[English]
Setiap orang komunikasi pasti mengenal prinsip 5W1H – who what where when why and how (siapa apa dimana kapan kenapa dan bagaimana) dari sebuah cerita. Bagi beberapa orang, ada satu pertanyaan lagi yang tak kalah penting: terus kenapa? Kenapa sasaran komunikasi kita perlu peduli terhadap apa yang ingin kita sampaikan?
Terus kenapa juga merupakan pertanyaan yang muncul di pikiran saat saya berbincang dengan seorang teman. Katanya, dia senang berbincang dengan orang-orang biasa (yang luar biasa). Dia suka duduk-duduk di pinggir jalan untuk berbicara dengan para pedagang kaki lima dan lain-lain.
Saya pun demikian. Cerita mereka selalu membuat saya takjub. Cerita mereka senantiasa menaruh saya kembali pada tempat saya, untuk merasa bersyukur dan pada saat yang sama merasa saya belum ada apa-apanya dibanding mereka.
Malam itu ketika sedang berbincang dengan sang teman, pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulut saya: terus kenapa? Jadi kamu suka mendengar cerita dari mereka, terus kenapa? Mau kamu apakan cerita itu? Bagaimana kamu menggunakan cerita itu untuk membantu mengubah diri ataupun orang lain?
Saya rasa saya harus lebih sering bertanya ini ke diri sendiri. Jadi saya suka diskusi spiritual. Jadi saya suka yoga. Jadi saya suka ngobrol dengan boneka (stuffed animal, not doll!) saya. Terus kenapa? Bagaimana semua ini bisa membuat diri saya menjadi lebih baik? Bagaimana agar hal ini dapat bermanfaat bagi orang di sekitar saya?
Terima kasih buat obrolannya. Dan pengingatnya.
Saturday, April 26, 2008
Home sweet home
[English]
Hari yang cukup melelahkan, secara fisik maupun emosi. Hari yang sangat panjang. Saya bangun jam lima, setelah tidur tiga jam saja.
Kemudian langsung bekerja (lagi). Dan bekerja. Dan bekerja. Hingga sekitar jam enam atau tujuh malam. Kemudian saya pergi ke tempat teman (dasar ambisius) hingga jam 12.30 tengah malam. Lelah blas.
Sampai akhirnya saya tiba di rumah pukul satu dini hari. Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa begitu bugar. Kemudian saya mulai menyalakan komputer untuk merajut tulisan ini.
Tadi saya sempat meng-SMS teman saya karena saya sedang menimbang apa yang harus saya lakukan besok. Saya punya tiga opsi diskusi religi/spiritual yang bisa saya datangi. Kemudian saya katakan padanya, selalu ada opsi untuk tinggal di rumah. Dia membalas: rumah.
Teman saya itu tentunya benar sebenar-benarnya. Kalau saya harus memilih dari keempat opsi tersebut kegiatan mana yang paling menyantaikan secara spiritual, saya akan menjawab: tinggal di rumah.
Sebuah rumah bisa luar biasa berdampak pada diri ini. Terima kasih.
Seperti yang kamu katakan, sampai saat ini belum ada tempat lain yang lebih nyaman di dunia daripada rumah sendiri. Well, bagi kita yang beruntung. Ada orang yang tidak punya rumah. Ada yang punya rumah besar, tapi tidak merasa berada di rumah. Kita benar-benar termasuk yang beruntung.
PS: Satu kalimat terucap dalam percakapan di rumah teman tadi: "Kebenaran universal adalah perbuatan baik." Indah sekali.
Hari yang cukup melelahkan, secara fisik maupun emosi. Hari yang sangat panjang. Saya bangun jam lima, setelah tidur tiga jam saja.
Kemudian langsung bekerja (lagi). Dan bekerja. Dan bekerja. Hingga sekitar jam enam atau tujuh malam. Kemudian saya pergi ke tempat teman (dasar ambisius) hingga jam 12.30 tengah malam. Lelah blas.
Sampai akhirnya saya tiba di rumah pukul satu dini hari. Entah kenapa, tiba-tiba saya merasa begitu bugar. Kemudian saya mulai menyalakan komputer untuk merajut tulisan ini.
Tadi saya sempat meng-SMS teman saya karena saya sedang menimbang apa yang harus saya lakukan besok. Saya punya tiga opsi diskusi religi/spiritual yang bisa saya datangi. Kemudian saya katakan padanya, selalu ada opsi untuk tinggal di rumah. Dia membalas: rumah.
Teman saya itu tentunya benar sebenar-benarnya. Kalau saya harus memilih dari keempat opsi tersebut kegiatan mana yang paling menyantaikan secara spiritual, saya akan menjawab: tinggal di rumah.
Sebuah rumah bisa luar biasa berdampak pada diri ini. Terima kasih.
Seperti yang kamu katakan, sampai saat ini belum ada tempat lain yang lebih nyaman di dunia daripada rumah sendiri. Well, bagi kita yang beruntung. Ada orang yang tidak punya rumah. Ada yang punya rumah besar, tapi tidak merasa berada di rumah. Kita benar-benar termasuk yang beruntung.
PS: Satu kalimat terucap dalam percakapan di rumah teman tadi: "Kebenaran universal adalah perbuatan baik." Indah sekali.
Wednesday, April 23, 2008
Saya hanya meminta sebuah kapel kecil…
[English]
Entah kenapa, saya selalu diarahkan ke area ini. Mungkin ditarik merupakan kata yang lebih tepat. Kamu terus memberikan ‘alasan’ bagi saya untuk pergi ke sana.
Pertama, ada godaan untuk mengunjungi toko barang-barang kemah/trekking favorit saya. Saya menahan diri.
Kemudian seorang teman meminta saya membelikan sebuah produk yang katanya dijual di daerah sana. Saya masih menahan diri dan membeli produk tersebut di daerah lain.
Akhirnya, Kamu berhasil menarik saya ke sana karena ada teman lain yang mengajak bertemu di daerah itu. Baiklah, saya pergi.
Jadilah saya melangkah ke daerah itu. Setelah makan siang dengan teman tersebut, saya berputar-putar di daerah sekitar. Sedikit mengomel. Kamu sudah menarik saya hingga sini, dan sekarang saya apa yang mesti saya lakukan? Tidak adil. Kasih saya suatu tanda.
Saya pergi ke toko kemah itu dan tidak melihat sesuatu yang menarik. Ok, saya masih belum tahu kenapa saya mesti ke daerah ini.
Tiba-tiba, tepat di depan saya: Katedral Saint Andrew Singapura. Waah. Kemarin saya minta Tuhan untuk dibolehkan mengunjungi gereja Khatolik, tempat menyendiri favorit saya. Kemarin saya tidak menemukannya. Lantas saya lupa atas permintaan saya itu.
Rupanya, ada yang tidak lupa.
Bahkan lebih dari itu.
Saya hanya meminta sebuah gereja—atau bahkan kapel—Khatolik kecil yang sederhana buat saya untuk duduk diam. Dan Dia memberikan saya katedral.
.gak tau mesti ngomong apa.
Entah kenapa, saya selalu diarahkan ke area ini. Mungkin ditarik merupakan kata yang lebih tepat. Kamu terus memberikan ‘alasan’ bagi saya untuk pergi ke sana.
Pertama, ada godaan untuk mengunjungi toko barang-barang kemah/trekking favorit saya. Saya menahan diri.
Kemudian seorang teman meminta saya membelikan sebuah produk yang katanya dijual di daerah sana. Saya masih menahan diri dan membeli produk tersebut di daerah lain.
Akhirnya, Kamu berhasil menarik saya ke sana karena ada teman lain yang mengajak bertemu di daerah itu. Baiklah, saya pergi.
Jadilah saya melangkah ke daerah itu. Setelah makan siang dengan teman tersebut, saya berputar-putar di daerah sekitar. Sedikit mengomel. Kamu sudah menarik saya hingga sini, dan sekarang saya apa yang mesti saya lakukan? Tidak adil. Kasih saya suatu tanda.
Saya pergi ke toko kemah itu dan tidak melihat sesuatu yang menarik. Ok, saya masih belum tahu kenapa saya mesti ke daerah ini.
Tiba-tiba, tepat di depan saya: Katedral Saint Andrew Singapura. Waah. Kemarin saya minta Tuhan untuk dibolehkan mengunjungi gereja Khatolik, tempat menyendiri favorit saya. Kemarin saya tidak menemukannya. Lantas saya lupa atas permintaan saya itu.
Rupanya, ada yang tidak lupa.
Bahkan lebih dari itu.
Saya hanya meminta sebuah gereja—atau bahkan kapel—Khatolik kecil yang sederhana buat saya untuk duduk diam. Dan Dia memberikan saya katedral.
.gak tau mesti ngomong apa.
Refleksi yang sempurna
[English]
Ini kali kedua saya menggunakan kata “sempurna”. Hidup rupanya memang sedang baik-baik saja.
Kita duduk bareng untuk keribuan kali. Dan setiap kali, selalu merupakan saat yang amat menyenangkan.
Siang yang demikian cerah (matahari tersenyum lebar, langit biru terang), tempat ngopi yang pas (makanan enak, staf ramah, pengunjung menyenangkan), dan kita yang duduk di dekat jendela melongok ke lapangan hijau dan orang berlalu-lalang di sekeliling kita.
Kita berbincang sedikit tentang kerja. Kita berbincang lebih banyak tentang pribadi. Kita berbincang tentang keluarga, rasa dan perjalanan. Kita berbincang tentang bahagia dan resah.
Saya rasa sedikit sekali cerita yang tidak saya bagi dengan dirimu. Saya dengan senang hati menjawab semua hal yang kamu tanyakan. Saya pun dengan suka cita dan sukarela bercerita tentang hal yang tak kamu tanyakan.
Kita berbicara tentang kita yang senantiasa menjadi si kuat. Si penyelesai masalah dalam cinta dan hidup. Kita sebagai orang-orang dengan hidup sederhana tanpa ada yang disembunyikan.
Hidup kita demikian sederhana sehingga tak ada yang perlu kita bagi kepada orang lain. Tidak ada keluhan satu kata pun. Hidup yang sederhana. Hidup yang baik-baik saja. Kita yang kuat-kuat saja.
Sampai suatu saat dalam kurun bincang kita, kebenaran menyesakkan menguak. (Wah, saya baru saja melihatmu online! Di jam-jam aneh ini). Kita ini terlalu gengsi, harga diri begitu tinggi, terlalu tinggi untuk mengakui atau bahkan menyadari.
Menara ini sedemikian tinggi sehingga kita sendiri pun tak dapat melihat apa yang ada di dalam. Semua baik-baik saja. Semua terbuat dari bebatuan kokoh.
Biarkan diri menjadi lemah, menjadi rentan, kata saya. Atau itu kata-katamu? Tak penting. Tak masalah. Sama saja. Pernyataan berlaku dua arah. Seperti biasa.
Karena kamu adalah refleksi sempurna diri saya. Apa yang saya ucapkan pada kamu, saya ucapkan pada diri sendiri. Cerita kamu adalah cerita saya juga.
Ketika saya mendengarkanmu, saya mendengarkan diri sendiri, dengan rasa bahagia dan kesedihan mendalam. Apa yang kamu rasakan (atau kamu pikir kamu rasakan) selalu terasa familiar di saya. Mengerikan.
Pantaslah saya tidak pernah ragu untuk bercerita padamu. Sejak pertama kita berbincang. Karena saya hanya berbincang dengan diri sendiri. Tidak perlu merasa malu. Karena kamu sudah tahu. Karena entah bagaimana itu pun kamu.
Saya menyayangimu sebagai seorang sahabat tercinta. Sejak awal. Hingga kapan pun. Terima kasih sudah menjadi cermin yang bening, refleksi sempurna dari diri ini. Walau kerap kita enggan mengakuinya.
Saat yang menyenangkan. Pas untuk melepas penat. Terima kasih.
PS: Ingat foto kita yang kita ambil di akhir kopi kita, yang ternyata buram? Mungkin ada hal-hal yang harus kita simpan sendiri. Atau tepatnya, di antara kita saja. Tempat sampah bagi satu sama lain.
Ini kali kedua saya menggunakan kata “sempurna”. Hidup rupanya memang sedang baik-baik saja.
Kita duduk bareng untuk keribuan kali. Dan setiap kali, selalu merupakan saat yang amat menyenangkan.
Siang yang demikian cerah (matahari tersenyum lebar, langit biru terang), tempat ngopi yang pas (makanan enak, staf ramah, pengunjung menyenangkan), dan kita yang duduk di dekat jendela melongok ke lapangan hijau dan orang berlalu-lalang di sekeliling kita.
Kita berbincang sedikit tentang kerja. Kita berbincang lebih banyak tentang pribadi. Kita berbincang tentang keluarga, rasa dan perjalanan. Kita berbincang tentang bahagia dan resah.
Saya rasa sedikit sekali cerita yang tidak saya bagi dengan dirimu. Saya dengan senang hati menjawab semua hal yang kamu tanyakan. Saya pun dengan suka cita dan sukarela bercerita tentang hal yang tak kamu tanyakan.
Kita berbicara tentang kita yang senantiasa menjadi si kuat. Si penyelesai masalah dalam cinta dan hidup. Kita sebagai orang-orang dengan hidup sederhana tanpa ada yang disembunyikan.
Hidup kita demikian sederhana sehingga tak ada yang perlu kita bagi kepada orang lain. Tidak ada keluhan satu kata pun. Hidup yang sederhana. Hidup yang baik-baik saja. Kita yang kuat-kuat saja.
Sampai suatu saat dalam kurun bincang kita, kebenaran menyesakkan menguak. (Wah, saya baru saja melihatmu online! Di jam-jam aneh ini). Kita ini terlalu gengsi, harga diri begitu tinggi, terlalu tinggi untuk mengakui atau bahkan menyadari.
Menara ini sedemikian tinggi sehingga kita sendiri pun tak dapat melihat apa yang ada di dalam. Semua baik-baik saja. Semua terbuat dari bebatuan kokoh.
Biarkan diri menjadi lemah, menjadi rentan, kata saya. Atau itu kata-katamu? Tak penting. Tak masalah. Sama saja. Pernyataan berlaku dua arah. Seperti biasa.
Karena kamu adalah refleksi sempurna diri saya. Apa yang saya ucapkan pada kamu, saya ucapkan pada diri sendiri. Cerita kamu adalah cerita saya juga.
Ketika saya mendengarkanmu, saya mendengarkan diri sendiri, dengan rasa bahagia dan kesedihan mendalam. Apa yang kamu rasakan (atau kamu pikir kamu rasakan) selalu terasa familiar di saya. Mengerikan.
Pantaslah saya tidak pernah ragu untuk bercerita padamu. Sejak pertama kita berbincang. Karena saya hanya berbincang dengan diri sendiri. Tidak perlu merasa malu. Karena kamu sudah tahu. Karena entah bagaimana itu pun kamu.
Saya menyayangimu sebagai seorang sahabat tercinta. Sejak awal. Hingga kapan pun. Terima kasih sudah menjadi cermin yang bening, refleksi sempurna dari diri ini. Walau kerap kita enggan mengakuinya.
Saat yang menyenangkan. Pas untuk melepas penat. Terima kasih.
PS: Ingat foto kita yang kita ambil di akhir kopi kita, yang ternyata buram? Mungkin ada hal-hal yang harus kita simpan sendiri. Atau tepatnya, di antara kita saja. Tempat sampah bagi satu sama lain.
Jalan-jalan yang pas
[English]
“Gimana jalan-jalannya?” tanya seorang teman Tanpa ragu, saya menjawab, “It was perfect.” (Catatan: mau saya terjemahkan ke sempurna kok rasanya kurang sreg).
Apakah jawaban itu terdengar terlalu positif? Mungkin. Namun memang itu yang saya rasakan tentang perjalanan saya kali ini. Saya tidak akan bercerita terperinci. Tapi sekedar memberikan gambaran.
Perjalanan kali ini tidak terlalu lama. Lima hari empat malam. Jalur penerbangan satu setengah jam yang sebetulnya sudah kerap saya tempuh. Tapi kali ini, terasa berbeda.
Waktu yang pas. Untuk menyantaikan diri. Untuk ‘melarikan diri’ barang sejenak.
Imbangan antara waktu sendiri, waktu bersama buku dan waktu bersama teman yang pas. Saya tidak menyadari betapa lamanya sejak terakhir kali saya benar-benar beperjalanan sendirian. Saya tidak menyadari betapa saya kangen akan saat-saat itu.
Kombinasi teman yang pas. Teman-teman yang dekat di hati. Teman-teman yang lama tak saya sambangi. Teman-teman yang dengan mereka saya bisa menjadi diri saya yang lebih santai dan terbuka.
Tempat tumpangan menginap yang pas. Apartemen dari seorang teman lama. Salah satu sahabat terdekat saya yang telah menyaksikan—dan membiarkan—saya untuk bertumbuh seperti saya hari ini. Tidak ada tempat menginap yang lebih pas buat saya untuk perjalanan kali ini.
Kegiatan yang pas. Leyeh-leyeh di apartemen. Ngobrol dengan teman. Makan siang, makan malam, dan ngopi. (beberapa tenggat waktu terkait pekerjaan dan beberapa e-mail yang tidak terlalu terkait dengan pekerjaan). Menonton kartun di TV. Hablando con mis amigas espaƱolas. Menjalani terapi kesehatan. Menonton orang lalu lalang. Tidak melakukan apa-apa. Belanja. Ngobrol lagi. Melihat tanpa menatap. Membaca buku. Oh dan berjalan. Menyenangkan sekali. Berjalan jauh secara perlahan.
Dan saya secara resmi jatuh cinta dengan Craniosacral Therapy. Terima kasih, Kheng. Terima kasih, Martyn. Terima kasih, Heather.
Sekarang saya telah kembali. Mari, berikan!
“Gimana jalan-jalannya?” tanya seorang teman Tanpa ragu, saya menjawab, “It was perfect.” (Catatan: mau saya terjemahkan ke sempurna kok rasanya kurang sreg).
Apakah jawaban itu terdengar terlalu positif? Mungkin. Namun memang itu yang saya rasakan tentang perjalanan saya kali ini. Saya tidak akan bercerita terperinci. Tapi sekedar memberikan gambaran.
Perjalanan kali ini tidak terlalu lama. Lima hari empat malam. Jalur penerbangan satu setengah jam yang sebetulnya sudah kerap saya tempuh. Tapi kali ini, terasa berbeda.
Waktu yang pas. Untuk menyantaikan diri. Untuk ‘melarikan diri’ barang sejenak.
Imbangan antara waktu sendiri, waktu bersama buku dan waktu bersama teman yang pas. Saya tidak menyadari betapa lamanya sejak terakhir kali saya benar-benar beperjalanan sendirian. Saya tidak menyadari betapa saya kangen akan saat-saat itu.
Kombinasi teman yang pas. Teman-teman yang dekat di hati. Teman-teman yang lama tak saya sambangi. Teman-teman yang dengan mereka saya bisa menjadi diri saya yang lebih santai dan terbuka.
Tempat tumpangan menginap yang pas. Apartemen dari seorang teman lama. Salah satu sahabat terdekat saya yang telah menyaksikan—dan membiarkan—saya untuk bertumbuh seperti saya hari ini. Tidak ada tempat menginap yang lebih pas buat saya untuk perjalanan kali ini.
Kegiatan yang pas. Leyeh-leyeh di apartemen. Ngobrol dengan teman. Makan siang, makan malam, dan ngopi. (beberapa tenggat waktu terkait pekerjaan dan beberapa e-mail yang tidak terlalu terkait dengan pekerjaan). Menonton kartun di TV. Hablando con mis amigas espaƱolas. Menjalani terapi kesehatan. Menonton orang lalu lalang. Tidak melakukan apa-apa. Belanja. Ngobrol lagi. Melihat tanpa menatap. Membaca buku. Oh dan berjalan. Menyenangkan sekali. Berjalan jauh secara perlahan.
Dan saya secara resmi jatuh cinta dengan Craniosacral Therapy. Terima kasih, Kheng. Terima kasih, Martyn. Terima kasih, Heather.
Sekarang saya telah kembali. Mari, berikan!
Thursday, April 17, 2008
Daftar dekat
[English]
Saya kasih tahu kisi-kisi cara menandai bahwa saya merasa dekat dengan seseorang.
Yaitu kalau saya sudah mulai cerewet, ketika saya tidak sabar untuk berceloteh tentang hari(-hari) saya, tentang rasa. Ketika saya lebih cerewet dari lawan bicara saya, atau minimal berimbang.
Dan ketika saya mulai memperlihatkan sisi yang tak setertata biasanya.
Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya menambahkan nama baru dalam “daftar dekat” ini. Bukannya saya berusaha eksklusif. Saya rasa ini sekedar masalah seleksi alam. Dan proses bertumbuh diri saya.
Tapi baru-baru ini saya telah menambahkan dirimu.
Dan saya ingin kamu tahu, seperti halnya orang lain dalam daftar tak terlalu panjang ini, kamu bisa telepon saya kapanpun, bahkan bertahun-tahun dari kini, untuk sekedar menyapa, “Ngopi yuk?”, dan saya akan langsung menyambut, “Ayuk.” Saya akan sediakan waktu.
Ini janji. Suatu penghargaan dan kesenangan tersendiri buat saya.
PS: bukan, bukan ini "entry terakhir" yang saya maksud. Sebelumnya.
Saya kasih tahu kisi-kisi cara menandai bahwa saya merasa dekat dengan seseorang.
Yaitu kalau saya sudah mulai cerewet, ketika saya tidak sabar untuk berceloteh tentang hari(-hari) saya, tentang rasa. Ketika saya lebih cerewet dari lawan bicara saya, atau minimal berimbang.
Dan ketika saya mulai memperlihatkan sisi yang tak setertata biasanya.
Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya menambahkan nama baru dalam “daftar dekat” ini. Bukannya saya berusaha eksklusif. Saya rasa ini sekedar masalah seleksi alam. Dan proses bertumbuh diri saya.
Tapi baru-baru ini saya telah menambahkan dirimu.
Dan saya ingin kamu tahu, seperti halnya orang lain dalam daftar tak terlalu panjang ini, kamu bisa telepon saya kapanpun, bahkan bertahun-tahun dari kini, untuk sekedar menyapa, “Ngopi yuk?”, dan saya akan langsung menyambut, “Ayuk.” Saya akan sediakan waktu.
Ini janji. Suatu penghargaan dan kesenangan tersendiri buat saya.
PS: bukan, bukan ini "entry terakhir" yang saya maksud. Sebelumnya.
Wednesday, April 16, 2008
Tak terungkap
[English]
Saya sudah menulis beberapa patah kata untuk bertutur tentang hari aneh yang tak terucap ini. Saya bahkan telah mengambil beberapa foto untuk ilustrasi dengan ponsel saya.
Foto sudah tertandai dengan baik untuk kemudian di-upload. Dan terhapus, secara tak sengaja. Terhenyak. Napas tertarik begitu dalam. Mata pun terpejam erat barang sejenak.
Mungkin beberapa hal memang tak perlu terungkap. Seperti yang sering dibisikkan pada saya akhir-akhir ini, telah tiba saat bagi keheningan. Untuk kesekian kalinya. Berdiam diri seraya terus melangkah.
Karena kata hanya akan membatasi dan menimbulkan kesalahpahaman.
Karena hanya dalam keheningan, katamu, kita dapat benar-benar mendengar. Hanya dalam keheningan kita dapat secara jujur berkomunikasi. Dan memahami.
Terima kasih. Kangen. Walau dalam pikiran sekilas terlintas, Mungkin kamu memang berpikir bahwa saya benar-benar sekuat itu.
Saya sudah menulis beberapa patah kata untuk bertutur tentang hari aneh yang tak terucap ini. Saya bahkan telah mengambil beberapa foto untuk ilustrasi dengan ponsel saya.
Foto sudah tertandai dengan baik untuk kemudian di-upload. Dan terhapus, secara tak sengaja. Terhenyak. Napas tertarik begitu dalam. Mata pun terpejam erat barang sejenak.
Mungkin beberapa hal memang tak perlu terungkap. Seperti yang sering dibisikkan pada saya akhir-akhir ini, telah tiba saat bagi keheningan. Untuk kesekian kalinya. Berdiam diri seraya terus melangkah.
Karena kata hanya akan membatasi dan menimbulkan kesalahpahaman.
Karena hanya dalam keheningan, katamu, kita dapat benar-benar mendengar. Hanya dalam keheningan kita dapat secara jujur berkomunikasi. Dan memahami.
Terima kasih. Kangen. Walau dalam pikiran sekilas terlintas, Mungkin kamu memang berpikir bahwa saya benar-benar sekuat itu.
Wednesday, April 09, 2008
Catatan: Doa
[English]
Sudah lama juga saya tidak mengikuti pengajian dengan Pak Arif. Saya hampir lupa betapa praktisnya ajaran yang beliau sampaikan dan betapa “biasa”-nya dia.
Topik malam ini adalah doa. Dimulai dari pertanyaan seorang peserta tentang bagaimana caranya agar kita gak kena akibat negatif dari doa kita sendiri. Pak Arif bilang, doa yang benar tidak akan seperti itu.
Qur’an berujar bahwa “semua urusan diikembalikan kepada Allah” (misalnya di 3:109). Quran said that “all things go back to God [as their source]” (for instance in 3:109). Apakah kita benar-benar sudah mengembalikan apa yang kita ‘miliki’ atau kita kerjakan kepada-Nya? Kalau saya, kayaknya belum. Kita berdoa untuk apa yang kita inginkan, untuk hal-hal yang menurut kita baik buat kita.
Kita kerap lupa bahwa masing-masing dari kita ada di dunia dengan peran dan fungsi khusus. Kita lupa Tuhan punya rencana besar. Kita lupa bertanya kepada-Nya, jadi apa rencana-Mu dan apa yang bisa saya lakukan?
Kita lupa untuk menjalankan perintah Tuhan, menjauhi larangan-NYa, atau bisa juga dikatakan hukum alam, hukum karma yang ada. Kita lupa berbuat baik. Kita terjangkit apa yang teman saya juluki “sindroma orang termalang sedunia” – kita pikir hidup ini penuh masalah, bukan rahmat.
Jadi berikut tips dari Pak Arif: mulai dari bangun, ingat Tuhan (atau ingat Cinta, ingat sekelumit keagungan dalam diri ini), bersyukur atas segala nikmat (termasuk yang sering terlewatkan seperti penglihatan dan pendengaran), minta perlindungan Tuhan, tanya kepada Tuhan apa rencana-Nya dan apa yang harus kita lakukan. Tutup doa dengan rasa syukur, sadari betapa banyaknya nikmat yang kita terima selama hidup kita.
Sehingga hidup ini menjadi tertuntun dan kita dapat berfungsi sebagaimana mestinya: rahmatan lil alamin, rahmat sebagai semesta alam.
Catatan lengkap bisa di-download di sini.
Sudah lama juga saya tidak mengikuti pengajian dengan Pak Arif. Saya hampir lupa betapa praktisnya ajaran yang beliau sampaikan dan betapa “biasa”-nya dia.
Topik malam ini adalah doa. Dimulai dari pertanyaan seorang peserta tentang bagaimana caranya agar kita gak kena akibat negatif dari doa kita sendiri. Pak Arif bilang, doa yang benar tidak akan seperti itu.
Qur’an berujar bahwa “semua urusan diikembalikan kepada Allah” (misalnya di 3:109). Quran said that “all things go back to God [as their source]” (for instance in 3:109). Apakah kita benar-benar sudah mengembalikan apa yang kita ‘miliki’ atau kita kerjakan kepada-Nya? Kalau saya, kayaknya belum. Kita berdoa untuk apa yang kita inginkan, untuk hal-hal yang menurut kita baik buat kita.
Kita kerap lupa bahwa masing-masing dari kita ada di dunia dengan peran dan fungsi khusus. Kita lupa Tuhan punya rencana besar. Kita lupa bertanya kepada-Nya, jadi apa rencana-Mu dan apa yang bisa saya lakukan?
Kita lupa untuk menjalankan perintah Tuhan, menjauhi larangan-NYa, atau bisa juga dikatakan hukum alam, hukum karma yang ada. Kita lupa berbuat baik. Kita terjangkit apa yang teman saya juluki “sindroma orang termalang sedunia” – kita pikir hidup ini penuh masalah, bukan rahmat.
Jadi berikut tips dari Pak Arif: mulai dari bangun, ingat Tuhan (atau ingat Cinta, ingat sekelumit keagungan dalam diri ini), bersyukur atas segala nikmat (termasuk yang sering terlewatkan seperti penglihatan dan pendengaran), minta perlindungan Tuhan, tanya kepada Tuhan apa rencana-Nya dan apa yang harus kita lakukan. Tutup doa dengan rasa syukur, sadari betapa banyaknya nikmat yang kita terima selama hidup kita.
Sehingga hidup ini menjadi tertuntun dan kita dapat berfungsi sebagaimana mestinya: rahmatan lil alamin, rahmat sebagai semesta alam.
Catatan lengkap bisa di-download di sini.
Monday, April 07, 2008
Tapi bagaimana kalau..
[English]
Perbincangan dengan seorang rekan kerja.
Rekan: Siapa yang melakukan fungsi A di dalam suatu acara?
Saya: Khan ada Rekan B.
Rekan: Tapi bagaimana kalau dia sakit dan tidak masuk?
Saya: Ada saya. Saya bisa melakukannya juga.
Rekan: Iya, tapi bagaimana kalau kamu juga tidak masuk?
Saya: Lha, saya khan sudah cadangan. Butuh cadangan berapa sih?
Walau terasa lucu, perbincangan seperti ini kerap terjadi, padamu, dan tentunya pada saya. Kita terus didera rasa khawatir akan hal-hal yang berbau hipotesis, mungkin terjadi walau belum pasti.
Di dunia yang penuh dengan "mungkin" atau "bagaimana kalau", kita akhirnya memutuskan untuk tetap berada di zona nyaman kita dan mengambil berbagai langkah pengamanan. Mungkin terlalu banyak.
Kemudian kita mengeluh tentang hidup kita. Kita merasa terjebak dalam kondisi ini dan tidak dapat berkutik kemana pun, tanpa ada pilihan lain. Hm.
Kita berusaha untuk tidak mengambil langkah-langkah berani dalam hidup. Langkah yang mungkin saja membantu kita mewujudkan potensi kita dan menjalankan fungsi kita yang sebenarnya dalam kehidupan ini.
Mungkin hanya orang-orang yang disebut para maverick yang dapat bertindak lain. Mungkin. Pada waktunya nanti.
Untung Tuhan Maha Sabar. Dengan segala potensi dan keajaiban yang telah Dia ciptakan dengan begitu hati-hati dan telah kita abaikan, atas nama keamanan. Kalau saja kita tahu.
Perbincangan dengan seorang rekan kerja.
Rekan: Siapa yang melakukan fungsi A di dalam suatu acara?
Saya: Khan ada Rekan B.
Rekan: Tapi bagaimana kalau dia sakit dan tidak masuk?
Saya: Ada saya. Saya bisa melakukannya juga.
Rekan: Iya, tapi bagaimana kalau kamu juga tidak masuk?
Saya: Lha, saya khan sudah cadangan. Butuh cadangan berapa sih?
Walau terasa lucu, perbincangan seperti ini kerap terjadi, padamu, dan tentunya pada saya. Kita terus didera rasa khawatir akan hal-hal yang berbau hipotesis, mungkin terjadi walau belum pasti.
Di dunia yang penuh dengan "mungkin" atau "bagaimana kalau", kita akhirnya memutuskan untuk tetap berada di zona nyaman kita dan mengambil berbagai langkah pengamanan. Mungkin terlalu banyak.
Kemudian kita mengeluh tentang hidup kita. Kita merasa terjebak dalam kondisi ini dan tidak dapat berkutik kemana pun, tanpa ada pilihan lain. Hm.
Kita berusaha untuk tidak mengambil langkah-langkah berani dalam hidup. Langkah yang mungkin saja membantu kita mewujudkan potensi kita dan menjalankan fungsi kita yang sebenarnya dalam kehidupan ini.
Mungkin hanya orang-orang yang disebut para maverick yang dapat bertindak lain. Mungkin. Pada waktunya nanti.
Untung Tuhan Maha Sabar. Dengan segala potensi dan keajaiban yang telah Dia ciptakan dengan begitu hati-hati dan telah kita abaikan, atas nama keamanan. Kalau saja kita tahu.
Wednesday, April 02, 2008
Kemewahan untuk memilih
[English]
Orang sering bilang saya beruntung, karena saya bisa melakukan beberapa hal, banyak hal. Saya merasa saya terberkati, seperti halnya semua orang di dunia ini.
Bukan hanya karena saya memiliki kemewahan akan pilihan. Tapi juga kemewahan untuk memiliki keberanian memilih dan menerima akibatnya.
Saya rasa ini yang suka hilang dari banyak orang. Kita kerap mengatakan kita tidak memiliki pilihan. Pemikiran yang sering membawa kita ke jalan yang serba terbatas.
Saya benar-benar percaya bahwa kita selalu memiliki pilihan. Masalah ketajaman kita untuk mendeteksinya, keberanian untuk memilihnya, dan integritas untuk menjalani konsekuensinya.
Baru beberapa minggu belakangan ini saya menyadari dari mana asal kepercayaan ini. Saat saya sedang pergi dan ngobrol dengan seorang teman yang luar biasa.
Dia berujar, "Kamu beruntung kamu punya orang tua yang membesarkanmu dengan kepercayaan seperti itu." Dia benar.
Bapak saya, betapapun mengesalkannya dia ketika saya kecil *becanda, pa*, bersama dengan ibu saya yang penuh cinta itu telah membiarkan saya tumbuh sesuai dengan keinginan saya, mencoba (hampir) semua hal yang ingin saya coba, dan merasakan konsekuensinya.
Saya punya pilihan. Saya memilih. Anda pun punya. Anda pun bisa.
Saya pernah membuat keputusan yang baik, pernah pula yang kurang menyenangkan. Tapi tak apa. Saya telah belajar dari pengalaman itu. Hidup yang penuh eksperimen ini telah membantu saya untuk melihat, untuk percaya bahwa saya selalu memiliki pilihan, masing-masing dengan konsekuensinya.
Konsekuensi yang saya berani terima karena saya tahu konsekuensi itu dapat membuat saya melompat jauh. Hingga ke tempat saya berada hari ini. Ke tempat dimana saya bisa berada di masa datang.
Dan untuk itu, saya berterima kasih pada Bapak dan Ibu saya. Terima kasih. Puji Syukur. Setiap hari, ada saja hal baru yang saya sadari: semua hal yang Bapak dan Ibu telah lakukan kepada saya, untuk saya. Luar biasa.
Orang sering bilang saya beruntung, karena saya bisa melakukan beberapa hal, banyak hal. Saya merasa saya terberkati, seperti halnya semua orang di dunia ini.
Bukan hanya karena saya memiliki kemewahan akan pilihan. Tapi juga kemewahan untuk memiliki keberanian memilih dan menerima akibatnya.
Saya rasa ini yang suka hilang dari banyak orang. Kita kerap mengatakan kita tidak memiliki pilihan. Pemikiran yang sering membawa kita ke jalan yang serba terbatas.
Saya benar-benar percaya bahwa kita selalu memiliki pilihan. Masalah ketajaman kita untuk mendeteksinya, keberanian untuk memilihnya, dan integritas untuk menjalani konsekuensinya.
Baru beberapa minggu belakangan ini saya menyadari dari mana asal kepercayaan ini. Saat saya sedang pergi dan ngobrol dengan seorang teman yang luar biasa.
Dia berujar, "Kamu beruntung kamu punya orang tua yang membesarkanmu dengan kepercayaan seperti itu." Dia benar.
Bapak saya, betapapun mengesalkannya dia ketika saya kecil *becanda, pa*, bersama dengan ibu saya yang penuh cinta itu telah membiarkan saya tumbuh sesuai dengan keinginan saya, mencoba (hampir) semua hal yang ingin saya coba, dan merasakan konsekuensinya.
Saya punya pilihan. Saya memilih. Anda pun punya. Anda pun bisa.
Saya pernah membuat keputusan yang baik, pernah pula yang kurang menyenangkan. Tapi tak apa. Saya telah belajar dari pengalaman itu. Hidup yang penuh eksperimen ini telah membantu saya untuk melihat, untuk percaya bahwa saya selalu memiliki pilihan, masing-masing dengan konsekuensinya.
Konsekuensi yang saya berani terima karena saya tahu konsekuensi itu dapat membuat saya melompat jauh. Hingga ke tempat saya berada hari ini. Ke tempat dimana saya bisa berada di masa datang.
Dan untuk itu, saya berterima kasih pada Bapak dan Ibu saya. Terima kasih. Puji Syukur. Setiap hari, ada saja hal baru yang saya sadari: semua hal yang Bapak dan Ibu telah lakukan kepada saya, untuk saya. Luar biasa.
Lihat sekitar, lihat ke bawah
[English]
Kejadian pertama
“Nih dia nih, banyak ilmu tapi pelit.” Komentar selewatan dari seorang teman. Dia memiliki sebuah yayasan pendidikan anak. Komentar itu ditujukan pada saya ketika kami berada di kantor yayasannya.
Apa saya memang sepelit itu? Apa memang saya demikian kaya ilmu untuk dibagi?
Kejadian kedua
Sebuah formulir yang harus saya isi. Salah satu pertanyaannya berujar: "tanya pada sahabat Anda apa kelemahan utama Anda." Kata tiga teman saya: kebanyakan mikir, terlalu santai, dan kurang percaya diri. Wah, apa benar?
.Hm.
Kejadian ketiga
Spanduk besar di Toko Djoger Bali.
Mau sejelas apa lagi pesannya?
Kita (terlalu) sering berpikir bahwa kita bukan siapa-siapa. Kita selalu melihat ke atas, tidak pernah ke bawah. Saya hanya pemula. Saya masih harus belajar banyak. Masih beribu hal yang perlu saya kejar.
Kita menyepelekan pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang telah kita teguk selama hidup kita, selama masa pendidikan kita, selama masa kerja kita. Kita terus haus akan lebih banyak ilmu, pengalaman, dan kekayaan.
Jarang kita sadari bahwa kebanyakan orang di berbagai daerah tidak pernah mengenyam pendidikan dasar sekalipun, tidak punya cukup pangan untuk sekedar hidup, tidak pernah berkelana di luar desa/kotanya. Betapa tidak pedulinya kita. Betapa tidak pedulinya saya.
Pandangan seperti ini memberikan rasa palsu dalam diri bahwa kita memiliki hak untuk terus menerima. Kita lupa untuk memberi, untuk berbagi. Kita lupa bahwa bahkan hal sepele bagi kita merupakan hal besar bagi orang lain.
Jadi mungkin saya memang pelit. Saya terlalu banyak mikir. Saya tidak melakukan cukup banyak hal, terlalu santai. Saya tidak menyadari kemampuan saya. Saya kerap melihat ke atas, dan jarang ke bawah.
Bagaimana pun, telah tiba saat untuk memberi, untuk berbagi.
.Mulailah melakukan sesuatu. Apa pun itu.
Kejadian pertama
“Nih dia nih, banyak ilmu tapi pelit.” Komentar selewatan dari seorang teman. Dia memiliki sebuah yayasan pendidikan anak. Komentar itu ditujukan pada saya ketika kami berada di kantor yayasannya.
Apa saya memang sepelit itu? Apa memang saya demikian kaya ilmu untuk dibagi?
Kejadian kedua
Sebuah formulir yang harus saya isi. Salah satu pertanyaannya berujar: "tanya pada sahabat Anda apa kelemahan utama Anda." Kata tiga teman saya: kebanyakan mikir, terlalu santai, dan kurang percaya diri. Wah, apa benar?
.Hm.
Kejadian ketiga
Spanduk besar di Toko Djoger Bali.
Mau sejelas apa lagi pesannya?
Kita (terlalu) sering berpikir bahwa kita bukan siapa-siapa. Kita selalu melihat ke atas, tidak pernah ke bawah. Saya hanya pemula. Saya masih harus belajar banyak. Masih beribu hal yang perlu saya kejar.
Kita menyepelekan pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman yang telah kita teguk selama hidup kita, selama masa pendidikan kita, selama masa kerja kita. Kita terus haus akan lebih banyak ilmu, pengalaman, dan kekayaan.
Jarang kita sadari bahwa kebanyakan orang di berbagai daerah tidak pernah mengenyam pendidikan dasar sekalipun, tidak punya cukup pangan untuk sekedar hidup, tidak pernah berkelana di luar desa/kotanya. Betapa tidak pedulinya kita. Betapa tidak pedulinya saya.
Pandangan seperti ini memberikan rasa palsu dalam diri bahwa kita memiliki hak untuk terus menerima. Kita lupa untuk memberi, untuk berbagi. Kita lupa bahwa bahkan hal sepele bagi kita merupakan hal besar bagi orang lain.
Jadi mungkin saya memang pelit. Saya terlalu banyak mikir. Saya tidak melakukan cukup banyak hal, terlalu santai. Saya tidak menyadari kemampuan saya. Saya kerap melihat ke atas, dan jarang ke bawah.
Bagaimana pun, telah tiba saat untuk memberi, untuk berbagi.
.Mulailah melakukan sesuatu. Apa pun itu.
Pemberian
[English]
Tepat satu tahun yang lalu, seorang teman/guru/penyelia saya meninggal dunia. Pak Mustafa Alatas.
Minggu lalu anak perempuannya--teman saya tersayang yang lain--menelepon saya, mengajak untuk ngopi. Dia mau memberikan saya sebuah buku kecil dan CD. Kompilasi koleksi tulisan serta musik almarhum Bapaknya yang demikian cantik.
Suatu inisiatif yang begitu indah.
Pak Mus, Bapak sudah berhasil membesarkan anak Bapak. Dia begitu memikirkan orang lain, tulus dan baik.
Hal terindah yang dapat diberikan seorang ayah kepada anaknya.
Tepat satu tahun yang lalu, seorang teman/guru/penyelia saya meninggal dunia. Pak Mustafa Alatas.
Minggu lalu anak perempuannya--teman saya tersayang yang lain--menelepon saya, mengajak untuk ngopi. Dia mau memberikan saya sebuah buku kecil dan CD. Kompilasi koleksi tulisan serta musik almarhum Bapaknya yang demikian cantik.
Suatu inisiatif yang begitu indah.
Pak Mus, Bapak sudah berhasil membesarkan anak Bapak. Dia begitu memikirkan orang lain, tulus dan baik.
Hal terindah yang dapat diberikan seorang ayah kepada anaknya.
Subscribe to:
Posts (Atom)