Monday, December 03, 2007

Saya.

[English]
Saya anak dari orang tua saya. Saya adik dari kakak-kakak saya. Saya profesi saya. Saya kawan dari teman-teman saya. Saya pengikut agama saya. Saya warga dari negara saya.

Definisi jamak untuk satu individu. Aneh.


Saya coba definisikan diri melalu masalah-masalah saya. Namun tiba-tiba masalah-masalah itu terasa tidak penting. Tidak relevan. Tidak pas.

Saya bukan apa-apa kecuali terberkati. Dicintai. Dan cinta itu sendiri.


Saya ini Anda. Anda adalah saya. Kemudian kata-kata saya, Anda, dia, kami, kalian, dan mereka menjadi membingungkan. Rasanya tidak logis. Mungkin sudah tidak relevan.

Kenapa juga mesti terbedakan?

Saya diminta membayangkan sebuah ruang sebagai simbolisasi dari saya, dan mengembangkan luas ruang itu. Saya bayangkan meruntuhkan tembok pembatas ruang dan melihat padang rumput menghijau di bawah naungan langit biru terang.

Saya merasa bebas, sampai saya sadar bahwa dunia saya masih terbatasi dengan tanah tempat saya berpijak. Saya masih menaruh batasan. Kebebasan mutlak masih sekedar ilusi.

Saya terlalu cepat berkesimpulan. Saya puas secara prematur. Ego kembali berbicara.

Saya terbayang dunia untuk memahami bahwa saya ini dunia, alam itu sendiri.

Saya melangkah ke belakang untuk melihat saya lebih jelas. Tapi sejauh apapun saya melangkah, saya tetap tidak bisa melihat diri saya. Saya tidak ada.

Saya bertanya-tanya.

Saya agung, saya pun sekedar setitik noktah tak perlu.

Konsep dualitas ini semakin membingungkan. Tidak logis. Tidak lagi relevan. Pembedaan itu tidak perlu. Tidak ada alasan untuk melakukannya.

Tidak ada kejamakan . Pilih satu kata ganti dan pakai satu itu saja. Satu saja cukup. Tidak pernah perlu lebih.

Saya melebih-lebihkan, seperti biasa.

Saya mau melakukan perjalanan menembus waktu. Kemudian saya menyadari tidak ada waktu untuk ditembus. Saya tidak melihat adanya tujuan atau dimensi lain.

Saat ini hanya satu-satunya yang ada.

Saya duduk di tepi sungai dan ingin bermain dengan air yang mengalir di bawah saya. Saya celupkan kaki ke dalam air dan menggerak-gerakkannya.

Kemudian saya berhenti dan sadar bahwa kaki-kaki saya tetap bergerak tanpa saya gerakkan. Aliran sungai telah melakukannya untuk saya. Sekarang semua menjadi logis. Saya tersenyum tanpa berusaha untuk tersenyum.

Izinkan alam melakukannya. Ikhlas. Saksikan keagungan menjelma.
Hiduplah dari ini, ujarnya seraya tersenyum.

Jiwa memahami. Yang lain masih perlu memproses.

No comments: