Monday, March 17, 2008

Pelajaran ulang

[English]
Sabtu pagi/siang lalu, saya ngobrol ngalor ngidul dengan teman saya. Salah satu yang saya ceritakan adalah tentang teman saya yang lain. Seorang yang sangat sibuk dengan kehidupan yang begitu rumit.

Saya menyebut dia salah satu guru terbesar saya. Sahabat saya.

Setiap kita akan bertemu, pasti ada saja hal terjadi. Meeting-nya yang molor. Restoran tempat kita ketemu tutup, hp dia mati, jadi dia tidak bisa menghubungi saya. Dia dapat kerjaan mendadak dari bosnya. Dia harus beli sesuatu buat keluarganya. Dsb. Dsb.

Jadi telat satu dua jam buat dia adalah ‘normal’. Bahkan, cukup bagus ketimbang tiga atau empat jam. Atau tidak jadi datang. Atau tidak datang tanpa ada pemberitahuan.

Tentunya, saya yang menjunjung tinggi ketepatan waktu dan pemenuhan janji ini agak-agak kesal setiap kali teman saya itu telat. Namun, entah kenapa, saya tetap saja membuat janji bertemu dengannya, dan dia pun tetap membuat janji dengan saya.

Saya tidak menyadari pelajaran yang tengah saya jalani hingga suatu hari, kami janjian ketemu lagi. Saya mengunjungi kotanya dan kami seharusnya bertemu setelah jam kerja. Ketika saya meng-smsnya setibanya saya di tempat kita harusnya ketemu, dia hanya menjawab, “maaf, harus beli sesuatu buat anakku.”

Hebatnya, saya hanya mengatakan (atau merasa) “ok”. Kemudian saya langsung mengangkat telepon saya, menelepon teman yang lain, dan bilang “kayaknya kita jadi bisa ketemu nih sekarang.” Hidup pun berjalan terus. Tanpa ada rasa sakit apapun.

Saya kemudian menyadari bahwa saya telah lulus dari salah satu pelajaran saya. Pelajaran untuk (tidak) menjadi emosional ketika orang mendadak berubah pikiran, ketika orang tiba-tiba punya acara/rencana lain, dan ketika orang tidak memenuhi janjinya.

Saya mulai melihat peristiwa dari sudut pandang orang lain. Teman saya itu hidupnya sudah rumit. Begitu juga mungkin orang-orang yang lain. Mungkin terlalu egois buat saya untuk marah. Mungkin memang hal itu sebaiknya tidak terjadi.

Sabtu malam lalu, saya seharusnya bertemu dengan teman yang lain. Lucunya, dia pun tidak muncul. Tidak ada telepon. Tidak ada pemberitahuan apa-apa. Dan saya merasa baik-baik saja. “Ok, kalau gitu, saya bisa santai dan menyelesaikan buku saya.” (keesokan paginya dia sms mengatakan dia sakit).

Pengalaman yang saya ceritakan ke teman saya pada Sabtu siang kini tampak sebagai pelajaran ulang untuk kejadian Sabtu malamnya.

Saya diingatkan pada pelajaran masa lalu saya, pelajaran yang sudah saya lewati dengan sukses. Sapaan lembut bagi saya agar saya tidak terjerembab ke dalam jebakan itu kembali. Terima kasih.

No comments: