni, and Gettyimages.
Sekarang sudah bulan September. Pada tanggal 17, saya akan ke Skotlandia untuk mengikuti program enam bulan di sebuah sekolah bernama Beshara.
Perjalanan di bulan-bulan mendatang kehidupan saya dimulai dengan salah satu kelokan tak terduga dalam hidup saya. Saya diperkenalkan ke kelompok Beshara di Jakarta tahun lalu.
Saya menghadiri program akhir pekannya dan saya akui bahwa saya tidak langsung nyambung dengan mereka. Namun ada sesuatu yang terus menerus menarik saya ke kelompok itu. Saya nurut saya, mungkin atas nama penasaran.
Awal tahun ini, saya kembali mengikuti program akhir pekan Beshara. Di penghujung acara, saya ngobrol-ngobrol santai dengan salah seorang fasilitatornya.
Saya bertanya apakah mungkin bagi saya untuk mendapatkan beasiswa guna mengikuti program di sana. Beliau menjawab, "Coba saja email direktur sekolahnya." Pernyataan yang demikian sederhana.
Hebatnya, proses selanjutnya pun sama sesederhananya. Saya tak 'mengacuhkan' jawaban beliau, hingga seminggu kemudian entah apa yang menggerakkan saya. Saya pikir, ya sud, kenapa tidak. Toh saya tidak akan rugi atau kehilangan apa-apa dengan mengemailnya.
Lantas, saya email sang direktur sekolah. Beliau pun menjawab. Ya. Ya??!?!? Saya SMS beberapa teman, mem-forward email itu, dan bertanya ke mereka apakah saya telah memahami email ini dengan benar. Iya, kata mereka. Wah.
Beberapa teman (berulang kali) bertanya bagaimana saya bisa dapat beasiswa itu, atas dasar apa. Satu-satunya jawaban yang dapat saya berikan adalah: “Mungkin, kita hanya perlu bertanya.” Jawaban pasrah karena saya tak tahu harus bernalar seperti apa lagi. Tak perlu.
Dan sisa cerita pun bergulir dengan sendirinya. Saya menerima email tersebut bulan Maret tahun ini. Hidup terus mengalir. Sekarang kita sudah di bulan September. Dua minggu dari sekarang, insya Allah saya akan berada di Skotlandia.
Skotlandia. Kawasan yang sangat dekat di hati saya. Para sahabat dan keluarga saya tahu betapa saya telah jatuh cinta pada tempat itu.
Jadi ketika mereka mendengar saya akan ke Skotlandia, mereka hanya memberikan dua komentar: “Memang sudah digariskan” dan “Oh, mau pulang kampung.”
Iya, saya pun merasa saya akan pulang kampung. Saya akan pulang, dari satu rumah ke rumah yang lain. Memang sudah digariskan. Saya sekedar menjalani.
Kalau kamu ke sana--dan kamu ke sana bersama saya, saya yakin kamu akan dapat melihat apa yang saya lihat, dan merasa apa yang saya rasa. Mungkin kemudian kamu akan mengerti kenapa.
---
Saya terjaga pagi ini dengan sebuah SMS dari seorang teman: “Mudah-mudahan semua upaya baik bisa membimbing jiwa kepada pencerahan sejati, sekalipun itu bukanlah jalan yang mudah.”
Saya tahu. Kamu tahu. Yang lain tidak. Tarik napas dalam.
Gambar diambil dari Beshara, Stirling Uni, and Gettyimages.
Sunday, August 31, 2008
Wednesday, August 27, 2008
Hidup tak usai
[English]
Kota kecil abad pertengahan bertatahkan batu itu hening sempurna
Semua penghuni telah terlelap
Semua kecuali satu. Annette yang remaja
Jalan kota diam membisu
Namun bagi remaja ini
Sang kota tengah membeberkan jiwa yang lelah
Annette yang remaja terbalut dalam jaket musim dingin
Dia menatap nanar pada jalan melompong
Dada sesak, napas singkat, mata membasah
Namun ia tetap berdiri, tak tergerak
Membeku dalam ruang dan waktu
Tak acuh terhadap fahrenheit menusuk yang menggeluti tubuh
Karena ada tusukan lain yang terasa lebih menohok
Sesuatu tentang kota yang demikian dicinta
Kesedihan mendalam, frustasi dan kemiskinan yang melantakkan hati
Annette telah menentukan langkah
Ia tahu apa yang yang harus ia lakukan
Dan niat pun meneguh untuk mengejewantahkannya
Merasa cukup, perempuan ini masuk kembali
Ke gubuk kecil yang hangat dan nyaman
Ke sang ayah yang pandai dan pekerja keras
Ke ibunda nan sederhana dan penuh cinta
Dan ke adik laki-lakinya yang lugu
Annette yang mulai tumbuh dewasa tahu
Tanah subur di keliling kota ini adalah kunci
Untuk membawa orang-orang di sekitarnya
keluar dari jurang kemiskinan
Perekonomian berbasis pertanian. Itulah jawabannya
Itulah yang akan ia tekuni
Sebuah dedikasi total terhadap idealisme dan sesama
Prestasi Annette melambung di atas semua perempuan di zamannya
Pikiran-pikirannya dihargai
Namun Annette berpuas terlalu cepat
Pujian dan penghargaan telah membutakan
Keangkuhan pun secara laten mengambil alih kuasa atas jiwa
Ia lupa seberapa jauh ia masih dapat berjalan
Ia melalaikan beribu kilometer yang masih harus ia tapaki
Jalan pun membelok semakin jauh
Annette yang dewasa bertemu seorang pria
Mereka jatuh cinta
Mereka hidup berbahagia selama sisa hari dalam kehidupan
Annette lupa tujuan ia mengada
Ia mencengkeram kebahagiaan, takut akan kehilangan yang ia punya
Ia tidak tahu kalau ia bisa saja memiliki segalanya
Memiliki ini dan itu
Dan masih banyak lagi. Sang Pemelihara sedemikian murah hati
Di atas tempat tidurnya, Annette yang setengah tua menilik sekitar
Ia merasa bahagia. Ia merasa cinta
Annette telah memiliki apa yang ia dambakan
Kekayaan. Kehormatan. Keluarga
Dan (pemahaman akan) cinta
(yang ternyata membatasi dan cenderung salah kaprah)
Namun di menit-menit terakhir, ia teringat sesuatu
Kerja belum usai
Ia telah menafikan alasan kenapa ia ada di sini
Kini ia mulai menyadari kembali
Di saat-saat terakhir dalam hidupnya
Namun masih tersisa butiran asa
Perjalanan belum benar-benar berakhir
Masih ada kesempatan lain
Dan kesempatan itu mewujud sekarang, saat ini
Ketika semua entah bagaimana tertata rapi
Ketika semua dapat dan akan menjelma menjadi jalinan sempurna
Cinta. Dan kali ini, ia berharap Sang Maha Cinta.
Kota kecil abad pertengahan bertatahkan batu itu hening sempurna
Semua penghuni telah terlelap
Semua kecuali satu. Annette yang remaja
Jalan kota diam membisu
Namun bagi remaja ini
Sang kota tengah membeberkan jiwa yang lelah
Annette yang remaja terbalut dalam jaket musim dingin
Dia menatap nanar pada jalan melompong
Dada sesak, napas singkat, mata membasah
Namun ia tetap berdiri, tak tergerak
Membeku dalam ruang dan waktu
Tak acuh terhadap fahrenheit menusuk yang menggeluti tubuh
Karena ada tusukan lain yang terasa lebih menohok
Sesuatu tentang kota yang demikian dicinta
Kesedihan mendalam, frustasi dan kemiskinan yang melantakkan hati
Annette telah menentukan langkah
Ia tahu apa yang yang harus ia lakukan
Dan niat pun meneguh untuk mengejewantahkannya
Merasa cukup, perempuan ini masuk kembali
Ke gubuk kecil yang hangat dan nyaman
Ke sang ayah yang pandai dan pekerja keras
Ke ibunda nan sederhana dan penuh cinta
Dan ke adik laki-lakinya yang lugu
Annette yang mulai tumbuh dewasa tahu
Tanah subur di keliling kota ini adalah kunci
Untuk membawa orang-orang di sekitarnya
keluar dari jurang kemiskinan
Perekonomian berbasis pertanian. Itulah jawabannya
Itulah yang akan ia tekuni
Sebuah dedikasi total terhadap idealisme dan sesama
Prestasi Annette melambung di atas semua perempuan di zamannya
Pikiran-pikirannya dihargai
Namun Annette berpuas terlalu cepat
Pujian dan penghargaan telah membutakan
Keangkuhan pun secara laten mengambil alih kuasa atas jiwa
Ia lupa seberapa jauh ia masih dapat berjalan
Ia melalaikan beribu kilometer yang masih harus ia tapaki
Jalan pun membelok semakin jauh
Annette yang dewasa bertemu seorang pria
Mereka jatuh cinta
Mereka hidup berbahagia selama sisa hari dalam kehidupan
Annette lupa tujuan ia mengada
Ia mencengkeram kebahagiaan, takut akan kehilangan yang ia punya
Ia tidak tahu kalau ia bisa saja memiliki segalanya
Memiliki ini dan itu
Dan masih banyak lagi. Sang Pemelihara sedemikian murah hati
Di atas tempat tidurnya, Annette yang setengah tua menilik sekitar
Ia merasa bahagia. Ia merasa cinta
Annette telah memiliki apa yang ia dambakan
Kekayaan. Kehormatan. Keluarga
Dan (pemahaman akan) cinta
(yang ternyata membatasi dan cenderung salah kaprah)
Namun di menit-menit terakhir, ia teringat sesuatu
Kerja belum usai
Ia telah menafikan alasan kenapa ia ada di sini
Kini ia mulai menyadari kembali
Di saat-saat terakhir dalam hidupnya
Namun masih tersisa butiran asa
Perjalanan belum benar-benar berakhir
Masih ada kesempatan lain
Dan kesempatan itu mewujud sekarang, saat ini
Ketika semua entah bagaimana tertata rapi
Ketika semua dapat dan akan menjelma menjadi jalinan sempurna
Cinta. Dan kali ini, ia berharap Sang Maha Cinta.
Sunday, August 24, 2008
Monday, August 18, 2008
Catatan akhir untuk perjalanan kali ini: Kehidupan yang demikian cepat
[English]
Tuntas sudah. Akhir dari rangkaian perjalanan saya kali ini. Besok, kerja (sebagai seorang profesional dalam bidang komunikasi) dimulai kembali. Perjalanan tiga minggu yang luar biasa.
Beberapa minggu lalu, ketika saya membeberkan jadwal perjalanan saya—yoga, meditasi, pelatihan penyembuhan, ketemuan dengan orang, empat-bahkan-lebih-lokasi di tiga negara dalam kurun waktu tiga minggu, dia berkata "cepat sekali hidupnya.”
Saya tidak pernah berpikir seperti itu hingga saat teman saya berkata demikian. Suatu sudut pandang yang cukup valid. Kalau Anda melihat jadwal saya, maka hidup saya ini tampak berjalan sangat cepat dari satu titik ke titik lain.
Namun menariknya, di setiap titik, hidup tersebut seperti melambat hingga ke tingkat yang tampak tidak bergerak sama sekali. Hidup ini berjalan lambat di tiap titik. Hidup telah memanfaatkan waktu yang dimilikinya dan menikmati proses yang dijalaninya.
Kini hidup sama sekali tak tampak berjalan cepat. Tidak lagi.
Hidup dengan ringan pindah dari satu titik ke titik lain, namun saya tahu bahwa ia menyimak setiap detik yang dilewatinya--mencelupkan diri dalam pengalaman yang diberikan oleh tiap node petualangan, menikmati proses, dan menyambut setiap pelajaran yang dihadiahkan oleh alam.
Melepaskan, menikmati, dan menyambut tampak menjadi kata-kata kunci dari episode perjalanan kali ini.
Rasa terima kasih saya haturkan pada guru-guru dan teman-teman saya. Dan Tuhan. Dan keluarga saya tercinta. Dan--walau terdengar aneh--kepada diri yang telah mengizinkan proses ini berlangsung.
Saat saya menulis catatan akhir ini, sebuah kalimat dalam buku yang saya terima dari seorang teman seperjalanan beresonansi dalam ruang kepala: “Compassion for others begins with kindness to ourselves. --- Rasa kasih terhadap makhluk lain dimulai dengan kebaikan dan kelembutan terhadap diri sendiri.”
PS: Kangen juga dengan dirimu. Um, beneran.
Tuntas sudah. Akhir dari rangkaian perjalanan saya kali ini. Besok, kerja (sebagai seorang profesional dalam bidang komunikasi) dimulai kembali. Perjalanan tiga minggu yang luar biasa.
Beberapa minggu lalu, ketika saya membeberkan jadwal perjalanan saya—yoga, meditasi, pelatihan penyembuhan, ketemuan dengan orang, empat-bahkan-lebih-lokasi di tiga negara dalam kurun waktu tiga minggu, dia berkata "cepat sekali hidupnya.”
Saya tidak pernah berpikir seperti itu hingga saat teman saya berkata demikian. Suatu sudut pandang yang cukup valid. Kalau Anda melihat jadwal saya, maka hidup saya ini tampak berjalan sangat cepat dari satu titik ke titik lain.
Namun menariknya, di setiap titik, hidup tersebut seperti melambat hingga ke tingkat yang tampak tidak bergerak sama sekali. Hidup ini berjalan lambat di tiap titik. Hidup telah memanfaatkan waktu yang dimilikinya dan menikmati proses yang dijalaninya.
Kini hidup sama sekali tak tampak berjalan cepat. Tidak lagi.
Hidup dengan ringan pindah dari satu titik ke titik lain, namun saya tahu bahwa ia menyimak setiap detik yang dilewatinya--mencelupkan diri dalam pengalaman yang diberikan oleh tiap node petualangan, menikmati proses, dan menyambut setiap pelajaran yang dihadiahkan oleh alam.
Melepaskan, menikmati, dan menyambut tampak menjadi kata-kata kunci dari episode perjalanan kali ini.
Rasa terima kasih saya haturkan pada guru-guru dan teman-teman saya. Dan Tuhan. Dan keluarga saya tercinta. Dan--walau terdengar aneh--kepada diri yang telah mengizinkan proses ini berlangsung.
Saat saya menulis catatan akhir ini, sebuah kalimat dalam buku yang saya terima dari seorang teman seperjalanan beresonansi dalam ruang kepala: “Compassion for others begins with kindness to ourselves. --- Rasa kasih terhadap makhluk lain dimulai dengan kebaikan dan kelembutan terhadap diri sendiri.”
PS: Kangen juga dengan dirimu. Um, beneran.
Thursday, August 14, 2008
Layaknya tangan kiri dan tangan kanan
[English]
Seorang pria tengah memaku dinding. Tangan kirinya memegang paku, sementara tangan kanannya memegang palu. Duk duk duk.
“Aduh!” tiba-tiba sang pria berteriak. Dia telah memukul tangan kirinya dengan palu. Atau kalau mau, bisa dibilang tangan kanannya (yang memegang palu) telah memukul tangan kirinya (yang memegang paku).
Tahukah Anda apa yang terjadi selanjutnya?
Tangan kanan segera membuang palu yang tengah dipegangnya untuk memegang tangan kiri. Tangan kiri tengah kesakitan dan fokus pada rasa sakitnya. Kedua tangan bekerja sama untuk sebaik-baiknya mengurangi rasa sakit.
Menurut Anda, apa yang akan terjadi kalau hal ini berlangsung antara dua manusia? A memukul B. A bisa saja melarikan diri. A bisa saja berlagak tidak terjadi apa-apa. Atau A bisa saja memarahi B karena keteledorannya—menerapkan prinsip 'memarahi dulu sebelum dimarahi.'
B, di lain pihak, mungkin akan menatap A dengan rasa marah dan benci. B tentu akan menyalahkan A atas apa yang baru saja terjadi. B akan menyimpan rasa kesal dan jauh di dalam benaknya mungkin telah menyimpan baik-baik memori kejadian ini dan diam-diam menyusun rencana balas dendam di masa nanti.
Tapi tidak demikian dengan tangan-tangan itu. Tangan kanan tidak melarikan diri. Ia tak bisa melarikan diri. Kedua tangan ini tergabung dalam satu tubuh. Tangan kanan langsung melupakan apa yang tengah ia kerjakan untuk mengurus tangan kiri. Tangan kiri tidak memendam kekesalan dan bahkan tidak berpikir sama sekali untuk membalas dendam terhadap tangan kanan.
Selalu aja ada hal yang terjadi. Kedua tangan bekerja sama sebaik mungkin. Mereka bisa merasa satu sama lain. Mereka terhubung satu sama lain. Mereka tahu bahwa, pada akhirnya, mereka adalah satu dan saling terkoneksi. Tidak ada yang menyalahkan siapa pun. Mereka terus bekerja sama.
Tubuh manusia yang luar biasa ini merupakan refleksi mikroskopis tentang bagaimana dunia saling terkait dan bagaimana manusia selayaknya memperlakukan satu sama lain. Sayangnya, sedikit sekali yang memperhatikan.
-cerita dari Thich Nhat Hanh yang dihaturkan selama pembicaraan dengan Nat di Bangkok.
Seorang pria tengah memaku dinding. Tangan kirinya memegang paku, sementara tangan kanannya memegang palu. Duk duk duk.
“Aduh!” tiba-tiba sang pria berteriak. Dia telah memukul tangan kirinya dengan palu. Atau kalau mau, bisa dibilang tangan kanannya (yang memegang palu) telah memukul tangan kirinya (yang memegang paku).
Tahukah Anda apa yang terjadi selanjutnya?
Tangan kanan segera membuang palu yang tengah dipegangnya untuk memegang tangan kiri. Tangan kiri tengah kesakitan dan fokus pada rasa sakitnya. Kedua tangan bekerja sama untuk sebaik-baiknya mengurangi rasa sakit.
Menurut Anda, apa yang akan terjadi kalau hal ini berlangsung antara dua manusia? A memukul B. A bisa saja melarikan diri. A bisa saja berlagak tidak terjadi apa-apa. Atau A bisa saja memarahi B karena keteledorannya—menerapkan prinsip 'memarahi dulu sebelum dimarahi.'
B, di lain pihak, mungkin akan menatap A dengan rasa marah dan benci. B tentu akan menyalahkan A atas apa yang baru saja terjadi. B akan menyimpan rasa kesal dan jauh di dalam benaknya mungkin telah menyimpan baik-baik memori kejadian ini dan diam-diam menyusun rencana balas dendam di masa nanti.
Tapi tidak demikian dengan tangan-tangan itu. Tangan kanan tidak melarikan diri. Ia tak bisa melarikan diri. Kedua tangan ini tergabung dalam satu tubuh. Tangan kanan langsung melupakan apa yang tengah ia kerjakan untuk mengurus tangan kiri. Tangan kiri tidak memendam kekesalan dan bahkan tidak berpikir sama sekali untuk membalas dendam terhadap tangan kanan.
Selalu aja ada hal yang terjadi. Kedua tangan bekerja sama sebaik mungkin. Mereka bisa merasa satu sama lain. Mereka terhubung satu sama lain. Mereka tahu bahwa, pada akhirnya, mereka adalah satu dan saling terkoneksi. Tidak ada yang menyalahkan siapa pun. Mereka terus bekerja sama.
Tubuh manusia yang luar biasa ini merupakan refleksi mikroskopis tentang bagaimana dunia saling terkait dan bagaimana manusia selayaknya memperlakukan satu sama lain. Sayangnya, sedikit sekali yang memperhatikan.
-cerita dari Thich Nhat Hanh yang dihaturkan selama pembicaraan dengan Nat di Bangkok.
Bangkok: teman-teman lama bertemu
[English]
Saya baru menyadari bahwa Bangkok adalah satu-satunya kota dalam rute saya kali ini yang saya tidak punya agenda khusus kecuali bertemu dengan teman. Tidak ada retreat, tidak ada pelatihan, tidak ada apa-apa. Enak juga sekali-sekali tidak punya agenda.
Ada satu agenda sih: untuk ngobrol dengan teman saya Nat. (oh dan sesi pijat Thai.) Saya bertemu dengan Nat ketika saya di Spanyol secara 'kebetulan.' Kami ngopi bareng dan mulai mengobrol. Obrolan singkat bertumbuh menjadi pertemanan.
Kunjungan tiga hari ke Bangkok ini sebenarnya merupakan kali kedua saya bertatap muka dengannya. Saya tidak terlalu tahu apa yang yang harus saya tulis di sini. Ada ide, Nat? Saya tidak kenal orang lain yang bisa saya ajak ngobrol seperti kami ngobrol.
Di taksi menuju bandara pagi hari itu, saya merasa sedih. Saya telah mengunjungi beberapa tempat akhir-akhir ini, namun hanya Bangkok yang berhasil membuat saya merasa sesentimentil ini.
Saya merasa seperti meninggalkan kota ini terlalu cepat. Rasanya Bangkok belum berkesempatan untuk menceritakan kisah-kisahnya pada saya. Mungkin ada kata-kata yang belum terucap, pemandangan yang belum terlihat, dan pengalaman yang belum terbagi.
Di atas pesawat, saya membuka halaman pertama buku yang Nat berikan pada saya. Buku berjudul "Start Where You Are: A Guide to Compassionate Living written" by a female monk Pema Chödrön. Buku yang luar biasa kuat. Saya bergidik ketika membuka halaman pertamanya dan saya dapat merasakan mata saya menghangat ketika saya membuka halaman pembuka.
Halaman ix, paragraf dua:
“In our era, when so many people are seeking help to relate to their own feelings of woundedness and at the same time wanting to help relieve the suffering they see around them, the ancient teaches presented here are especially encouraging and to the point. When we find that we are closing down to ourselves and to others, here is instruction on how to open. When we find that we are holding back, here is instruction on how to give. That which is unwanted and rejected in ourselves and in others can be seen and felt with honesty and compassion. This is teaching on how to be there for others without withdrawing.”
Saya menulis entri ini namun saya awalnya tidak tahu gambar-gambar apa yang dapat saya pajang di sini sebagai ilustrasi. Mungkin saya seharusnya mengambil foto atau gambar dari tempat-tempat yang kita kunjungi dan santapan yang kita makan, Nat. Namun gambar-gambar itu terasa tidak penting dan bahkan tidak relevan ketimbang hal-hal yang kita obrolkan dan bagi. Terima kasih telah menjadi suatu hadiah bagi hidup.
Kamu benar. Pertemuan yang terasa kebetulan itu sebenarnya bukanlah kebetulan sama sekali. Pertemuan itu bukanlah pertemuan dua orang asing, namun pertemuan dua teman lama.
Saya baru menyadari bahwa Bangkok adalah satu-satunya kota dalam rute saya kali ini yang saya tidak punya agenda khusus kecuali bertemu dengan teman. Tidak ada retreat, tidak ada pelatihan, tidak ada apa-apa. Enak juga sekali-sekali tidak punya agenda.
Ada satu agenda sih: untuk ngobrol dengan teman saya Nat. (oh dan sesi pijat Thai.) Saya bertemu dengan Nat ketika saya di Spanyol secara 'kebetulan.' Kami ngopi bareng dan mulai mengobrol. Obrolan singkat bertumbuh menjadi pertemanan.
Kunjungan tiga hari ke Bangkok ini sebenarnya merupakan kali kedua saya bertatap muka dengannya. Saya tidak terlalu tahu apa yang yang harus saya tulis di sini. Ada ide, Nat? Saya tidak kenal orang lain yang bisa saya ajak ngobrol seperti kami ngobrol.
Di taksi menuju bandara pagi hari itu, saya merasa sedih. Saya telah mengunjungi beberapa tempat akhir-akhir ini, namun hanya Bangkok yang berhasil membuat saya merasa sesentimentil ini.
Saya merasa seperti meninggalkan kota ini terlalu cepat. Rasanya Bangkok belum berkesempatan untuk menceritakan kisah-kisahnya pada saya. Mungkin ada kata-kata yang belum terucap, pemandangan yang belum terlihat, dan pengalaman yang belum terbagi.
Di atas pesawat, saya membuka halaman pertama buku yang Nat berikan pada saya. Buku berjudul "Start Where You Are: A Guide to Compassionate Living written" by a female monk Pema Chödrön. Buku yang luar biasa kuat. Saya bergidik ketika membuka halaman pertamanya dan saya dapat merasakan mata saya menghangat ketika saya membuka halaman pembuka.
Halaman ix, paragraf dua:
“In our era, when so many people are seeking help to relate to their own feelings of woundedness and at the same time wanting to help relieve the suffering they see around them, the ancient teaches presented here are especially encouraging and to the point. When we find that we are closing down to ourselves and to others, here is instruction on how to open. When we find that we are holding back, here is instruction on how to give. That which is unwanted and rejected in ourselves and in others can be seen and felt with honesty and compassion. This is teaching on how to be there for others without withdrawing.”
Saya menulis entri ini namun saya awalnya tidak tahu gambar-gambar apa yang dapat saya pajang di sini sebagai ilustrasi. Mungkin saya seharusnya mengambil foto atau gambar dari tempat-tempat yang kita kunjungi dan santapan yang kita makan, Nat. Namun gambar-gambar itu terasa tidak penting dan bahkan tidak relevan ketimbang hal-hal yang kita obrolkan dan bagi. Terima kasih telah menjadi suatu hadiah bagi hidup.
Kamu benar. Pertemuan yang terasa kebetulan itu sebenarnya bukanlah kebetulan sama sekali. Pertemuan itu bukanlah pertemuan dua orang asing, namun pertemuan dua teman lama.
Tuesday, August 12, 2008
Singapura: Untuk sebuah urusan (tak biasa)
[English]
Entah kenapa, Singapura selalu terasa 'bisnis' di lidah saya. Rasanya saya tidak pernah menyambangi negara ini murni sebagai turis. Selalu saja ada tujuan spesifik: mengantar ibu saya ke rumah sakit, mengunjungi teman-teman, menghadiri konferensi, atau, seperti kali ini, mengikuti pelatihan.
Saya mengikuti pelatihan empat hari Craniosacral Therapy (CST). Cranio apa? Sebuah teknik penyembuhan melalui sentuhan ringan yang dikembangkan oleh John Upledger. Secara sederhana, sentuhan ringan ini akan merilekskan otot yang tegang dan, sebaliknya, mengaktifkan kembali otot tidur.
Saya menggandrungi CST karena beberapa alasan. CST dapat membantu orang. (Saya menjadi saksi. Saya pernah merasakannya.) Terapi ini menggunakan sentuhan ringan, yang tidak menimbulkan rasa sakit sama sekali. (hanya sentuhan seberat lima gram.) CST memiliki penalaran medis ilmiah yang cukup kuat untuk mendukung teknik ini (pas untuk otak kiri saya yang super kritis dan kerap logis berlebihan.)
Sentuhan ini adalah cara untuk terhubung dengan tubuh (dan pikiran) sang 'pasien'. Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk menyembuhkan diri sendiri. Sentuhan sekedar mengatakan "kami mendengarkan" dan menunggu sang tubuh untuk membuka diri dan mulai bercerita.
[Ingatkan saya untuk menulis lebih banyak tentang CST. Sementara ini, silakan mengacu ke situs web resmi Upledger Institute untuk info lebih lanjut.]
Pelatihannya sendiri sangat amat menyenangkan. Bapak instruktur Michael, keempat asisten pengajar dan Greenpartners sebagai penyelenggara (hai Kheng!) benar-benar hebat.
Dua dari asisten tersebut adalah terapis saya—Martyn dan Heather. Saya sebelumnya tidak tahu bahwa mereka akan ada di sana. Jadi Heather menyelinap dari belakang, menutup mata saya dengan tangannya dan berkata, “Tebak siapa saya. Kamu harusnya bisa menebak dari sentuhan tangan saya .” ☺ Wah, lelucon khas CST!
Saya benar-benar menikmati pelatihan ini. Serius. Pada hari pertama, saya meng-sms teman saya sekedar untuk mengatakan “Aku suka hidupku.” Dari dasar hati terdalam. Saya rasa kata-kata itu tidak pernah tercetus di pikiran saya, minimal sudah lama tidak. Hidup saya murni suatu berkah, namun hari itu saya benar-benar merasa terberkati.
Ketika saya menceritakan ke beberapa teman bahwa saya mengambil pelatihan ini, mereka bertanya, “Mau ngapain setelah loe ngambil kursus itu?” Pertanyaan menarik.
Sebuah pertanyaan yang mengingatkan saya pada tulisan Paulo Coelho di Pilgrimage. Karakter utamanya begitu bersemangat untuk menemukan pedang sakti itu. Sedemikian semangat sehingga dia tidak menyadari bahwa sebelum dia menemukan pedang tersebut, terlebih dahulu dia harus menjawab satu pertanyaan terpenting: “Apa yang akan kaulakukan setelah menemukan pedang tersebut?”
Saya sendiri belum yakin apa jawaban saya. Mungkin ini merupakan suatu langkah mewujudkan mimpi masa kecil untuk menjadi dokter. Dulu saya memang ingin menjadi dokter, sehingga saya bisa menggunakan setengah waktu saya untuk mencari uang dan setengah sisanya untuk membantu orang.
Atau mungkin ini masa melunasi hutang. Saya ingat perasaan tak berdaya saya ketika saya menjadi relawan untuk membantu korban banjir besar Jakarta. Demikian banyak yang menderita, sedikit sekali yang bisa saya lakukan.
Tak tahu lah. Tapi saya yakin pada saatnya saya akan tahu harus saya apakan kemampuan saya itu.
Sementara, saya ingin berterima kasih kepada tim CST (dan teman-teman baru saya) untuk pengalaman yang demikian berharga dan menyenangkan. Terima kasih kepada Kota Singapura yang selalu berbaik hati pada saya (dan profesional plus efisien!).
Terima kasih ekstra spesial pada Yolli, Hany dan Andien yang telah mengizinkan saya menghamparkan diri di tempat mereka. Nila dan Mike untuk hidangan veggie-nya. Peluk hangat untuk teman-teman yang saya temui selama di sana.
Entah kenapa, Singapura selalu terasa 'bisnis' di lidah saya. Rasanya saya tidak pernah menyambangi negara ini murni sebagai turis. Selalu saja ada tujuan spesifik: mengantar ibu saya ke rumah sakit, mengunjungi teman-teman, menghadiri konferensi, atau, seperti kali ini, mengikuti pelatihan.
Saya mengikuti pelatihan empat hari Craniosacral Therapy (CST). Cranio apa? Sebuah teknik penyembuhan melalui sentuhan ringan yang dikembangkan oleh John Upledger. Secara sederhana, sentuhan ringan ini akan merilekskan otot yang tegang dan, sebaliknya, mengaktifkan kembali otot tidur.
Saya menggandrungi CST karena beberapa alasan. CST dapat membantu orang. (Saya menjadi saksi. Saya pernah merasakannya.) Terapi ini menggunakan sentuhan ringan, yang tidak menimbulkan rasa sakit sama sekali. (hanya sentuhan seberat lima gram.) CST memiliki penalaran medis ilmiah yang cukup kuat untuk mendukung teknik ini (pas untuk otak kiri saya yang super kritis dan kerap logis berlebihan.)
Sentuhan ini adalah cara untuk terhubung dengan tubuh (dan pikiran) sang 'pasien'. Tubuh manusia memiliki mekanisme untuk menyembuhkan diri sendiri. Sentuhan sekedar mengatakan "kami mendengarkan" dan menunggu sang tubuh untuk membuka diri dan mulai bercerita.
[Ingatkan saya untuk menulis lebih banyak tentang CST. Sementara ini, silakan mengacu ke situs web resmi Upledger Institute untuk info lebih lanjut.]
Pelatihannya sendiri sangat amat menyenangkan. Bapak instruktur Michael, keempat asisten pengajar dan Greenpartners sebagai penyelenggara (hai Kheng!) benar-benar hebat.
Dua dari asisten tersebut adalah terapis saya—Martyn dan Heather. Saya sebelumnya tidak tahu bahwa mereka akan ada di sana. Jadi Heather menyelinap dari belakang, menutup mata saya dengan tangannya dan berkata, “Tebak siapa saya. Kamu harusnya bisa menebak dari sentuhan tangan saya .” ☺ Wah, lelucon khas CST!
Saya benar-benar menikmati pelatihan ini. Serius. Pada hari pertama, saya meng-sms teman saya sekedar untuk mengatakan “Aku suka hidupku.” Dari dasar hati terdalam. Saya rasa kata-kata itu tidak pernah tercetus di pikiran saya, minimal sudah lama tidak. Hidup saya murni suatu berkah, namun hari itu saya benar-benar merasa terberkati.
Ketika saya menceritakan ke beberapa teman bahwa saya mengambil pelatihan ini, mereka bertanya, “Mau ngapain setelah loe ngambil kursus itu?” Pertanyaan menarik.
Sebuah pertanyaan yang mengingatkan saya pada tulisan Paulo Coelho di Pilgrimage. Karakter utamanya begitu bersemangat untuk menemukan pedang sakti itu. Sedemikian semangat sehingga dia tidak menyadari bahwa sebelum dia menemukan pedang tersebut, terlebih dahulu dia harus menjawab satu pertanyaan terpenting: “Apa yang akan kaulakukan setelah menemukan pedang tersebut?”
Saya sendiri belum yakin apa jawaban saya. Mungkin ini merupakan suatu langkah mewujudkan mimpi masa kecil untuk menjadi dokter. Dulu saya memang ingin menjadi dokter, sehingga saya bisa menggunakan setengah waktu saya untuk mencari uang dan setengah sisanya untuk membantu orang.
Atau mungkin ini masa melunasi hutang. Saya ingat perasaan tak berdaya saya ketika saya menjadi relawan untuk membantu korban banjir besar Jakarta. Demikian banyak yang menderita, sedikit sekali yang bisa saya lakukan.
Tak tahu lah. Tapi saya yakin pada saatnya saya akan tahu harus saya apakan kemampuan saya itu.
Sementara, saya ingin berterima kasih kepada tim CST (dan teman-teman baru saya) untuk pengalaman yang demikian berharga dan menyenangkan. Terima kasih kepada Kota Singapura yang selalu berbaik hati pada saya (dan profesional plus efisien!).
Terima kasih ekstra spesial pada Yolli, Hany dan Andien yang telah mengizinkan saya menghamparkan diri di tempat mereka. Nila dan Mike untuk hidangan veggie-nya. Peluk hangat untuk teman-teman yang saya temui selama di sana.
Berbagi cerita
[English]
Sepanjang 11 hari meditasi TB2, saya menghabiskan 10 hari di antaranya dalam keadaan hening. Masa hening (noble silence) berarti “keheningan di tataran tubuh, ucapan dan pikiran. Segala bentuk komunikasi dengan sesama peserta meditasi--baik dalam bentuk bahasa tubuh, tulisan, lisan, dsb--tidak diperbolehkan.
Namun peserta diperbolehkan berbicara dengan para fasilitator/instruktur jika diperlukan. Mereka juga diperbolehkan untukberkomunikasi dengan pihak penyelenggara berkenaan dengan masalah seperti makanan, akomodasi, kesehatan, dsb. Tetapi kontak seperti ini sekalipun harus diminimalkan. Kita harus menciptakan rasa bahwa kita berjalan sendiri.”
Yang tidak saya sangka-sangka adalah .. bahwa tidak berbicara dengan orang di sekitar saya bukanlah tantangan terbesar bagi saya. Mungkin karena saya tidak terlalu mengenal mereka. Kami baru bertemu beberapa jam sebelumnya, sehingga ikatan emosional belum terbentuk dengan kuat.
Tantangan terbesar saya, ternyata, adalah bahwa saya tidak bisa menulis atau bercerita (secara tertulis maupun lisan) kepada teman-teman saya.
Saya kangen bercerita dengan teman-teman saya—dengan kamu—dan berbagi impresi dengan mereka—dengan kamu. Saya kangen teman-teman saya—kangen kamu. Dibutuhkan 10 hari hening untuk membantu saya menyadari betapa berbagi dengan teman-teman saya—dengan kamu—demikian berharga buat saya.
Bukit-bukit dan awan yang terhampar di hadapan saya memberikan pelajaran keduanya:”Bersabarlah. Tunggu hingga proses ini berakhir, tunggu sampai semua ini terang bagimu, kemudian berbagi ceritalah”.
Sang rembulan, yang terus bertahan di langit hingga jam tujuh pagi hari itu, menguatkan pelajaran ini: "Teman-temanmu akan tetap ada di situ ketika kau selesai, menunggu dirimu untuk kembali pada mereka.”
Sepanjang 11 hari meditasi TB2, saya menghabiskan 10 hari di antaranya dalam keadaan hening. Masa hening (noble silence) berarti “keheningan di tataran tubuh, ucapan dan pikiran. Segala bentuk komunikasi dengan sesama peserta meditasi--baik dalam bentuk bahasa tubuh, tulisan, lisan, dsb--tidak diperbolehkan.
Namun peserta diperbolehkan berbicara dengan para fasilitator/instruktur jika diperlukan. Mereka juga diperbolehkan untukberkomunikasi dengan pihak penyelenggara berkenaan dengan masalah seperti makanan, akomodasi, kesehatan, dsb. Tetapi kontak seperti ini sekalipun harus diminimalkan. Kita harus menciptakan rasa bahwa kita berjalan sendiri.”
Yang tidak saya sangka-sangka adalah .. bahwa tidak berbicara dengan orang di sekitar saya bukanlah tantangan terbesar bagi saya. Mungkin karena saya tidak terlalu mengenal mereka. Kami baru bertemu beberapa jam sebelumnya, sehingga ikatan emosional belum terbentuk dengan kuat.
Tantangan terbesar saya, ternyata, adalah bahwa saya tidak bisa menulis atau bercerita (secara tertulis maupun lisan) kepada teman-teman saya.
Saya kangen bercerita dengan teman-teman saya—dengan kamu—dan berbagi impresi dengan mereka—dengan kamu. Saya kangen teman-teman saya—kangen kamu. Dibutuhkan 10 hari hening untuk membantu saya menyadari betapa berbagi dengan teman-teman saya—dengan kamu—demikian berharga buat saya.
Bukit-bukit dan awan yang terhampar di hadapan saya memberikan pelajaran keduanya:”Bersabarlah. Tunggu hingga proses ini berakhir, tunggu sampai semua ini terang bagimu, kemudian berbagi ceritalah”.
Sang rembulan, yang terus bertahan di langit hingga jam tujuh pagi hari itu, menguatkan pelajaran ini: "Teman-temanmu akan tetap ada di situ ketika kau selesai, menunggu dirimu untuk kembali pada mereka.”
Malam terakhir
[English]
Malam itu adalah malam terakhir saya di Pacung untuk TB2. Hari berikutnya adalah saat kami menyudahi masa hening, hari-hari meditasi pun akan berakhir, dan saya akan melanjutkan perjalanan.
Jadi larut malam itu, saya duduk di teras saya, menatapi taman yang telah menggelap sedari tadi dan langit malam gemintang yang terbentang di atas saya.
Saya tersenyum dan berterima kasih pada mereka—pada malam, bintang, kolam, air mancur, sawah, taman, hewan, angin—atas pengalaman penuh berkah ini. Satu-satunya sahabat perjalanan di kala doa-doa malam terpanjatkan.
Malam demikian benderang. Saya belum pernah melihat langit demikian bertabur bintang di Indonesia. Namun bulan tak tampak. Saya sedikit bertanya-tanya kemana dia. Tak mengapa. Saya tahu ia ada di sana, entah dimana tepatnya tapi ada. Saya tetap menghaturkan senyum padanya.
Saya menimbang-nimbang untuk pergi tidur, namun sesuatu dalam diri mengajak untuk bertahan barang sejenak lagi. Jadi saya terus duduk dan berbincang dengan alam malam yang ramah, dekat dan hangat.
Kemudian malam mempersembahkan pertunjukan puncaknya untuk kali terakhir: Sebuah bintang jatuh yang gemilang dan—tampak—penuh warna. Cepat! Sebutkan sebuah keinginan!
Saya tidak dapat menahan senyum. Baik sekali.
Malam telah mengucap kata terakhirnya. Ia lantas mengizinkan saya untuk beranjak ke peraduan.
Malam itu adalah malam terakhir saya di Pacung untuk TB2. Hari berikutnya adalah saat kami menyudahi masa hening, hari-hari meditasi pun akan berakhir, dan saya akan melanjutkan perjalanan.
Jadi larut malam itu, saya duduk di teras saya, menatapi taman yang telah menggelap sedari tadi dan langit malam gemintang yang terbentang di atas saya.
Saya tersenyum dan berterima kasih pada mereka—pada malam, bintang, kolam, air mancur, sawah, taman, hewan, angin—atas pengalaman penuh berkah ini. Satu-satunya sahabat perjalanan di kala doa-doa malam terpanjatkan.
Malam demikian benderang. Saya belum pernah melihat langit demikian bertabur bintang di Indonesia. Namun bulan tak tampak. Saya sedikit bertanya-tanya kemana dia. Tak mengapa. Saya tahu ia ada di sana, entah dimana tepatnya tapi ada. Saya tetap menghaturkan senyum padanya.
Saya menimbang-nimbang untuk pergi tidur, namun sesuatu dalam diri mengajak untuk bertahan barang sejenak lagi. Jadi saya terus duduk dan berbincang dengan alam malam yang ramah, dekat dan hangat.
Kemudian malam mempersembahkan pertunjukan puncaknya untuk kali terakhir: Sebuah bintang jatuh yang gemilang dan—tampak—penuh warna. Cepat! Sebutkan sebuah keinginan!
Saya tidak dapat menahan senyum. Baik sekali.
Malam telah mengucap kata terakhirnya. Ia lantas mengizinkan saya untuk beranjak ke peraduan.
Perhatikan alam merekah
[English]
Bagaimana caranya ini..
Berubah menjadi ini..
Kemudian ini..
Sebelum sepenuhnya berkembang menjadi ini..
Perhatikan bagaimana alam merekahkan keindahannya.
Bagaimana caranya ini..
Berubah menjadi ini..
Kemudian ini..
Sebelum sepenuhnya berkembang menjadi ini..
Perhatikan bagaimana alam merekahkan keindahannya.
X menandai titiknya
[English]
Lihat gambar di kiri ini? Gambar yang saya ambil ketika saya sedang bermeditasi dengan Bali Usada di Pacung, Bali.
Bila kita berdiri pas di situ dan tubuh mengarah ke titik bertemunya dua bukit di hadapan kita, kita dapat mendengar air mengalir dari tiga sumber berbeda: sungai kecil di depan, kolam di belakang, dan air mancur di kanan.
Tapi Anda tidak akan dapat melihatnya. Anda pun tidak akan dapat mendengarnya.
Titik luar biasa itu disediakan oleh alam khusus untuk saya. Hanya untuk saya. Dan saya tidak akan berbagi dengan siapa pun!
Lihat gambar di kiri ini? Gambar yang saya ambil ketika saya sedang bermeditasi dengan Bali Usada di Pacung, Bali.
Bila kita berdiri pas di situ dan tubuh mengarah ke titik bertemunya dua bukit di hadapan kita, kita dapat mendengar air mengalir dari tiga sumber berbeda: sungai kecil di depan, kolam di belakang, dan air mancur di kanan.
Tapi Anda tidak akan dapat melihatnya. Anda pun tidak akan dapat mendengarnya.
Titik luar biasa itu disediakan oleh alam khusus untuk saya. Hanya untuk saya. Dan saya tidak akan berbagi dengan siapa pun!
Terbang kembali
[English]
Saya tengah duduk di ruang makan ketika saya melihat ada burung terjatuh ke tanah. Jatuhnya cukup keras. Saya menjulurkan kepala, mencoba melihat kenapa burung itu bisa terjatuh. Ternyata ada anak-anak yang melempar burung tersebut dengan batu. *geram*
Kedua anak itu berlari-lari dengan semangatnya mendekati sang burung. Saya memandangi mereka, tak tahu mesti apa. Hanya terduduk dan menatap.
Jarak antara anak dan burung tinggal dua meter ketika tiba-tiba wooshhh sang burung mengangkasa kembali. Terbang gagah meninggalkan kedua anak dengan tangan hampa.
Sayang saya sedang dalam keadaan hening. Kalau tidak, saya akan bertepuk tangan dan bersorak untuk sang burung. Nilai sementara: Burung 1, Manusia 0.
Dalam komedi, waktu memang krusial, teman. Waktu memang krusial.
Saya tengah duduk di ruang makan ketika saya melihat ada burung terjatuh ke tanah. Jatuhnya cukup keras. Saya menjulurkan kepala, mencoba melihat kenapa burung itu bisa terjatuh. Ternyata ada anak-anak yang melempar burung tersebut dengan batu. *geram*
Kedua anak itu berlari-lari dengan semangatnya mendekati sang burung. Saya memandangi mereka, tak tahu mesti apa. Hanya terduduk dan menatap.
Jarak antara anak dan burung tinggal dua meter ketika tiba-tiba wooshhh sang burung mengangkasa kembali. Terbang gagah meninggalkan kedua anak dengan tangan hampa.
Sayang saya sedang dalam keadaan hening. Kalau tidak, saya akan bertepuk tangan dan bersorak untuk sang burung. Nilai sementara: Burung 1, Manusia 0.
Dalam komedi, waktu memang krusial, teman. Waktu memang krusial.
Monday, August 11, 2008
Apa niatmu?
[English]
Ketika kita berargumen dengan klien kita untuk membela tim kita, apakah kita melakukannya atas nama profesionalisme, kecintaan pada tim kita, atau atas nama amarah terhadap klien tersebut?
Ketika kita menghentikan seorang ayah dari memukul anaknya (naudzubillahi min dzalik), apakah kita melakukannya atas nama cinta terhadap sang anak, atau dengan rasa muak kepada si ayah?
Ketika kita berteriak “hentikan korupsi!”, apakah kita melakukannya atas nama keadilan dan kesejateraan bagi seluruh lapisan masyarakat, atau dengan rasa benci terhadap para koruptor?
Kemarahan, rasa muak dan benci adalah emosi negatif, apapun alasannya. Mereka menimbulkan luka dan cacat pada jiwa. Mereka menodai bahkan itikad terbaik sekalipun. Baek-baek.
-dari ceramah Pak Merta Ade
Ketika kita berargumen dengan klien kita untuk membela tim kita, apakah kita melakukannya atas nama profesionalisme, kecintaan pada tim kita, atau atas nama amarah terhadap klien tersebut?
Ketika kita menghentikan seorang ayah dari memukul anaknya (naudzubillahi min dzalik), apakah kita melakukannya atas nama cinta terhadap sang anak, atau dengan rasa muak kepada si ayah?
Ketika kita berteriak “hentikan korupsi!”, apakah kita melakukannya atas nama keadilan dan kesejateraan bagi seluruh lapisan masyarakat, atau dengan rasa benci terhadap para koruptor?
Kemarahan, rasa muak dan benci adalah emosi negatif, apapun alasannya. Mereka menimbulkan luka dan cacat pada jiwa. Mereka menodai bahkan itikad terbaik sekalipun. Baek-baek.
-dari ceramah Pak Merta Ade
Kepompong
[English]
Tahukah Anda kalau ulat harus menemukan jalan keluarnya sendiri dari kepompongnya untuk menjelma menjadi kupu-kupu?
Kalau, misalnya, Anda berniat baik membantu sang ulat dengan menggunting kepompongnya, maka calon kupu-kupu itu tidak akan memiliki otot sayap yang cukup kuat untuk terbang.
Jika Anda berusaha memudahkan upayanya, maka si calon kupu-kupu ini tidak akan melewati suatu proses latihan otot ketika ia menggeliat merangkak keluar dari kepompongnya.
Kadang kita memang perlu menjalani dan melewatinya sendiri untuk benar-benar memahami dan membangun otot tubuh dan pikiran kita. *Mode justifikasi: aktif ;)*
-dari ceramah Pak Merta Ade
Gambar diambil dari sini.
Tahukah Anda kalau ulat harus menemukan jalan keluarnya sendiri dari kepompongnya untuk menjelma menjadi kupu-kupu?
Kalau, misalnya, Anda berniat baik membantu sang ulat dengan menggunting kepompongnya, maka calon kupu-kupu itu tidak akan memiliki otot sayap yang cukup kuat untuk terbang.
Jika Anda berusaha memudahkan upayanya, maka si calon kupu-kupu ini tidak akan melewati suatu proses latihan otot ketika ia menggeliat merangkak keluar dari kepompongnya.
Kadang kita memang perlu menjalani dan melewatinya sendiri untuk benar-benar memahami dan membangun otot tubuh dan pikiran kita. *Mode justifikasi: aktif ;)*
-dari ceramah Pak Merta Ade
Gambar diambil dari sini.
Obrolan dengan Pak Merta Ade
[English]
Saya tidak ingat kapan terakhir kali seorang guru (atau atasan) saya begitu antusias terhadap apa yang saya lakukan, bahkan lebih antusias dari saya sendiri. Itu yang saya rasakan ketika saya berbincang dengan guru meditasi Bali Usada saya Pak Merta ada di hari ketiga TB2.
Saya menghampiri terasnya. Begitu beliau melihat saya mendekati, Pak Merta Ade bangkit dari duduknya dan dengan senyum lebar dia menatap mata saya dan menjabat erat tangan saya. “Saya senang sekali Eva ikutTB2. Eva sudah ikut TB1 dan sekarang TB2. Bagus. Bagus sekali," ujar beliau dengan semangat. Saya merasa tersanjung.
Perbincangan berlangsung. Saya ceritakan padanya apa yang menjadi tantangan saya selama bermeditasi.
Saya katakan betapa saya merasa tidak nyaman setiap kali berusaha merasakan keenam karakteristik elemen tanah di tubuh ini.
Say bilang setiap kali saya berada di tahap tanah, saya cepat-cepat beranjak dari satu karakteristik ke karakteristik berikutnya.
Pak Merta mengulas, “Itu berarti Eva sudah cukup sensitif untuk merasakan elemen tanah. Kemudian kalau Eva merasa sudah siap, Eva bisa coba bertahan di situ sedikit lebih lama, merasakan sensasi yang timbul dan mengamati perubahan yang terjadi, bahwa semua akan berubah cepat atau lambat.”
Saya kagum betapa beliau dapat mengatakan semua itu secara positif. Pak Merta tidak memarahi saya karena berusaha untuk menghindari segala ketidaknyamanan itu dan bilang kalau "kamu salah. Itu bukan cara yang seharusnya kamu lakukan. Jangan lemah gitu. Hadapi rasa sakit dan ketidaknyamanan itu.”
Sebaliknya, beliau menggunakan kata-kata “Kalau Eva merasa sudah siap." Tidak ada satu kata pun yang bersifat penilaian berlebihan atau negatif dalam kalimat-kalimatnya.
Karena itu beliau adalah guru dan saya muridnya ☺
Saya tidak ingat kapan terakhir kali seorang guru (atau atasan) saya begitu antusias terhadap apa yang saya lakukan, bahkan lebih antusias dari saya sendiri. Itu yang saya rasakan ketika saya berbincang dengan guru meditasi Bali Usada saya Pak Merta ada di hari ketiga TB2.
Saya menghampiri terasnya. Begitu beliau melihat saya mendekati, Pak Merta Ade bangkit dari duduknya dan dengan senyum lebar dia menatap mata saya dan menjabat erat tangan saya. “Saya senang sekali Eva ikutTB2. Eva sudah ikut TB1 dan sekarang TB2. Bagus. Bagus sekali," ujar beliau dengan semangat. Saya merasa tersanjung.
Perbincangan berlangsung. Saya ceritakan padanya apa yang menjadi tantangan saya selama bermeditasi.
Saya katakan betapa saya merasa tidak nyaman setiap kali berusaha merasakan keenam karakteristik elemen tanah di tubuh ini.
Say bilang setiap kali saya berada di tahap tanah, saya cepat-cepat beranjak dari satu karakteristik ke karakteristik berikutnya.
Pak Merta mengulas, “Itu berarti Eva sudah cukup sensitif untuk merasakan elemen tanah. Kemudian kalau Eva merasa sudah siap, Eva bisa coba bertahan di situ sedikit lebih lama, merasakan sensasi yang timbul dan mengamati perubahan yang terjadi, bahwa semua akan berubah cepat atau lambat.”
Saya kagum betapa beliau dapat mengatakan semua itu secara positif. Pak Merta tidak memarahi saya karena berusaha untuk menghindari segala ketidaknyamanan itu dan bilang kalau "kamu salah. Itu bukan cara yang seharusnya kamu lakukan. Jangan lemah gitu. Hadapi rasa sakit dan ketidaknyamanan itu.”
Sebaliknya, beliau menggunakan kata-kata “Kalau Eva merasa sudah siap." Tidak ada satu kata pun yang bersifat penilaian berlebihan atau negatif dalam kalimat-kalimatnya.
Karena itu beliau adalah guru dan saya muridnya ☺
Kesepakatan dengan Tuhan
[English]
Tiga hari pertama dalam Tapa Brata saya merupakan [berhenti sejenak, mencari istilah positif untuk memaparkannya] 'yang paling kurang menyenangkan’ bagi saya.
Tubuh dan pikiran (atau jiwa) beradaptasi dengan gaya hidup, kegiatan dan jadwal harian yang baru.
Setiap sendi tubuh terasa sakit. Kurangnya (atau ketidakadaannya) konsentrasi. Kaki kesemutan dan terkadang keram. Udara demikian dingin. Otak ini tampak tak sanggup memahami apa yang harus ia lakukan atau rasakan selama bermeditasi.
Hari pertama. Hari kedua. Hari ketiga. Sungguh, menantang, bahkan membuat frustrasi.
Jadi malam hari ketiga, setelah semua orang kembali ke kamarnya masing-masing dan saya pun kembali ke kamar saya, saya duduk untuk memanjatkan doa di larut malam dan berbincang dengan Tuhan.
Saya mengusulkan kesepakatan dengan-Nya. Saya katakan, kurang lebih dalam kata-kata berikut, “Gini ya, Tuhan, saya dengan senang hati menjalani semua itu kalau memang itu yang Kau mau, tapi bantuin saya donk. Mudahkan proses ini buatku.”
Iya, saya tetap saja lugas, langsung dan tegas bahkan dengan-Nya sekalipun.
Saya harus mengingat-ingat 'doa' ini karena tampaknya cukup efektif.
Hari keempat, saya terjaga dari tidur dengan tekad kuat. Saya katakan pada diri bahwa saya harus dapat melalui ini semua. Saya merasa layak Po dalam Kungfu Panda ketika keempat pahlawan memberikannya pelajaran yang cukup keras (dalam arti sebenarnya) ketika mereka berlatih bersama untuk pertama kali.
Po jatuh dan jatuh lagi. Namun setiap terjatuh , dia bangkit kembali--dengan antusiasme yang tak dapat dimengerti dengan akal sehat--dan berteriak, “Woo hoo! Keren abissss. Yuk, kita lakukan lagi yuk!”
Saya merasa seperti itu. Saya berjanji pada diri bahwa saya akan berusaha melakukan yang terbaik, meskipun saya tidak bisa berkonsentrasi 100% atau kaki dan punggung ini terasa sakit.
Jadi, mulai saat itu, saya menerapkan regim yang baru. Saya datang ke setiap sesi meditasi dengan rajinnya. Saya duduk diam di setiap sesi meditasi yang berlangsung selama 45-60 menit itu. Saya mendisiplinkan diri untuk menarik kembali pikiran saya yang melayang ke sana ke mari (untuk keseribu kalinya) selama meditasi.
Saya melakukan semua shalat dan doa saya. Saya menjalani latihan yoga saya. Saya berjalan mengelilingi taman untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Saya bahkan dengan rapinya melipat selimut, pashmina dan jaket saya setiap kali selesai satu sesi meditasi. Saya berjanji pada diri untuk tersenyum setiap kali saya memulai dan menyudahi meditasi.
Pagi itu saya duduk menghadap bukit-bukit saat matahari mulai menyapa dunia, saya merasa Tuhan mengangguk, menyetujui usulan kesepakatan saya. Awan beranjak naik meninggalkan bukit di hadapan saya. Di belakangnya, saya melihat bukit yang lain, dan yang lain, dan yang lain. Kejelasan pandangan. Saya tersenyum. Mereka tersenyum balik kepada saya.
Saya beranjak keluar dari ruang makan dan mengangkat kepala saya, menengok langit yang terbentang tepat di atas kepala. Sang bulan masih terpekur di sana. Jam tujuh pagi dan bulan masih ada di situ. Seperti ia berusaha bertahan hingga tegukan napas terakhirnya, mengumpulkan segala daya untuk melihat hasil akhir episode perbincangan saya dengan Tuhan, menyemangati dan tersenyum sepanjang jalan saya.
Saya kembali tersenyum. Saya akan baik-baik saja.
Tiga hari pertama dalam Tapa Brata saya merupakan [berhenti sejenak, mencari istilah positif untuk memaparkannya] 'yang paling kurang menyenangkan’ bagi saya.
Tubuh dan pikiran (atau jiwa) beradaptasi dengan gaya hidup, kegiatan dan jadwal harian yang baru.
Setiap sendi tubuh terasa sakit. Kurangnya (atau ketidakadaannya) konsentrasi. Kaki kesemutan dan terkadang keram. Udara demikian dingin. Otak ini tampak tak sanggup memahami apa yang harus ia lakukan atau rasakan selama bermeditasi.
Hari pertama. Hari kedua. Hari ketiga. Sungguh, menantang, bahkan membuat frustrasi.
Jadi malam hari ketiga, setelah semua orang kembali ke kamarnya masing-masing dan saya pun kembali ke kamar saya, saya duduk untuk memanjatkan doa di larut malam dan berbincang dengan Tuhan.
Saya mengusulkan kesepakatan dengan-Nya. Saya katakan, kurang lebih dalam kata-kata berikut, “Gini ya, Tuhan, saya dengan senang hati menjalani semua itu kalau memang itu yang Kau mau, tapi bantuin saya donk. Mudahkan proses ini buatku.”
Iya, saya tetap saja lugas, langsung dan tegas bahkan dengan-Nya sekalipun.
Saya harus mengingat-ingat 'doa' ini karena tampaknya cukup efektif.
Hari keempat, saya terjaga dari tidur dengan tekad kuat. Saya katakan pada diri bahwa saya harus dapat melalui ini semua. Saya merasa layak Po dalam Kungfu Panda ketika keempat pahlawan memberikannya pelajaran yang cukup keras (dalam arti sebenarnya) ketika mereka berlatih bersama untuk pertama kali.
Po jatuh dan jatuh lagi. Namun setiap terjatuh , dia bangkit kembali--dengan antusiasme yang tak dapat dimengerti dengan akal sehat--dan berteriak, “Woo hoo! Keren abissss. Yuk, kita lakukan lagi yuk!”
Saya merasa seperti itu. Saya berjanji pada diri bahwa saya akan berusaha melakukan yang terbaik, meskipun saya tidak bisa berkonsentrasi 100% atau kaki dan punggung ini terasa sakit.
Jadi, mulai saat itu, saya menerapkan regim yang baru. Saya datang ke setiap sesi meditasi dengan rajinnya. Saya duduk diam di setiap sesi meditasi yang berlangsung selama 45-60 menit itu. Saya mendisiplinkan diri untuk menarik kembali pikiran saya yang melayang ke sana ke mari (untuk keseribu kalinya) selama meditasi.
Saya melakukan semua shalat dan doa saya. Saya menjalani latihan yoga saya. Saya berjalan mengelilingi taman untuk meregangkan otot-otot yang kaku. Saya bahkan dengan rapinya melipat selimut, pashmina dan jaket saya setiap kali selesai satu sesi meditasi. Saya berjanji pada diri untuk tersenyum setiap kali saya memulai dan menyudahi meditasi.
Pagi itu saya duduk menghadap bukit-bukit saat matahari mulai menyapa dunia, saya merasa Tuhan mengangguk, menyetujui usulan kesepakatan saya. Awan beranjak naik meninggalkan bukit di hadapan saya. Di belakangnya, saya melihat bukit yang lain, dan yang lain, dan yang lain. Kejelasan pandangan. Saya tersenyum. Mereka tersenyum balik kepada saya.
Saya beranjak keluar dari ruang makan dan mengangkat kepala saya, menengok langit yang terbentang tepat di atas kepala. Sang bulan masih terpekur di sana. Jam tujuh pagi dan bulan masih ada di situ. Seperti ia berusaha bertahan hingga tegukan napas terakhirnya, mengumpulkan segala daya untuk melihat hasil akhir episode perbincangan saya dengan Tuhan, menyemangati dan tersenyum sepanjang jalan saya.
Saya kembali tersenyum. Saya akan baik-baik saja.
Alam yang statis, pengalaman dinamis
[English]
Di sinilah saya menghabiskan 11 hari meditasi TB2 saya.
Mengagumkan betapa gambar alam yang demikian statis dapat menyajikan pengalaman yang begitu kaya dan dinamis. Ada saja pelajaran baru setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik. Tergantung seberapa terbukanya kita terhadap pengalaman yang disajikan.
Di sinilah saya menghabiskan 11 hari meditasi TB2 saya.
Mengagumkan betapa gambar alam yang demikian statis dapat menyajikan pengalaman yang begitu kaya dan dinamis. Ada saja pelajaran baru setiap hari. Setiap jam. Setiap menit. Setiap detik. Tergantung seberapa terbukanya kita terhadap pengalaman yang disajikan.
10 hari berdiam diri
[English]
Tahap kedua dari perjalanan: 11 hari meditasi Tapa Brata II (TB2), dikelola oleh Bali Usada, di Pacung (dimana pun itu di Bali. Geografi memang tidak pernah menjadi salah satu kekuatan saya).
Dari 11 hari tersebut, 10 hari di antaranya saya jalani dalam keadaan hening (noble silence).
Saya belum pernah melakukan meditasi selama sebelas hari sebelumnya. Klise memang, selalu ada saat pertama bagi segala yang terjadi. Saya pernah mengikuti meditasi tujuh hari, tapi belum pernah sebelas.
Suatu pengalaman yang berbeda. Suatu pengalaman berharga.
Seperti biasa, orang-orang di sekitar selalu menarik perhatian saya. Apalagi yang ini. Sekumpulan orang yang tidak sekedar ingin iseng mencoba-coba bermeditasi untuk pertama kalinya.
Mereka sudah menjalani beberapa tradisi meditasi. Mereka telah mengikuti Tapa Brata 1. Entah bagaimana, mereka tentu berpikir ada manfaatnya dan memutuskan untuk melanjutkan ke TB2.
Saya disapa oleh alam yang demikian indah dan hidup yang begitu sederhana, berbincang dengan teman-teman (pada saat hening belum dimulai atau telah lewat) dan Pak Merta Ade, membuat suatu kesepakatan dengan Tuhan sekedar untuk mampu menjalani ini semua, dan melakukan berbagai rendez-vous dengan pekatnya malam di Pacung.
Begitu banyak yang ingin saya ceritakan sehingga saya memutuskan—seperti halnya pengalaman saya beryoga—untuk membaginya dalam beberapa entri. Saya kangen berbagi ini semua dengan teman-teman—dengan kamu.
Selamat menikmati. Pelan-pelan.
Tahap kedua dari perjalanan: 11 hari meditasi Tapa Brata II (TB2), dikelola oleh Bali Usada, di Pacung (dimana pun itu di Bali. Geografi memang tidak pernah menjadi salah satu kekuatan saya).
Dari 11 hari tersebut, 10 hari di antaranya saya jalani dalam keadaan hening (noble silence).
Saya belum pernah melakukan meditasi selama sebelas hari sebelumnya. Klise memang, selalu ada saat pertama bagi segala yang terjadi. Saya pernah mengikuti meditasi tujuh hari, tapi belum pernah sebelas.
Suatu pengalaman yang berbeda. Suatu pengalaman berharga.
Seperti biasa, orang-orang di sekitar selalu menarik perhatian saya. Apalagi yang ini. Sekumpulan orang yang tidak sekedar ingin iseng mencoba-coba bermeditasi untuk pertama kalinya.
Mereka sudah menjalani beberapa tradisi meditasi. Mereka telah mengikuti Tapa Brata 1. Entah bagaimana, mereka tentu berpikir ada manfaatnya dan memutuskan untuk melanjutkan ke TB2.
Saya disapa oleh alam yang demikian indah dan hidup yang begitu sederhana, berbincang dengan teman-teman (pada saat hening belum dimulai atau telah lewat) dan Pak Merta Ade, membuat suatu kesepakatan dengan Tuhan sekedar untuk mampu menjalani ini semua, dan melakukan berbagai rendez-vous dengan pekatnya malam di Pacung.
Begitu banyak yang ingin saya ceritakan sehingga saya memutuskan—seperti halnya pengalaman saya beryoga—untuk membaginya dalam beberapa entri. Saya kangen berbagi ini semua dengan teman-teman—dengan kamu.
Selamat menikmati. Pelan-pelan.
Labels:
kajian,
Kejadian,
perjalanan,
personal
Sunday, August 10, 2008
Ruang yang terbuka bagi semua
[English]
Saya suka sekali kamar ini.
Jujur saya tadinya berharap mendapatkan kamar lain, yang ada di bagian lebih belakang dari penginapan ini. Kamar-kamar di belakang memiliki tata ruang dan perabot yang lebih cantik dan tradisional, memiliki pemandangan yang lebih indah dan terletak lebih dekat dengan peserta yoga lain.
Rupanya saya terlalu cepat berbicara.
Kamar saya itu, kamar saya yang lebih sederhana dan terpencil itu, adalah sempurna. Pertama, kamar ini sebenarnya nyaman dan mencukupi. Semua berfungsi dengan baik.
Kedua, saya punya tetangga yang pas. Sesama peserta yoga yang entah bagaimana memiliki latar belakang profesional (dan personal) yang mirip dengan saya. Jadi kami langsung nyambung.
Ketiga, kamar ini merupakan kamar terdekat ke ruang yoga kami. Lima menit ekstra yang demikian berharga. Orang lain harus sudah mulai berjalan ke kelas, saya masih bisa leyeh-leyeh sebentar.
Selain itu, dan ini yang paling ok, kamar ini menghadap jalan kecil yang harus dilalui oleh semua orang ke kelas yoga atau kemana pun. Dilengkapi dengan teras depan cantik, saya merasa memiliki rumah mungil menyenangkan yang menyambut setiap teman atau tamu yang kebetulan lewat.
Mencukupi, nyaman, terbuka dan hangat. Sebuah rumah impian.
Saya suka sekali kamar ini.
Jujur saya tadinya berharap mendapatkan kamar lain, yang ada di bagian lebih belakang dari penginapan ini. Kamar-kamar di belakang memiliki tata ruang dan perabot yang lebih cantik dan tradisional, memiliki pemandangan yang lebih indah dan terletak lebih dekat dengan peserta yoga lain.
Rupanya saya terlalu cepat berbicara.
Kamar saya itu, kamar saya yang lebih sederhana dan terpencil itu, adalah sempurna. Pertama, kamar ini sebenarnya nyaman dan mencukupi. Semua berfungsi dengan baik.
Kedua, saya punya tetangga yang pas. Sesama peserta yoga yang entah bagaimana memiliki latar belakang profesional (dan personal) yang mirip dengan saya. Jadi kami langsung nyambung.
Ketiga, kamar ini merupakan kamar terdekat ke ruang yoga kami. Lima menit ekstra yang demikian berharga. Orang lain harus sudah mulai berjalan ke kelas, saya masih bisa leyeh-leyeh sebentar.
Selain itu, dan ini yang paling ok, kamar ini menghadap jalan kecil yang harus dilalui oleh semua orang ke kelas yoga atau kemana pun. Dilengkapi dengan teras depan cantik, saya merasa memiliki rumah mungil menyenangkan yang menyambut setiap teman atau tamu yang kebetulan lewat.
Mencukupi, nyaman, terbuka dan hangat. Sebuah rumah impian.
Terima kasih atas antusiasmenya
[English]
Pesan singkat melalui HP saya terima ketika saya di Bali.
Dia: "Hai Va, kita ketemuan hari ini?”
Saya: "Gak, kita ketemu dua minggu lagi. Tapi terima kasih lho untuk antusiasmenya :D”
Saya tahu teman saya tentu sekedar lupa atau punya alasan lain yang lebih logis, tapi biarkan saya untuk berpegang pada yang satu ini ;)
Pesan singkat melalui HP saya terima ketika saya di Bali.
Dia: "Hai Va, kita ketemuan hari ini?”
Saya: "Gak, kita ketemu dua minggu lagi. Tapi terima kasih lho untuk antusiasmenya :D”
Saya tahu teman saya tentu sekedar lupa atau punya alasan lain yang lebih logis, tapi biarkan saya untuk berpegang pada yang satu ini ;)
Ingin seperti pertama kali
[English]
Saya tengah duduk diam menatapi tarian Kecak malam itu. Saya melihat teman-teman non-Indonesia saya mengagumi gerakan tarian Kecak yang demikian dinamis. Tapi saya tidak. Saya lupa sudah berapa kali saya menonton tarian ini.
Namun sebagian dari diri saya berharap ini adalah kali pertama saya menyaksikannya. Saya berharap saya dapat mengalami rasa yang sama seperti mereka yang tengah menikmati tarian ini untuk pertama kalinya.
Seperti seorang anak kecil yang melihat semua untuk pertama kalinya dan secara spontan dan lincah menjadi sangat bersemangat.
Menyenangkan sekali bukan apabila kita bisa memiliki antusiasme layak anak kecil seperti itu?
Saya tengah duduk diam menatapi tarian Kecak malam itu. Saya melihat teman-teman non-Indonesia saya mengagumi gerakan tarian Kecak yang demikian dinamis. Tapi saya tidak. Saya lupa sudah berapa kali saya menonton tarian ini.
Namun sebagian dari diri saya berharap ini adalah kali pertama saya menyaksikannya. Saya berharap saya dapat mengalami rasa yang sama seperti mereka yang tengah menikmati tarian ini untuk pertama kalinya.
Seperti seorang anak kecil yang melihat semua untuk pertama kalinya dan secara spontan dan lincah menjadi sangat bersemangat.
Menyenangkan sekali bukan apabila kita bisa memiliki antusiasme layak anak kecil seperti itu?
Putaran tubuh dan keseimbangan
[English]
Saya sangat menyukai filosofi yang melatari gerakan yoga. Berikut tiga hal yang saya catat dari sesi saya dengan Ann Barros.
Keseimbangan dalam pose pohon
Kami tengah melakukan pose pohon (tree pose). Biasanya pelatih kerap menyuruh kami untuk memfokuskan pandangan pada satu titik selama melakukan pose tersebut untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Tapi bukan Ann. Ann justru mengatakan yang sebaliknya. "Coba gerakkan pandangan Anda dari satu titik ke titik lain. Tubuh Anda harus tetap seimbang. Keseimbangan hendaknya datang dari dalam.”
Putaran tubuh (twist)
Setiap kali sesi akan berakhir, Ann mengajak kita untuk memutar tubuh. Putaran seperti ini, menurut filsuf yoga, melepaskan kemarahan serta kesedihan mendalam. Duh.
Kalau twist saja bisa begitu, gimana kalau twist-and-shout ya? ;)
Savatsana
Setiap sesi yoga hendaknya diakhiri dengan pendinginan/relaksasi. Salah satu yang dilakukan adalah savatsana atau corpse pose.
Pose ini dikatakan berguna untuk merilekskan tubuh, menurunkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit di kepala, kelelahan dan insomnia, menenangkan otak serta membantu mengurangi stres dan depresi ringan.
Savatsana selalu ditaruh kedua terakhir (sebelum meditasi) dalam sesi yoga. Saya senang sekali setiap mendengar Ann mengatakan--seraya kita melakukan savatsana, "Apabila Anda sudah siap, Anda dapat membangunkan tubuh Anda kembali sambil tetap menjaga keberadaan savatsana dalam diri.”
Sekarang sudah mulai dipahami belum kenapa saya demikian mencintai yoga? :)
Saya sangat menyukai filosofi yang melatari gerakan yoga. Berikut tiga hal yang saya catat dari sesi saya dengan Ann Barros.
Keseimbangan dalam pose pohon
Kami tengah melakukan pose pohon (tree pose). Biasanya pelatih kerap menyuruh kami untuk memfokuskan pandangan pada satu titik selama melakukan pose tersebut untuk menjaga keseimbangan tubuh.
Tapi bukan Ann. Ann justru mengatakan yang sebaliknya. "Coba gerakkan pandangan Anda dari satu titik ke titik lain. Tubuh Anda harus tetap seimbang. Keseimbangan hendaknya datang dari dalam.”
Putaran tubuh (twist)
Setiap kali sesi akan berakhir, Ann mengajak kita untuk memutar tubuh. Putaran seperti ini, menurut filsuf yoga, melepaskan kemarahan serta kesedihan mendalam. Duh.
Kalau twist saja bisa begitu, gimana kalau twist-and-shout ya? ;)
Savatsana
Setiap sesi yoga hendaknya diakhiri dengan pendinginan/relaksasi. Salah satu yang dilakukan adalah savatsana atau corpse pose.
Pose ini dikatakan berguna untuk merilekskan tubuh, menurunkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit di kepala, kelelahan dan insomnia, menenangkan otak serta membantu mengurangi stres dan depresi ringan.
Savatsana selalu ditaruh kedua terakhir (sebelum meditasi) dalam sesi yoga. Saya senang sekali setiap mendengar Ann mengatakan--seraya kita melakukan savatsana, "Apabila Anda sudah siap, Anda dapat membangunkan tubuh Anda kembali sambil tetap menjaga keberadaan savatsana dalam diri.”
Sekarang sudah mulai dipahami belum kenapa saya demikian mencintai yoga? :)
Bekerja @ Ubud
[English]
Email ke seorang klien seminggu sebelum saya berangkat ke Bali: "Hai. Sekedar mengingatkan. Saya akan pergi ke Bali dalam waktu seminggu. Apakah Mbak masih membutuhkan bantuan saya? Kalau ya, bolehkah kita selesaikan semua sebelum saya pergi?”
Email ke klien yang sama dua hari sebelum saya pergi: ”Hai. Bolehkah saya mendapat kepastian bahwa kita sudah bisa bergerak ke tahap selanjutnya? Saya akan pergi dua hari lagi. Tapi kalau dibutuhkan, saya masih bisa bekerja hingga tanggal 22 pagi. Tanggal 22 siang, saya akan memulai meditasi saya dan akan mematikan hp serta koneksi Internet saya.”
Saya menerima email dari klien saya tepat pada hari saya pergi ke Bali. Jadi pekerjaannya harus saya selesaikan selama saya di Bali. Saya mengakses Internet dan ngobrol dengan teman saya. Saya ceritakan padanya bahwa saya sedang di Bali dan sedang bekerja.
Teman saya hanya bertanya satu hal, “Bagaimana perasaanmu?” Pertanyaan yang bagus. “Baik-baik saja” jawab saya, "Saya sama sekali tidak keberatan melakukan pekerjaan ini sekarang.”
“Bagus. Hanya itu yang penting." adalah tanggapan yang saya dapatkan darinya.
Teman saya benar. Perasaan baik-baik saja, tidak keberatan, menganggap semua ringan atau bahkan dengan sejumput (atau lebih) suka cita adalah penting, apapun yang tengah kita hadapi.
Email ke seorang klien seminggu sebelum saya berangkat ke Bali: "Hai. Sekedar mengingatkan. Saya akan pergi ke Bali dalam waktu seminggu. Apakah Mbak masih membutuhkan bantuan saya? Kalau ya, bolehkah kita selesaikan semua sebelum saya pergi?”
Email ke klien yang sama dua hari sebelum saya pergi: ”Hai. Bolehkah saya mendapat kepastian bahwa kita sudah bisa bergerak ke tahap selanjutnya? Saya akan pergi dua hari lagi. Tapi kalau dibutuhkan, saya masih bisa bekerja hingga tanggal 22 pagi. Tanggal 22 siang, saya akan memulai meditasi saya dan akan mematikan hp serta koneksi Internet saya.”
Saya menerima email dari klien saya tepat pada hari saya pergi ke Bali. Jadi pekerjaannya harus saya selesaikan selama saya di Bali. Saya mengakses Internet dan ngobrol dengan teman saya. Saya ceritakan padanya bahwa saya sedang di Bali dan sedang bekerja.
Teman saya hanya bertanya satu hal, “Bagaimana perasaanmu?” Pertanyaan yang bagus. “Baik-baik saja” jawab saya, "Saya sama sekali tidak keberatan melakukan pekerjaan ini sekarang.”
“Bagus. Hanya itu yang penting." adalah tanggapan yang saya dapatkan darinya.
Teman saya benar. Perasaan baik-baik saja, tidak keberatan, menganggap semua ringan atau bahkan dengan sejumput (atau lebih) suka cita adalah penting, apapun yang tengah kita hadapi.
Yoga di Bali
[English]
Juli lalu, saya mengikuti kursus lima hari Iyengar Yoga bersama Ann Barros. Ini kali ke-dua saya mengikuti kelasnya.
Tampaknya saya demikian menikmati kelasnya yang dulu sehingga saya dengan senang hati kembali ke Ubud untuk mengikutinya lagi.
Hm, sebenarnya sih, saya akan kembali ke Ubud untuk alasan apapun.
Saya sangat menyukai kelas-kelas Iyengar. Tradisi Iyengar memberikan perhatian khusus pada presisi (saya banget gak sih☺) dan keselarasan dalam setiap posturnya.
Tradisi ini menggunakan berbagai alat bantu khusus seperti tali-tali, bantal, selimut tebal, kursi dsb untuk membantu praktisi mengalami kesempurnaan dalam postur.
Karena itu, kelas ini terasa sebagai kursus penyegaran untuk mengingatkan saya bagaimana postur-postur yoga itu sebenarnya. Anda harus menyaksikan sendiri bagaimana Ann berkomentar dan membetulkan postur kami serinci mungkin--yang kadang terasa tidak nyaman pada saat kita berada dalam keadaan terbalik (kaki di atas, kepala di bawah). Dia juga senang menyelipkan satu dua catatan filosofis yoga. Senangnya!
Kami tinggal di penginapan Kebun Indah. Saya menempati sebuah kamar yang sangat menyenangkan dan bertemu beberapa teman yang sama menyenangkannya.
Sarapan adalah salah satu momen favorit buat saya. Kami berkumpul di kamar terbesar dan bersama-sama menyantap sarapan. Nyam nyam.
Saat-saat itulah kami bisa saling bercerita. Waktu sarapan adalah saat saya bisa mendengarkan cerita luar biasa dari teman-teman baru saya. Orang lain memang benar-benar cermin dari kita semua. Cermin-cermin tercinta.
Pada waktu luang, saya menjelajahi Ubud, kadang sendiri (dengan buku!), namun kadangkala dengan teman untuk ngopi, makan siang, makan malam, atau pun menonton pagelaran tari Kecak. Sekali dua kali meng-sms teman-teman. Dan terkadang, bekerja ;)
Saya menapaki jalan-jalan alternatif di Ubud dan tetap bisa merasakan betapa mengagumkannya mereka.
Beberapa bahkan lebih menarik ketimbang jalan-jalan utama sesak dengan toko turis.
Saya menyadari bahwa telah lama saya tidak berjalan-jalan sendiri. Kangen pengalaman itu.
Namun kini saya telah menemukan sensasi berada bersama diri lagi. Menyenangkan mengalami rasa itu kembali. Lebih senang lagi karena rasa itu datang dibarengi oleh teman-teman baru, Ubud dan Iyengar Yoga yang demikian indah.
Terima kasih, Ann. Terima kasih, teman-teman. Terima kasih, Ubud. Seperti yang dikatakan oleh Arnold the Governator, “Saya akan kembali!” Saya janji.
Catatan untuk diri: harus mendapatkan foto teman-teman dan taruh di sini.
Juli lalu, saya mengikuti kursus lima hari Iyengar Yoga bersama Ann Barros. Ini kali ke-dua saya mengikuti kelasnya.
Tampaknya saya demikian menikmati kelasnya yang dulu sehingga saya dengan senang hati kembali ke Ubud untuk mengikutinya lagi.
Hm, sebenarnya sih, saya akan kembali ke Ubud untuk alasan apapun.
Saya sangat menyukai kelas-kelas Iyengar. Tradisi Iyengar memberikan perhatian khusus pada presisi (saya banget gak sih☺) dan keselarasan dalam setiap posturnya.
Tradisi ini menggunakan berbagai alat bantu khusus seperti tali-tali, bantal, selimut tebal, kursi dsb untuk membantu praktisi mengalami kesempurnaan dalam postur.
Karena itu, kelas ini terasa sebagai kursus penyegaran untuk mengingatkan saya bagaimana postur-postur yoga itu sebenarnya. Anda harus menyaksikan sendiri bagaimana Ann berkomentar dan membetulkan postur kami serinci mungkin--yang kadang terasa tidak nyaman pada saat kita berada dalam keadaan terbalik (kaki di atas, kepala di bawah). Dia juga senang menyelipkan satu dua catatan filosofis yoga. Senangnya!
Kami tinggal di penginapan Kebun Indah. Saya menempati sebuah kamar yang sangat menyenangkan dan bertemu beberapa teman yang sama menyenangkannya.
Sarapan adalah salah satu momen favorit buat saya. Kami berkumpul di kamar terbesar dan bersama-sama menyantap sarapan. Nyam nyam.
Saat-saat itulah kami bisa saling bercerita. Waktu sarapan adalah saat saya bisa mendengarkan cerita luar biasa dari teman-teman baru saya. Orang lain memang benar-benar cermin dari kita semua. Cermin-cermin tercinta.
Pada waktu luang, saya menjelajahi Ubud, kadang sendiri (dengan buku!), namun kadangkala dengan teman untuk ngopi, makan siang, makan malam, atau pun menonton pagelaran tari Kecak. Sekali dua kali meng-sms teman-teman. Dan terkadang, bekerja ;)
Saya menapaki jalan-jalan alternatif di Ubud dan tetap bisa merasakan betapa mengagumkannya mereka.
Beberapa bahkan lebih menarik ketimbang jalan-jalan utama sesak dengan toko turis.
Saya menyadari bahwa telah lama saya tidak berjalan-jalan sendiri. Kangen pengalaman itu.
Namun kini saya telah menemukan sensasi berada bersama diri lagi. Menyenangkan mengalami rasa itu kembali. Lebih senang lagi karena rasa itu datang dibarengi oleh teman-teman baru, Ubud dan Iyengar Yoga yang demikian indah.
Terima kasih, Ann. Terima kasih, teman-teman. Terima kasih, Ubud. Seperti yang dikatakan oleh Arnold the Governator, “Saya akan kembali!” Saya janji.
Catatan untuk diri: harus mendapatkan foto teman-teman dan taruh di sini.
Saturday, August 02, 2008
Di hari pernikahanmu
[English]
Maafkan bila aku tak dapat hadir pada salah satu hari terpenting dalam hidupmu.
Aku tak akan banyak memberi alasan, karena rentetan kata apa pun yang akan kumuntahkan dari mulutku akan terasa hambar di telinga maupun hatimu.
Namun hati dan doaku akan tetap hadir bersamamu, terutama di hari istimewamu ini. Aku berdoa agar dirimu dan pasangan dianugerahi hidup yang bersimbah kebahagiaan sederhana dan cinta sejati.
Semoga kalian berdua dapat membentuk suatu kemitraan spiritual seumur hidup yang patut menimbulkan iri di hati semua makhluk.
Sebuah kemitraan yang mengizinkan masing-masing kalian untuk saling mendukung dalam bertumbuh dan mewujudkan potensi diri seutuhnya--dengan ikhlas dan penuh kebahagiaan.
Saat tidak ada lagi yang disebut dengan "pengorbanan", karena memang tak ada yang merasa menjadi korban ataupun mengorbankan sesuatu. Ketika setiap hari dipandang sebagai satu lagi keajaiban dan hadiah istimewa dari Tuhan.
Semoga kalian berdua dapat menyambut pagi, menapaki hari, dan beranjak tidur dengan pemahaman dan rasa syukur akan ternikmatinya hidup dan cinta terindah yang pernah ada.
Maafkan bila aku tak dapat hadir pada salah satu hari terpenting dalam hidupmu.
Aku tak akan banyak memberi alasan, karena rentetan kata apa pun yang akan kumuntahkan dari mulutku akan terasa hambar di telinga maupun hatimu.
Namun hati dan doaku akan tetap hadir bersamamu, terutama di hari istimewamu ini. Aku berdoa agar dirimu dan pasangan dianugerahi hidup yang bersimbah kebahagiaan sederhana dan cinta sejati.
Semoga kalian berdua dapat membentuk suatu kemitraan spiritual seumur hidup yang patut menimbulkan iri di hati semua makhluk.
Sebuah kemitraan yang mengizinkan masing-masing kalian untuk saling mendukung dalam bertumbuh dan mewujudkan potensi diri seutuhnya--dengan ikhlas dan penuh kebahagiaan.
Saat tidak ada lagi yang disebut dengan "pengorbanan", karena memang tak ada yang merasa menjadi korban ataupun mengorbankan sesuatu. Ketika setiap hari dipandang sebagai satu lagi keajaiban dan hadiah istimewa dari Tuhan.
Semoga kalian berdua dapat menyambut pagi, menapaki hari, dan beranjak tidur dengan pemahaman dan rasa syukur akan ternikmatinya hidup dan cinta terindah yang pernah ada.
Wednesday, July 16, 2008
Mewujudkan mimpi masa kecil
[English]
Mau jadi apa nanti kalau sudah besar? Apa yang menjadi minat atau ambisimu sejak dulu? Sewaktu kecil, kamu sering mimpi menjadi apa? Amatlah menyenangkan bila kita dapat mewujudkannya menjadi kenyataan. Mimpi pribadi (masa kecil) selalu menjadi topik diskusi yang menarik.
Tapi tau gak apa yang lebih menarik—buat saya—melebihi keinginan untuk mewujudkan mimpi masa kecil saya? Membantu orang lain mewujudkan mimpinya.
Saya tidak tahu kenapa, namun saya selalu bersemangat bila mendengar mimpi orang lain. Bahkan, bagi saya, mendengar mimpi orang lain lebih menggugah ketimbang memikirkan mimpi saya sendiri. Otak saya berputar ekstra keras. Kepala ini berimajinasi bagaimana mengubah mimpi tersebut menjadi kenyataan, siapa yang bisa saya hubungkan dengan teman saya ini, dsb, dsb.
Saya paling gemas kalau melihat orang-orang berbakat—yang bakatnya sedemikian jelas sehingga menyilaukan—namun mereka tetap hidup 'biasa-biasa saja.' Kenapa sih?
Saya percaya masing-masing insan memiliki bakat yang unik dan istimewa. Tiap-tiap kita memiliki peran yang sangat spesifik dalam hidup. Sebagian dari tugas kita adalah mencari tahu (atau ada juga yang bilang, mengingat kembali) keistimewaan kita. Bagian lain dari tugas kita adalah menjalaninya.
Bagaimana kita dapat mencari tahu dan menjalani peran, bakat dan mimpi istimewa kita tersebut?
Rahasia untuk menjadi istimewa—seperti yang dikatakan oleh Master Oogway dan Bapaknya Po Mr. Ping—adalah nihil. Tidak ada rahasia sama sekali. Kita hanya perlu meyakini bahwa kita ini istimewa.
Tapi ada triknya. Triknya adalah: dicoba.
Kalau kita tidak coba, bagaimana kita tahu kalau kita bisa? Mustahil, katamu? Well, mencoba sesuatu yang mustahil itu bisa menjadi mengasyikkan lho. Yuk!
Mimpi kita itu menunjukkan sesuatu kepada kita. Wujudkan. Jalani. Kemudian, manfaatkan demi kepentingan bersama.
Mau jadi apa nanti kalau sudah besar? Apa yang menjadi minat atau ambisimu sejak dulu? Sewaktu kecil, kamu sering mimpi menjadi apa? Amatlah menyenangkan bila kita dapat mewujudkannya menjadi kenyataan. Mimpi pribadi (masa kecil) selalu menjadi topik diskusi yang menarik.
Tapi tau gak apa yang lebih menarik—buat saya—melebihi keinginan untuk mewujudkan mimpi masa kecil saya? Membantu orang lain mewujudkan mimpinya.
Saya tidak tahu kenapa, namun saya selalu bersemangat bila mendengar mimpi orang lain. Bahkan, bagi saya, mendengar mimpi orang lain lebih menggugah ketimbang memikirkan mimpi saya sendiri. Otak saya berputar ekstra keras. Kepala ini berimajinasi bagaimana mengubah mimpi tersebut menjadi kenyataan, siapa yang bisa saya hubungkan dengan teman saya ini, dsb, dsb.
Saya paling gemas kalau melihat orang-orang berbakat—yang bakatnya sedemikian jelas sehingga menyilaukan—namun mereka tetap hidup 'biasa-biasa saja.' Kenapa sih?
Saya percaya masing-masing insan memiliki bakat yang unik dan istimewa. Tiap-tiap kita memiliki peran yang sangat spesifik dalam hidup. Sebagian dari tugas kita adalah mencari tahu (atau ada juga yang bilang, mengingat kembali) keistimewaan kita. Bagian lain dari tugas kita adalah menjalaninya.
Bagaimana kita dapat mencari tahu dan menjalani peran, bakat dan mimpi istimewa kita tersebut?
Rahasia untuk menjadi istimewa—seperti yang dikatakan oleh Master Oogway dan Bapaknya Po Mr. Ping—adalah nihil. Tidak ada rahasia sama sekali. Kita hanya perlu meyakini bahwa kita ini istimewa.
Tapi ada triknya. Triknya adalah: dicoba.
Kalau kita tidak coba, bagaimana kita tahu kalau kita bisa? Mustahil, katamu? Well, mencoba sesuatu yang mustahil itu bisa menjadi mengasyikkan lho. Yuk!
Mimpi kita itu menunjukkan sesuatu kepada kita. Wujudkan. Jalani. Kemudian, manfaatkan demi kepentingan bersama.
Menulis dan menjadi penulis
[English]
Saya cukup terkejut, bingung dan lumayan tersanjung ketika beberapa teman bertanya apakah saya pernah berpikir untuk menulis buku.
"Um, gak tuh" adalah jawaban pertama saya. Singkat, walaupun mungkin tidak terlalu manis.
Kemudian jawaban kedua muncul setelah saya memikirkan pertanyaan itu sedikit lebih lama, "Tentang apa ya?" Saya tidak tahu buku apa yang bisa saya tulis sehingga mampu menarik orang untuk membaca atau bahkan membelinya sekalipun.
Karena saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seorang penulis, apalagi penulis yang baik. Saya rasa saya tidak memiliki passion untuk menulis. Tidak seperti yang dimiliki oleh beberapa teman saya. Orang-orang itu melihat menulis sebagai passion mereka. Bagi mereka, menulis tampaknya telah ditaruh di tengah panggung sebagai pemeran utama atau bahkan pemeran tunggal. Saya tidak seperti itu.
Saya melihat menulis sebagai sekedar ekspresi dari pikiran dan perasaan saya. Salah satu medium untuk mengekspresikan passion saya, itu betul, namun tidak sebagai passion itu sendiri.
Tetap saja, sebagai seorang penggemar introspeksi, saya mencoba mengunyah pernyataan teman-teman saya itu sedikit lebih lama.
Saya obrolkan dengan teman lain--sesama zinister dan pemilik salah satu blog favorit saya. Saya yakin dia juga tidak pernah menganggap dirinya sebagai seorang penulis.
Komentarnya, "Kenapa (mesti menulis buku)? Gua sih lebih senang kalau loe tetap pada apa yang loe gunakan sekarang: blog dan sirkulasi email. Gratis. Kalau buku khan gua harus beli." Poin yang bagus.
Mohon jangan disalahartikan. Tentu saya memiliki respek yang sangat amat tinggi terhadap para penulis buku--para penulis berbakat luar biasa untuk buku yang telah maupun belum beredar. Buku telah menjadi salah satu sahabat terbaik saya dan saya tidak akan memiliki mereka--ataupun mendapatkan demikian banyak pembelajaran maupun pengetahuan--apabila bukan karena para penulisnya.
Semalam seorang teman lain berargumen, "Lho, kalau melalui buku khan semua pikiran dan ide loe terkompilasi dengan lebih compact (pepak, kalau kata ibu saya) dan terorganisir dengan rapi. Lagipula, loe akan dapat merangkul lebih banyak orang." Betul, mungkin. Tetapi apa yang akan saya tulis? Siapa yang mau saya rangkul?
Dalam satu diskusi beberapa minggu lalu, sesama partisipan bertanya kenapa saya tidak mengatakan apapun selama sesi terakhir. Saya bilang karena tidak ada yang perlu saya tambahkan. Dia menjawab, "Tetapi harusnya ikut urun rembug donk. Saya khan juga ingin belajar dari Anda." Benar juga. Menarik bahkan. Saya tidak pernah melihat diamnya saya sebagai suatu keengganan untuk berbagi.
Namun, sementara ini, saya tetap mengikuti saran teman saya untuk menggunakan media blog dan sirkulasi email. Untuk saat ini.
[Gambar 1 - pribadi; 2 - punya Hany]
Saya cukup terkejut, bingung dan lumayan tersanjung ketika beberapa teman bertanya apakah saya pernah berpikir untuk menulis buku.
"Um, gak tuh" adalah jawaban pertama saya. Singkat, walaupun mungkin tidak terlalu manis.
Kemudian jawaban kedua muncul setelah saya memikirkan pertanyaan itu sedikit lebih lama, "Tentang apa ya?" Saya tidak tahu buku apa yang bisa saya tulis sehingga mampu menarik orang untuk membaca atau bahkan membelinya sekalipun.
Karena saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seorang penulis, apalagi penulis yang baik. Saya rasa saya tidak memiliki passion untuk menulis. Tidak seperti yang dimiliki oleh beberapa teman saya. Orang-orang itu melihat menulis sebagai passion mereka. Bagi mereka, menulis tampaknya telah ditaruh di tengah panggung sebagai pemeran utama atau bahkan pemeran tunggal. Saya tidak seperti itu.
Saya melihat menulis sebagai sekedar ekspresi dari pikiran dan perasaan saya. Salah satu medium untuk mengekspresikan passion saya, itu betul, namun tidak sebagai passion itu sendiri.
Tetap saja, sebagai seorang penggemar introspeksi, saya mencoba mengunyah pernyataan teman-teman saya itu sedikit lebih lama.
Saya obrolkan dengan teman lain--sesama zinister dan pemilik salah satu blog favorit saya. Saya yakin dia juga tidak pernah menganggap dirinya sebagai seorang penulis.
Komentarnya, "Kenapa (mesti menulis buku)? Gua sih lebih senang kalau loe tetap pada apa yang loe gunakan sekarang: blog dan sirkulasi email. Gratis. Kalau buku khan gua harus beli." Poin yang bagus.
Mohon jangan disalahartikan. Tentu saya memiliki respek yang sangat amat tinggi terhadap para penulis buku--para penulis berbakat luar biasa untuk buku yang telah maupun belum beredar. Buku telah menjadi salah satu sahabat terbaik saya dan saya tidak akan memiliki mereka--ataupun mendapatkan demikian banyak pembelajaran maupun pengetahuan--apabila bukan karena para penulisnya.
Semalam seorang teman lain berargumen, "Lho, kalau melalui buku khan semua pikiran dan ide loe terkompilasi dengan lebih compact (pepak, kalau kata ibu saya) dan terorganisir dengan rapi. Lagipula, loe akan dapat merangkul lebih banyak orang." Betul, mungkin. Tetapi apa yang akan saya tulis? Siapa yang mau saya rangkul?
Dalam satu diskusi beberapa minggu lalu, sesama partisipan bertanya kenapa saya tidak mengatakan apapun selama sesi terakhir. Saya bilang karena tidak ada yang perlu saya tambahkan. Dia menjawab, "Tetapi harusnya ikut urun rembug donk. Saya khan juga ingin belajar dari Anda." Benar juga. Menarik bahkan. Saya tidak pernah melihat diamnya saya sebagai suatu keengganan untuk berbagi.
Namun, sementara ini, saya tetap mengikuti saran teman saya untuk menggunakan media blog dan sirkulasi email. Untuk saat ini.
[Gambar 1 - pribadi; 2 - punya Hany]
Membaca buku berbahasa Indonesia
[English]
Rasanya saya terlalu banyak menggunakan Bahasa Inggris akhir-akhir ini.
Ketika saya menulis entri untuk blog saya, saya selalu menulis versi Bahasa Inggris-nya dulu. Ya, bahkan untuk tulisan ini. Ketika saya mau menulis daftar apa yang harus saya kerjakan, saya pun menuliskannya dalam Bahasa Inggris.
Ketika saya berbincang dengan beberapa teman Indonesia saya, saya berbicara dalam Bahasa Inggris (shame on me (baca: memalukan), ujar saya masih dalam Bahasa Inggris). Ketika saya mau membeli buku, seringkali, saya membeli buku berbahasa Inggris.
Jadi untuk perjalanan mendatang, saya memutuskan untuk membawa buku-buku berbahasa Indonesia. Buku fiksi Indonesia. Wah, sudah lama sekali. Dengan segala rasa hormat. Maafkan.
Rasanya saya terlalu banyak menggunakan Bahasa Inggris akhir-akhir ini.
Ketika saya menulis entri untuk blog saya, saya selalu menulis versi Bahasa Inggris-nya dulu. Ya, bahkan untuk tulisan ini. Ketika saya mau menulis daftar apa yang harus saya kerjakan, saya pun menuliskannya dalam Bahasa Inggris.
Ketika saya berbincang dengan beberapa teman Indonesia saya, saya berbicara dalam Bahasa Inggris (shame on me (baca: memalukan), ujar saya masih dalam Bahasa Inggris). Ketika saya mau membeli buku, seringkali, saya membeli buku berbahasa Inggris.
Jadi untuk perjalanan mendatang, saya memutuskan untuk membawa buku-buku berbahasa Indonesia. Buku fiksi Indonesia. Wah, sudah lama sekali. Dengan segala rasa hormat. Maafkan.
Friday, July 11, 2008
"Saya tidak tahu"
[English]
Beberapa waktu lalu saya menulis sebuah entri tentang betapa saya tidak suka mengatakan "saya tidak tahu." Saya cukup percaya diri bahwa saya mampu untuk mengetahui apa pun yang ingin saya ketahui.
Jadi meskipun saya tidak tahu jawaban atau solusinya pada saat itu, saya yakin bahwa saya kenal seorang teman (dari teman dari teman) yang tahu. Kasih saya sedikit waktu dan saya akan mendapatkan solusinya. Pemegang teguh konsep six degrees of separation.
Namun tempo hari, saat saya tengah berbincang dengan seorang teman, saya menanyakan sebuah pertanyaan kenapa kepadanya dan dia menjawab kalau dia tidak tahu. Pertanyaan berkisar pada rasa dan saya bertanya kenapa dia merasa seperti itu. Dia menjawab tidak tahu, dia hanya merasa.
Saya memandangnya dan mengatakan, "Bukankah itu jawaban terindah yang bisa kamu berikan padaku?” Kami berdua tersenyum. Kami berdua tahu bahwa itu benar adanya.
Kadang pertanyaan-pertanyaan terpenting dalam hidup harus memiliki "saya tidak tahu" sebagai jawabannya. Kenapa kamu menyayangi orang itu? Saya tidak tahu. Saya hanya tahu saya menyayanginya. Kenapa kamu memilih melakukan ini, bukan itu? Saya tidak tahu. Karena saya mau. Bagaimana kamu dapat menjadi demikian bahagia? Saya tidak tahu. Saya hanya merasa bahagia. Di sini. Di dalam. Apakah kita memang harus tahu alasannya?
Menilik ke berbagai kejadian baru-baru ini, saya telah menggunakan jawaban "saya tidak tahu" dalam beragam kesempatan. Saya telah memutuskan melakukan banyak—termasuk di antaranya keputusan-keputusan yang cukup penting—tanpa benar-benar mengetahui alasan logis di baliknya.
Untuk beberapa hal, bahkan saya berpikir untuk bertanya atau mempertanyakan pun tidak, sampai ada orang lain yang menanyakannya kepada saya. Setelah itu pun, saya tetap pada jawaban saya bahwa "saya tidak tahu."
Saya tidak keberatan untuk tidak tahu. Karena saya tahu Kamu tahu. Dan saya percaya Kamu.
Anda tidak bisa membayangkan betapa jauh saya telah berjalan untuk sampai pada tahap ketidaktahuan ini. Untuk tahu bahwa saya tidak tahu dan tidak merasa keberatan untuk tak mengetahui. Bahkan, saya menyambutnya dengan sepenuh hati. Kenapa begitu? Saya tidak tahu.
Beberapa waktu lalu saya menulis sebuah entri tentang betapa saya tidak suka mengatakan "saya tidak tahu." Saya cukup percaya diri bahwa saya mampu untuk mengetahui apa pun yang ingin saya ketahui.
Jadi meskipun saya tidak tahu jawaban atau solusinya pada saat itu, saya yakin bahwa saya kenal seorang teman (dari teman dari teman) yang tahu. Kasih saya sedikit waktu dan saya akan mendapatkan solusinya. Pemegang teguh konsep six degrees of separation.
Namun tempo hari, saat saya tengah berbincang dengan seorang teman, saya menanyakan sebuah pertanyaan kenapa kepadanya dan dia menjawab kalau dia tidak tahu. Pertanyaan berkisar pada rasa dan saya bertanya kenapa dia merasa seperti itu. Dia menjawab tidak tahu, dia hanya merasa.
Saya memandangnya dan mengatakan, "Bukankah itu jawaban terindah yang bisa kamu berikan padaku?” Kami berdua tersenyum. Kami berdua tahu bahwa itu benar adanya.
Kadang pertanyaan-pertanyaan terpenting dalam hidup harus memiliki "saya tidak tahu" sebagai jawabannya. Kenapa kamu menyayangi orang itu? Saya tidak tahu. Saya hanya tahu saya menyayanginya. Kenapa kamu memilih melakukan ini, bukan itu? Saya tidak tahu. Karena saya mau. Bagaimana kamu dapat menjadi demikian bahagia? Saya tidak tahu. Saya hanya merasa bahagia. Di sini. Di dalam. Apakah kita memang harus tahu alasannya?
Menilik ke berbagai kejadian baru-baru ini, saya telah menggunakan jawaban "saya tidak tahu" dalam beragam kesempatan. Saya telah memutuskan melakukan banyak—termasuk di antaranya keputusan-keputusan yang cukup penting—tanpa benar-benar mengetahui alasan logis di baliknya.
Untuk beberapa hal, bahkan saya berpikir untuk bertanya atau mempertanyakan pun tidak, sampai ada orang lain yang menanyakannya kepada saya. Setelah itu pun, saya tetap pada jawaban saya bahwa "saya tidak tahu."
Saya tidak keberatan untuk tidak tahu. Karena saya tahu Kamu tahu. Dan saya percaya Kamu.
Anda tidak bisa membayangkan betapa jauh saya telah berjalan untuk sampai pada tahap ketidaktahuan ini. Untuk tahu bahwa saya tidak tahu dan tidak merasa keberatan untuk tak mengetahui. Bahkan, saya menyambutnya dengan sepenuh hati. Kenapa begitu? Saya tidak tahu.
Subscribe to:
Posts (Atom)