**** SPOILER WARNING ****
for one more day; buku terbaru dari Mitch Albom, yang sebelumnya ngetop dengan buku Tuesdays with Morrie.
Seperti biasa, gaya bertutur Mitch Albom sangat sederhana dan sensitif. Saya rasa kebanyakan penggemarnya adalah perempuan.
Saya tidak tau, apakah karena jalan ceritanya atau topik yang ia angkat dalam buku ini. Seorang anak yang bertemu dengan ibunya yang sudah meninggal. Buku ini membuat saya menempatkan diri saya di karakter cerita itu, dan membayangkan almarhum Bapak, atau bahkan membayangkan Ibu dengan segala keajaiban yang ia lakukan tiap hari namun tak saya sadari.
Saya rasa topiknya yang begitu dekat dengan hati, yang membuat saya berkilas balik. Begitu banyak suka duka hidup orangtua saya yang tidak saya tahu, segala yang mereka lakukan untuk menyediakan makan dan menyekolahkan saya. Bagaimana mereka begitu bangga melihat segala 'keberhasilan' saya. Bagaimana kita masih tetap merindukan ibu di kala kita sakit atau berduka, berapa pun umur kita sekarang.
Topiknya sangat menyentuh. Namun kalau dari sudut cerita dan cara bertutur, saya tetap masih lebih menyukai Tuesdays with Morrie.
-Love you mom, love you pop. Dan saya minta maaf. Benar-benar minta maaf. Walau saya tahu mama dan papa pasti sudah memaafkan saya, sebelum saya minta maaf sekalipun.-
Wednesday, February 28, 2007
Setiap hari bersama Rumi
Tuesday, February 20, 2007
Semoga cepat sembuh. Tetap tawakal
Teman-teman saya dan saya mengunjungi teman kami yang lain. Anak perempuannya sedang dirawat di unit high-care sebuah rumah sakit.
Anaknya masih muda. 12 tahun. Waktu itu dia lagi gak enak badan tapi keukeuh mau pergi bareng teman-temannya untuk jurit malam. Waktu pulang, dia tambah tidak enak badan. Karena semakin parah, ia dibawa ke rumah sakit. Sempat koma. Berat badannnya turun drastis. 12 tahun. SMP.
Sekarang dia sudah mulai siuman, tetapi tubuhnya masih kaku. Dia masih belum bisa berbicara. Ia tampak lemah dan kurus.
Kami tinggal beberapa lama di rumah sakit, mencoba untuk meringankan beban orang tuannya--teman kami. Kemudian kami pulang. Gak tau mesti ngomong apa.
Siang ini, ia mengirim e-mail. Saya ingin share dengan teman-teman di sini. Nama perusahaan saya saya hapus--entah kenapa:
"Ibu, kami mohon di sampaikan rasa terimakasih kami yang sangat besar, kepada pimpinan perusahaan di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, beserta seluruh staff-staffnya yang tidak saya sebutkan namanya satu persatu yang telah turut berpartisipasi.
Kami Sekeluaga sangat terharu atas partisipasinya yang berupa bantuan uang dan tentunya ini sangat membantu meringankan beban kami dan do’a dari seluruhnya dapat membantu proses penyembuhan anak kami. Kami Sangat bangga atas kunjungan teman-teman kantor menjenguk anak kami oleh Ibu Nelly, Mba’ Rosanah, Nba’ Novi, Mba’ Eva dan Mba’ Ayu. Kepada Seluruh Team dan Pimpinan perusahaan semoga tidak melupakan kami walaupun kami tidak bekerja di sana lagi dan tetap menjalin komunikasi.
Anda gak kenal sama teman saya. Anda juga tidak dapat membayangkan keadaan anaknya yang tergeletak lemah di rumah sakit (dan senyum tabah istrinya (masya allah senyum tabah itu, bening sekali) serta sikap damai teman saya).
Tapi saya yakin Anda bisa merasakan ketulusan, kesedihan dan rasa syukur yang tersurat serta tersirat dalam suratnya di atas. Kesedihan dan rasa syukur--dua kata yang jarang diletakkan berdampingan dalam satu kalimat.
Kalau boleh saya minta tolong, doakan teman saya, anak perempuannya, dan keluarganya. Tuhan memberkati.
Anaknya masih muda. 12 tahun. Waktu itu dia lagi gak enak badan tapi keukeuh mau pergi bareng teman-temannya untuk jurit malam. Waktu pulang, dia tambah tidak enak badan. Karena semakin parah, ia dibawa ke rumah sakit. Sempat koma. Berat badannnya turun drastis. 12 tahun. SMP.
Sekarang dia sudah mulai siuman, tetapi tubuhnya masih kaku. Dia masih belum bisa berbicara. Ia tampak lemah dan kurus.
Kami tinggal beberapa lama di rumah sakit, mencoba untuk meringankan beban orang tuannya--teman kami. Kemudian kami pulang. Gak tau mesti ngomong apa.
Siang ini, ia mengirim e-mail. Saya ingin share dengan teman-teman di sini. Nama perusahaan saya saya hapus--entah kenapa:
"Ibu, kami mohon di sampaikan rasa terimakasih kami yang sangat besar, kepada pimpinan perusahaan di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, beserta seluruh staff-staffnya yang tidak saya sebutkan namanya satu persatu yang telah turut berpartisipasi.
Kami Sekeluaga sangat terharu atas partisipasinya yang berupa bantuan uang dan tentunya ini sangat membantu meringankan beban kami dan do’a dari seluruhnya dapat membantu proses penyembuhan anak kami. Kami Sangat bangga atas kunjungan teman-teman kantor menjenguk anak kami oleh Ibu Nelly, Mba’ Rosanah, Nba’ Novi, Mba’ Eva dan Mba’ Ayu. Kepada Seluruh Team dan Pimpinan perusahaan semoga tidak melupakan kami walaupun kami tidak bekerja di sana lagi dan tetap menjalin komunikasi.
Anda gak kenal sama teman saya. Anda juga tidak dapat membayangkan keadaan anaknya yang tergeletak lemah di rumah sakit (dan senyum tabah istrinya (masya allah senyum tabah itu, bening sekali) serta sikap damai teman saya).
Tapi saya yakin Anda bisa merasakan ketulusan, kesedihan dan rasa syukur yang tersurat serta tersirat dalam suratnya di atas. Kesedihan dan rasa syukur--dua kata yang jarang diletakkan berdampingan dalam satu kalimat.
Kalau boleh saya minta tolong, doakan teman saya, anak perempuannya, dan keluarganya. Tuhan memberkati.
Sunday, February 18, 2007
Aksa Mahmud
Jumat lalu saya sedang mendengarkan radio Trijaya FM. Mereka tengah mewawancarai Aksa Mahmud. Beliau terdengar idealis, sederhana dan rendah hati.
Saya ingat, beberapa tahun lalu, saya pernah membuatkan company profile buat Grup perusahaannya. Waktu ngobrol dengan Pak Aksa, beliau juga terdengar idealis, sederhana dan rendah hati.
Satu pernyataan beliau yang saya ingat adalah ketika kami sedang ngobrolin tentang kegiatan sosial perusahaannya. "Sudahlah, kita fokus aja pada kegiatan bisnis, gak usah ngomongin tentang kegiatan sosial. Itu khan riya'." Waktu itu, saya cukup kagum.
Saya harap beliau tetap seperti itu dan benar-benar menerapkan hal ini dalam setiap hari kehidupannya, termasuk ketika beliau sedang berpolitik. Saya juga berharap semakin banyak orang seperti itu.
Saya ingat, beberapa tahun lalu, saya pernah membuatkan company profile buat Grup perusahaannya. Waktu ngobrol dengan Pak Aksa, beliau juga terdengar idealis, sederhana dan rendah hati.
Satu pernyataan beliau yang saya ingat adalah ketika kami sedang ngobrolin tentang kegiatan sosial perusahaannya. "Sudahlah, kita fokus aja pada kegiatan bisnis, gak usah ngomongin tentang kegiatan sosial. Itu khan riya'." Waktu itu, saya cukup kagum.
Saya harap beliau tetap seperti itu dan benar-benar menerapkan hal ini dalam setiap hari kehidupannya, termasuk ketika beliau sedang berpolitik. Saya juga berharap semakin banyak orang seperti itu.
Tuesday, February 13, 2007
FEMALOGRAPHY, 23 Feb-11 Mar, Jakarta
FEMALOGRAPHY: Sebuah pameran foto internasional karya Jerry Aurum, 23 Feb - 11 Mar di Senayan City, Lantai dasar.
Menampilkan gambar-gambar konseptual dari cool females: Rachel Maryam, Dian Sastro, Dinna Olivia, Aline, Endhita, Adella Aletta, Sausan, Sarah Sechan, VJ Cathy, Indah Kalalo dan masih banyak lagi.
Yuuk.
Menampilkan gambar-gambar konseptual dari cool females: Rachel Maryam, Dian Sastro, Dinna Olivia, Aline, Endhita, Adella Aletta, Sausan, Sarah Sechan, VJ Cathy, Indah Kalalo dan masih banyak lagi.
Yuuk.
Sunday, February 11, 2007
Mati sebelum mati
Setiap tangan yang rajin serta konsisten memberi, entah dari mana datangnya energi, tiba-tiba saja seperti ada yang mengirimi serangkaian kepekaan. Ia terhubung secara mudah dengan jejaring makna. Sehingga dalam hampir setiap langkah, ia dibimbing, diberitahu, diarahkan serta dilindungi.
Dalam teropong makna yang lain, ada sahabat yang menyebut kelompok manusia seperti ini dengan manusia yang sudah mati sebelum mati.
Sebelum tubuhnya disebut mati secara medis, ada kematian lain yang sudah menjemputnya terlebih dahulu. Yakni kematian manusia dari ego, aku, subyek, dan identitas sombong serta angkuh lainnya. Pengetahuan dan bahasa memang mengenal subyek dan obyek.
Logika-logika pengetahuan tertentu juga menempatkan manusia dalam posisi mengetahui, dan selain manusia didudukkan dalam kursi diketahui.
Namun, kehidupan yang sudah mati sebelum mati tidak mengenal identitas subyek dan obyek, tidak ada kotak mengetahui diketahui, yang ada hanya sebuah jejaring makna. Di mana semuanya terhubung demikian rapinya.
Dalam bahasa salah seorang pejalan kaki di bidang ini: when I discovered that I am nothing, I am well connected with everything .
-Gde Prama-
Diambil dari: http://www.mail-archive.com/wismamas@yahoogroups.com/msg00232.html
Dalam teropong makna yang lain, ada sahabat yang menyebut kelompok manusia seperti ini dengan manusia yang sudah mati sebelum mati.
Sebelum tubuhnya disebut mati secara medis, ada kematian lain yang sudah menjemputnya terlebih dahulu. Yakni kematian manusia dari ego, aku, subyek, dan identitas sombong serta angkuh lainnya. Pengetahuan dan bahasa memang mengenal subyek dan obyek.
Logika-logika pengetahuan tertentu juga menempatkan manusia dalam posisi mengetahui, dan selain manusia didudukkan dalam kursi diketahui.
Namun, kehidupan yang sudah mati sebelum mati tidak mengenal identitas subyek dan obyek, tidak ada kotak mengetahui diketahui, yang ada hanya sebuah jejaring makna. Di mana semuanya terhubung demikian rapinya.
Dalam bahasa salah seorang pejalan kaki di bidang ini: when I discovered that I am nothing, I am well connected with everything .
-Gde Prama-
Diambil dari: http://www.mail-archive.com/wismamas@yahoogroups.com/msg00232.html
Saturday, February 10, 2007
Lupa
Langit biru Jakarta dua hari ini telah membuatku lupa.
Lupa kalau masih ada daerah yang kebanjiran di Jakarta. Bahwa masih banyak korban banjir yang udah gak punya rumah lagi, gak punya baju lagi, dan gak tau mesti bagaimana lagi. Lupa kalau kita tetap harus mikir gimana caranya supaya banjir yang menyedihkan ini tidak terjadi lagi.
Untuk kebanyakan orang di Jakarta, hidup sudah berjalan 'normal' kembali. Untungnya atau sayangnya?
Lupa kalau masih ada daerah yang kebanjiran di Jakarta. Bahwa masih banyak korban banjir yang udah gak punya rumah lagi, gak punya baju lagi, dan gak tau mesti bagaimana lagi. Lupa kalau kita tetap harus mikir gimana caranya supaya banjir yang menyedihkan ini tidak terjadi lagi.
Untuk kebanyakan orang di Jakarta, hidup sudah berjalan 'normal' kembali. Untungnya atau sayangnya?
Thursday, February 08, 2007
Perjalanan terpanjang dalam hidup
Adalah perjalanan dari kepala menuju hati kita.
Indah sekali ya? Saya langsung mencatatnya ketika saya menonton acara di Discovery.
Perjalanan untuk menggerakkan cara pikir dari logika menuju perasaan. Perjalanan untuk belajar bagaimana menapaki hidup menggunakan intuisi dan kemawasan diri. Pembelajaran bagaimana cara menggunakan tidak hanya mata yang ada di kepala, tetapi juga mata hati.
Dan saya setuju banget, perjalanan ini emang cukup panjang. Seberapa banyak sih dari kita yang cukup berani untuk percaya sama instink kita dan hidup tanpa berpikir macam-macam. Akankah kita menjadi berani? Kapan sebenarnya kita kehilangan keberanian untuk bermimpi dan bersikap spontan, dan menjadi lebih 'pragmatis' dan 'realistis'.
Kita bilang, ah kita khan sekarang sudah dewasa. Sudah tumbuh. Mungkin kita tumbuh ke arah yang salah. Ke sana harusnya, bukan ke sini. Ya gak sih?
Indah sekali ya? Saya langsung mencatatnya ketika saya menonton acara di Discovery.
Perjalanan untuk menggerakkan cara pikir dari logika menuju perasaan. Perjalanan untuk belajar bagaimana menapaki hidup menggunakan intuisi dan kemawasan diri. Pembelajaran bagaimana cara menggunakan tidak hanya mata yang ada di kepala, tetapi juga mata hati.
Dan saya setuju banget, perjalanan ini emang cukup panjang. Seberapa banyak sih dari kita yang cukup berani untuk percaya sama instink kita dan hidup tanpa berpikir macam-macam. Akankah kita menjadi berani? Kapan sebenarnya kita kehilangan keberanian untuk bermimpi dan bersikap spontan, dan menjadi lebih 'pragmatis' dan 'realistis'.
Kita bilang, ah kita khan sekarang sudah dewasa. Sudah tumbuh. Mungkin kita tumbuh ke arah yang salah. Ke sana harusnya, bukan ke sini. Ya gak sih?
Re-uni: bersatu kembali untuk kebaikan
Kakak saya baru-baru ini datang ke reuni perak SMA-nya (kebayang donk umurnya ;) ) Mereka mengundang guru-gurunya. Dua ratus lebih mantan siswa dan 34 guru datang.
Mereka menyewa silver bird untuk menjemput setiap guru itu. Mereka menyediakan donasi bagi guru-gurunya (yang kita tahu kesejahteraan mereka tidak setimpal dengan jasa mereka). Mereka menyambut guru-guru ini layaknya pahlawan. Well, mereka memang pahlawan kita sebenarnya.
Para siswa dan guru menyatu. Makan-makan, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketiwi, bernyanyi dan menari bareng. Saya gak bisa membayangkan betapa indahnya waktu itu - terutama bagi para guru -- pahlawan yang sering terlupakan dalam kehidupan kita.
Alumni SMA kakak saya itu emang mengagumkan. Mereka berkumpul setiap dua bulan - pengajian, kebaktian, silaturahmi, olahraga bareng dan bahkan jalan-jalan keluar kota bareng.
Mereka ngumpulin iuran suka rela. Setengah untuk membiayai kegiatan alumni, sebagian lagi untuk kegiatan sosial. Kegiatan sosialnya mencakup beasiswa untuk adik-adik yang masih di SMA itu dan beasiswa untuk anak-anak teman-teman seangkatan mereka yang membutuhkan bantuan. Beberapa menjadi tenaga pengajar relawan di SMA-nya.
Kalau saja setiap komunitas kecil kita bisa berkumpul dan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat sekitarnya. Sebenarnya ini gak susah-susah amat lho ya.
Saya cuma ngomong di sini. Saya hanya berbicara, sedangkan mereka sudah melakukan. Melakukan tindakan nyata. Duh, gak ada apa-apanya saya ini dibanding mereka. Salut.
Mereka menyewa silver bird untuk menjemput setiap guru itu. Mereka menyediakan donasi bagi guru-gurunya (yang kita tahu kesejahteraan mereka tidak setimpal dengan jasa mereka). Mereka menyambut guru-guru ini layaknya pahlawan. Well, mereka memang pahlawan kita sebenarnya.
Para siswa dan guru menyatu. Makan-makan, ngobrol-ngobrol, ketawa-ketiwi, bernyanyi dan menari bareng. Saya gak bisa membayangkan betapa indahnya waktu itu - terutama bagi para guru -- pahlawan yang sering terlupakan dalam kehidupan kita.
Alumni SMA kakak saya itu emang mengagumkan. Mereka berkumpul setiap dua bulan - pengajian, kebaktian, silaturahmi, olahraga bareng dan bahkan jalan-jalan keluar kota bareng.
Mereka ngumpulin iuran suka rela. Setengah untuk membiayai kegiatan alumni, sebagian lagi untuk kegiatan sosial. Kegiatan sosialnya mencakup beasiswa untuk adik-adik yang masih di SMA itu dan beasiswa untuk anak-anak teman-teman seangkatan mereka yang membutuhkan bantuan. Beberapa menjadi tenaga pengajar relawan di SMA-nya.
Kalau saja setiap komunitas kecil kita bisa berkumpul dan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat sekitarnya. Sebenarnya ini gak susah-susah amat lho ya.
Saya cuma ngomong di sini. Saya hanya berbicara, sedangkan mereka sudah melakukan. Melakukan tindakan nyata. Duh, gak ada apa-apanya saya ini dibanding mereka. Salut.
Kembali ke kebiasaan lama?
Saya bercerita ke seorang teman tentang pekerjaan saya sekarang. Dia cukup terkejut dan bilang "wah, selamat datang kembali ya, Eva. Yakin loe mau balik lagi ke kehidupan masa lalu?" Saya bertanya kehidupan yang mana. Dia bilang pada saat-saat saya sibuk mengerjakan printilan kecil-kecil.
Teman saya salah paham. (moga-moga). Soalnya printilan itu bukanlah masalah saya. Yang dulu menjadi masalah adalah bahwa saya itu gak ngerti kemana hidup saya ini akan mengarah. Saya gak ngerti untuk apa saya ini hidup. Masalahnya adalah saya terlalu sibuk sama hal-hal kecil dan khawatir sama hal-hal yang gak penting, sampai-sampai saya lupa sama gambaran yang lebih umum, tujuan yang lebih besar. Masalahnya saya menjadi seorang perfectionist dalam pekerjaan dan berusaha terlalu keras untuk tetap gaul sama terlalu banyak orang.
Sekarang, paling sedikit saya merasa, sudah berbeda. Waktu kerja saya adalah jam delapan pagi sampe jam lima sore. Selain itu, saya pakai untuk keluarga, teman dan diri sendiri. Kerja boleh menyita waktu saya, tapi bukan jiwa saya. Jiwa saya harus tetap berada di tempatnya -- di titik sentral dalam kehidupan saya.
Jangan salah sangka dulu. Saya tetap aja dengan standar saya yang tinggi itu. Saya berikan yang terbaik dan saya tetap meminta orang lain untuk memberikan yang terbaik, tapi ya sampai di situ saja. Tidak terobsesi. Saya 'melepaskan' banyak hal. Saya gak terlalu merasa terbeban lagi.
Dan saya udah merasa punya arah. Fungsi saya dalam masyarakat. Untuk pembangunan negara ini. Untuk perbaikan manusia yang ada di dalamnya. Saya baru mulai dan belum ada apa-apanya. Tapi minimal saya merasa ada di arah yang benar (amin).
Masa kanak-kanak dan sekolah saya telah membentuk sikap dasar saya. Tujuh tahun bekerja sebagai konsultan telah mengasah ketrampilan dan memberikan pengalaman nyata. Satu tahun sabbatical saya itu khusus untuk jiwa saya. Setelah tahun sebagai freelance telah secara lembut melandaskan kembali saya ke kehidupan kerja lagi. Semua mengarah ke kehidupan saya sekarang.
Saya sudah siap untuk tahap kehidupan saya sekarang ini. Dan rasa terima kasih tak terhingga kepada semua guru dan teman saya selama ini.
Teman saya yang berkomentar tadi salah paham (moga-moga). Saya tidak kembali ke kehidupan saya sebelumnya. Tidak berputar secara penuh. Lebih seperti spiral. Dalam beberapa hal, saya berada di titik yang sama, tapi tidak benar-benar begitu.
Satu-satunya putaran penuh yang saya inginkan, hanyalah ketika saya kembali kepada Tuhan.
Teman saya salah paham. (moga-moga). Soalnya printilan itu bukanlah masalah saya. Yang dulu menjadi masalah adalah bahwa saya itu gak ngerti kemana hidup saya ini akan mengarah. Saya gak ngerti untuk apa saya ini hidup. Masalahnya adalah saya terlalu sibuk sama hal-hal kecil dan khawatir sama hal-hal yang gak penting, sampai-sampai saya lupa sama gambaran yang lebih umum, tujuan yang lebih besar. Masalahnya saya menjadi seorang perfectionist dalam pekerjaan dan berusaha terlalu keras untuk tetap gaul sama terlalu banyak orang.
Sekarang, paling sedikit saya merasa, sudah berbeda. Waktu kerja saya adalah jam delapan pagi sampe jam lima sore. Selain itu, saya pakai untuk keluarga, teman dan diri sendiri. Kerja boleh menyita waktu saya, tapi bukan jiwa saya. Jiwa saya harus tetap berada di tempatnya -- di titik sentral dalam kehidupan saya.
Jangan salah sangka dulu. Saya tetap aja dengan standar saya yang tinggi itu. Saya berikan yang terbaik dan saya tetap meminta orang lain untuk memberikan yang terbaik, tapi ya sampai di situ saja. Tidak terobsesi. Saya 'melepaskan' banyak hal. Saya gak terlalu merasa terbeban lagi.
Dan saya udah merasa punya arah. Fungsi saya dalam masyarakat. Untuk pembangunan negara ini. Untuk perbaikan manusia yang ada di dalamnya. Saya baru mulai dan belum ada apa-apanya. Tapi minimal saya merasa ada di arah yang benar (amin).
Masa kanak-kanak dan sekolah saya telah membentuk sikap dasar saya. Tujuh tahun bekerja sebagai konsultan telah mengasah ketrampilan dan memberikan pengalaman nyata. Satu tahun sabbatical saya itu khusus untuk jiwa saya. Setelah tahun sebagai freelance telah secara lembut melandaskan kembali saya ke kehidupan kerja lagi. Semua mengarah ke kehidupan saya sekarang.
Saya sudah siap untuk tahap kehidupan saya sekarang ini. Dan rasa terima kasih tak terhingga kepada semua guru dan teman saya selama ini.
Teman saya yang berkomentar tadi salah paham (moga-moga). Saya tidak kembali ke kehidupan saya sebelumnya. Tidak berputar secara penuh. Lebih seperti spiral. Dalam beberapa hal, saya berada di titik yang sama, tapi tidak benar-benar begitu.
Satu-satunya putaran penuh yang saya inginkan, hanyalah ketika saya kembali kepada Tuhan.
Hidup sebagai sebuah solusi
Saya senang sekali dengan kata-kata ini, yang saya kutip dari salah satu guru kajian saya.
Mengingat Tuhan dalam arti seluas-luasnya, dalam setiap detik kehidupan kita. Tidak hanya dalam konteks ritual agama, tetapi dalam setiap napas kehidupan dan setiap tingkah laku kita. Tidak hanya di bibir, tetapi juga di hati dan dalam setiap gerak tindak kita.
Untuk selalu mawas diri setiap saat. Menyadari bahwa tubuh ini bukan milik kita, tetapi milik Tuhan. Saat itu, Tuhan akan menguatkan jiwa kita.
Hanya ketika ini terjadi, kita akan merasakan hening dan ketenangan yang sebenarnya. Intuisi kita akan tumbuh. Hidup kita akan tertuntun.
Ketika kita mencapai tahap ini, kita sudah tidak memerlukan lagi solusi untuk hidup kita. Karena hidup ini sendiri telah menjadi sebuah solusi.
Mengingat Tuhan dalam arti seluas-luasnya, dalam setiap detik kehidupan kita. Tidak hanya dalam konteks ritual agama, tetapi dalam setiap napas kehidupan dan setiap tingkah laku kita. Tidak hanya di bibir, tetapi juga di hati dan dalam setiap gerak tindak kita.
Untuk selalu mawas diri setiap saat. Menyadari bahwa tubuh ini bukan milik kita, tetapi milik Tuhan. Saat itu, Tuhan akan menguatkan jiwa kita.
Hanya ketika ini terjadi, kita akan merasakan hening dan ketenangan yang sebenarnya. Intuisi kita akan tumbuh. Hidup kita akan tertuntun.
Ketika kita mencapai tahap ini, kita sudah tidak memerlukan lagi solusi untuk hidup kita. Karena hidup ini sendiri telah menjadi sebuah solusi.
Mulai lagi
Tadi siang teman saya menyayangkan kenapa saya menulis blog dalam bahasa Inggris. Wah, saya sebenarnya jadi tercenung. Kenapa ya. Gak kenapa-kenapa sih. Saya juga jadi teringat sama blog saya yang ini. Yang sudah saya siapkan untuk tulisan saya yang berbahasa Indonesia.
Karena saya percaya gak ada yang kebetulan, saya terus berpikir, kenapa tidak mengaktifkan kembali blog ini. Akan banyak duplikasi (walau dalam bahasa yang berbeda) antara blog yang ini dengan blog yang satu lagi (Chipping in). Tapi gak apa.
Saya coba. Mari kita mulai kembali. Sama kayak Jakarta dan Indonesia yang kayaknya harus mulai lagi, bangun negeri dari awal. Bangun jiwa dari awal. Belum terlambat sama sekali untuk memperbaiki diri.
Karena saya percaya gak ada yang kebetulan, saya terus berpikir, kenapa tidak mengaktifkan kembali blog ini. Akan banyak duplikasi (walau dalam bahasa yang berbeda) antara blog yang ini dengan blog yang satu lagi (Chipping in). Tapi gak apa.
Saya coba. Mari kita mulai kembali. Sama kayak Jakarta dan Indonesia yang kayaknya harus mulai lagi, bangun negeri dari awal. Bangun jiwa dari awal. Belum terlambat sama sekali untuk memperbaiki diri.
Subscribe to:
Posts (Atom)