[English]
Malam itu adalah malam terakhir saya di Pacung untuk TB2. Hari berikutnya adalah saat kami menyudahi masa hening, hari-hari meditasi pun akan berakhir, dan saya akan melanjutkan perjalanan.
Jadi larut malam itu, saya duduk di teras saya, menatapi taman yang telah menggelap sedari tadi dan langit malam gemintang yang terbentang di atas saya.
Saya tersenyum dan berterima kasih pada mereka—pada malam, bintang, kolam, air mancur, sawah, taman, hewan, angin—atas pengalaman penuh berkah ini. Satu-satunya sahabat perjalanan di kala doa-doa malam terpanjatkan.
Malam demikian benderang. Saya belum pernah melihat langit demikian bertabur bintang di Indonesia. Namun bulan tak tampak. Saya sedikit bertanya-tanya kemana dia. Tak mengapa. Saya tahu ia ada di sana, entah dimana tepatnya tapi ada. Saya tetap menghaturkan senyum padanya.
Saya menimbang-nimbang untuk pergi tidur, namun sesuatu dalam diri mengajak untuk bertahan barang sejenak lagi. Jadi saya terus duduk dan berbincang dengan alam malam yang ramah, dekat dan hangat.
Kemudian malam mempersembahkan pertunjukan puncaknya untuk kali terakhir: Sebuah bintang jatuh yang gemilang dan—tampak—penuh warna. Cepat! Sebutkan sebuah keinginan!
Saya tidak dapat menahan senyum. Baik sekali.
Malam telah mengucap kata terakhirnya. Ia lantas mengizinkan saya untuk beranjak ke peraduan.
Tuesday, August 12, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment