[English]
Hari ini Harian Kompas memuat foto lumpur Lapindo. Tampaknya tak ada kata yang perlu ditambahkan di sini. Semua sudah terucap.
Saya rasa sudah saatnya kita berhenti mengeluh tentang hidup kita dan mulai merasa bersyukur, dan berbagi.
.mulailah melakukan sesuatu. apa pun itu.
Wednesday, May 28, 2008
Walk the World
[English]
Beberapa hal memang patut didukung.
Di tengah kelaparan dan malnutrisi yang melanda negeri ini.
Beberapa hal memang patut didukung.
Di tengah kelaparan dan malnutrisi yang melanda negeri ini.
Thursday, May 22, 2008
Hari Kebangkitan Nasional - 1
[English]
Dengar ini di acara klien kemarin. Setiap kali mendengar lagu tersebut, saya pasti tertegun atau, tepatnya, tercenung.
Indonesia Jaya
Dipopulerkan pertama kali oleh Harvey Malaiholo
Hari-hari terus berlalu
Tiada pernah berhenti
Seribu rintangan jalan berliku
Bukan suatu penghalang
Hadapilah segala tantangan
Mohon petunjuk yang kuasa
Ciptakanlah kerukunan bangsa
Kobarkanlah dalam dada
Semangat jiwa Pancasila
Hidup tiada mungkin
Tanpa perjuangan
Tanpa pengorbanan
Mulia adanya
Berpeganglah tangan
Satu dalam cinta
Demi masa depan
Indonesia jaya
Lagu yang pas untuk Hari Kebangkitan Nasional. Ayo, bangun.
Dengar ini di acara klien kemarin. Setiap kali mendengar lagu tersebut, saya pasti tertegun atau, tepatnya, tercenung.
Indonesia Jaya
Dipopulerkan pertama kali oleh Harvey Malaiholo
Hari-hari terus berlalu
Tiada pernah berhenti
Seribu rintangan jalan berliku
Bukan suatu penghalang
Hadapilah segala tantangan
Mohon petunjuk yang kuasa
Ciptakanlah kerukunan bangsa
Kobarkanlah dalam dada
Semangat jiwa Pancasila
Hidup tiada mungkin
Tanpa perjuangan
Tanpa pengorbanan
Mulia adanya
Berpeganglah tangan
Satu dalam cinta
Demi masa depan
Indonesia jaya
Lagu yang pas untuk Hari Kebangkitan Nasional. Ayo, bangun.
Sunday, May 18, 2008
Malam itu
[English]
Saya terbaring di atas tempat tidur, tempat tidur saya yang nyaman dan akrab. Namun tak cukup nyaman untuk membuat saya tertidur. Mata saya terbuka lebar. Tubuh terjaga bugar.
Malam itu gelap dan dingin. Hujan turun dengan derasnya di luar. Saya bisa merasakan angin berhembus. Dingin. Tampaknya jalan-jalan sudah mulai tidak kuat untuk menahan derasnya curahan air. Sebentar lagi tumpah. Hanya masalah waktu.
Saya bisa merasakan tikus-tikus itu, tikus-tikus putih, di luar kamar saya, menjadi resah. Mereka tahu sebentar lagi air akan datang. Memasuki rumah mereka.
Kemudian semua itu terjadilah. Air hujan mengalir deras memasuki rumah sang tikus. Mereka berlarian. Ke luar rumah mereka dan masuk ke kamar saya. Melewati saya. Naik ke punggung kemudian turun lagi. Jumlahnya banyak sekali. Terlalu banyak. Saya bisa merasakan setiap tikus itu menaiki punggung saya dan melompat dari kedua pundak.
Tubuh saya merinding, bergidik. Suatu reaksi normal. Saya bisa merasakan rasa menggelitik, namun entah kenapa saya tidak panik. Bahkan ketika ada satu yang tidak bisa bergerak di punggung saya dan harus saya bantu melepaskan. Saya bisa mengerti.
Rumah mereka kebanjiran. Merekalah yang panik, bukan saya. Mereka berhak untuk panik. Jadi saya biarkan mereka lewat. Saya perhatikan, saya rasakan mereka lewat.
Saya berjalan ke dapur. Sudah pagi. Matahari sudah bersinar terang. Tampaknya hujan semalam telah mengusir semua awan. Paling tidak untuk sementara. Dapur saya besar, bergaya masa pertengahan. Berdinding putih. Berkeramik burgundy. Berpintu kayu.
Ah, pintu-pintu besar dari kayu itu. Megah. Ada tiga. Satu menuju ruang keluarga, satu ke halaman belakang, dan satu ke garasi.
Kakak perempuan saya berjalan masuk dan bertanya kenapa ada begitu banyak pintu. Tepatnya, dia bertanya kenapa mesti ada pintu sama sekali. “Copotlah semua pintu itu,” ujarnya. Kami pun melakukan apa yang ia katakan.
Benar juga. Mentari kini bersinar menelusuri semua relung rumah. Terasa lebih adem, lebih segar.
Semua anggota keluarga berjalan-jalan di luar. Jumlahnya cukup besar dan tampak akrab berjalan gembira bersama. Saya punya gambaran kira-kira ke mana dan agak bertanya-tanya kenapa kita mengambil jalan memutar.
Kakak perempuan saya masih ada di sana. Saya pertanyakan alasan jalan berputar ini. Dia hanya berkata singkat, “Karena anak-anak maunya begitu.” Seakan jawaban itu dapat menjelaskan semuanya. Mungkin memang demikian. Karena saya tidak bertanya lebih lanjut. Tak ada pertanyaan lagi. Saya tahu semua akan baik-baik saja.
Keinginan langka untuk berbagi. Sampai nanti, kalau memang ada kesempatan lagi.
PS: Floor, saya sudah menemukan buku hijau yang kauberikan. Kita berdua tahu apa maknanya itu.
Tapi hingga kini saya masih kepayahan mencari titik berimbang itu. Mungkin memang butuh waktu untuk menyesuaikan kembali. Menyesuaikan kembali, karena saya menyesuaikan untuk kesekian kalinya.
Saya terbaring di atas tempat tidur, tempat tidur saya yang nyaman dan akrab. Namun tak cukup nyaman untuk membuat saya tertidur. Mata saya terbuka lebar. Tubuh terjaga bugar.
Malam itu gelap dan dingin. Hujan turun dengan derasnya di luar. Saya bisa merasakan angin berhembus. Dingin. Tampaknya jalan-jalan sudah mulai tidak kuat untuk menahan derasnya curahan air. Sebentar lagi tumpah. Hanya masalah waktu.
Saya bisa merasakan tikus-tikus itu, tikus-tikus putih, di luar kamar saya, menjadi resah. Mereka tahu sebentar lagi air akan datang. Memasuki rumah mereka.
Kemudian semua itu terjadilah. Air hujan mengalir deras memasuki rumah sang tikus. Mereka berlarian. Ke luar rumah mereka dan masuk ke kamar saya. Melewati saya. Naik ke punggung kemudian turun lagi. Jumlahnya banyak sekali. Terlalu banyak. Saya bisa merasakan setiap tikus itu menaiki punggung saya dan melompat dari kedua pundak.
Tubuh saya merinding, bergidik. Suatu reaksi normal. Saya bisa merasakan rasa menggelitik, namun entah kenapa saya tidak panik. Bahkan ketika ada satu yang tidak bisa bergerak di punggung saya dan harus saya bantu melepaskan. Saya bisa mengerti.
Rumah mereka kebanjiran. Merekalah yang panik, bukan saya. Mereka berhak untuk panik. Jadi saya biarkan mereka lewat. Saya perhatikan, saya rasakan mereka lewat.
Saya berjalan ke dapur. Sudah pagi. Matahari sudah bersinar terang. Tampaknya hujan semalam telah mengusir semua awan. Paling tidak untuk sementara. Dapur saya besar, bergaya masa pertengahan. Berdinding putih. Berkeramik burgundy. Berpintu kayu.
Ah, pintu-pintu besar dari kayu itu. Megah. Ada tiga. Satu menuju ruang keluarga, satu ke halaman belakang, dan satu ke garasi.
Kakak perempuan saya berjalan masuk dan bertanya kenapa ada begitu banyak pintu. Tepatnya, dia bertanya kenapa mesti ada pintu sama sekali. “Copotlah semua pintu itu,” ujarnya. Kami pun melakukan apa yang ia katakan.
Benar juga. Mentari kini bersinar menelusuri semua relung rumah. Terasa lebih adem, lebih segar.
Semua anggota keluarga berjalan-jalan di luar. Jumlahnya cukup besar dan tampak akrab berjalan gembira bersama. Saya punya gambaran kira-kira ke mana dan agak bertanya-tanya kenapa kita mengambil jalan memutar.
Kakak perempuan saya masih ada di sana. Saya pertanyakan alasan jalan berputar ini. Dia hanya berkata singkat, “Karena anak-anak maunya begitu.” Seakan jawaban itu dapat menjelaskan semuanya. Mungkin memang demikian. Karena saya tidak bertanya lebih lanjut. Tak ada pertanyaan lagi. Saya tahu semua akan baik-baik saja.
Keinginan langka untuk berbagi. Sampai nanti, kalau memang ada kesempatan lagi.
PS: Floor, saya sudah menemukan buku hijau yang kauberikan. Kita berdua tahu apa maknanya itu.
Tapi hingga kini saya masih kepayahan mencari titik berimbang itu. Mungkin memang butuh waktu untuk menyesuaikan kembali. Menyesuaikan kembali, karena saya menyesuaikan untuk kesekian kalinya.
Tuesday, May 13, 2008
Kelaparan - 2
[English]
Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimkan tautan ini. Tentang sebuah penangkaran hewan di kota dimana para hewan banyak yang menderita dan beberapa bahkan dibiarkan mati. *menghela napas panjang*
Lagi-lagi, topiknya berkenaan dengan kelaparan. Kali ini kelaparan yang melanda hewan. Lagi-lagi, air mata pun tak tahan untuk tidak mengalir.
Saya berjanji pada teman saya bahwa saya akan menaruh cerita ini di blog saya, seraya berharap bisa berkontribusi terhadap perubahan. Maaf kalau terlalu lama dan lambat.
Menakjubkan betapa kita sering jatuh iba pada hewan, namun tidak terlalu pada manusia. Kita sering merasa kasihan ketika melihat hewan sakit, namun memilih untuk tidak mengacuhkan manusia yang tengah terpuruk dalam penderitaan.
Atau mungkin pemandangan itu terlalu menyakitkan buat kita, sehingga kita memutuskan untuk memalingkan pandangan dan meneruskan perjalanan dalam hidup yang serba indah dan bahagia, mungkin karena rasa takut akan menyakiti diri nantinya.
Saya pikir, seperti halnya anak-anak, para hewan ini ada untuk menyentuh kita lebih dalam, dengan keluguan, kejujuran, serta kerapuhannya.
Ketika rasa percaya, cinta tulus dan kasih mulai bertumbuh dalam diri, maka kita akan mampu menjadi diri yang lebih agung dan belajar untuk mencinta lebih banyak lagi. Untuk menyebar kasih dan mengulurkan tangan kita pada hewan, alam dan manusia.
Lihat siapa yang sebenarnya belajar mencinta sekarang. Dan kita tadinya berpikir bahwa kitalah yang membantu mereka.
Beberapa waktu lalu, seorang teman mengirimkan tautan ini. Tentang sebuah penangkaran hewan di kota dimana para hewan banyak yang menderita dan beberapa bahkan dibiarkan mati. *menghela napas panjang*
Lagi-lagi, topiknya berkenaan dengan kelaparan. Kali ini kelaparan yang melanda hewan. Lagi-lagi, air mata pun tak tahan untuk tidak mengalir.
Saya berjanji pada teman saya bahwa saya akan menaruh cerita ini di blog saya, seraya berharap bisa berkontribusi terhadap perubahan. Maaf kalau terlalu lama dan lambat.
Menakjubkan betapa kita sering jatuh iba pada hewan, namun tidak terlalu pada manusia. Kita sering merasa kasihan ketika melihat hewan sakit, namun memilih untuk tidak mengacuhkan manusia yang tengah terpuruk dalam penderitaan.
Atau mungkin pemandangan itu terlalu menyakitkan buat kita, sehingga kita memutuskan untuk memalingkan pandangan dan meneruskan perjalanan dalam hidup yang serba indah dan bahagia, mungkin karena rasa takut akan menyakiti diri nantinya.
Saya pikir, seperti halnya anak-anak, para hewan ini ada untuk menyentuh kita lebih dalam, dengan keluguan, kejujuran, serta kerapuhannya.
Ketika rasa percaya, cinta tulus dan kasih mulai bertumbuh dalam diri, maka kita akan mampu menjadi diri yang lebih agung dan belajar untuk mencinta lebih banyak lagi. Untuk menyebar kasih dan mengulurkan tangan kita pada hewan, alam dan manusia.
Lihat siapa yang sebenarnya belajar mencinta sekarang. Dan kita tadinya berpikir bahwa kitalah yang membantu mereka.
Kelaparan - 1
[English]
Saya sudah sangat lama menunda menulis tulisan ini. Saya melihat berita di TV beberapa waktu lalu tentang kelaparan yang melanda negeri.
Seorang ibu dengan dua anak meninggal kelaparan di rumahnya. Malnutrisi terjadi dimana-mana di beberapa daerah. Kelaparan berlangsung di kota tempat saya tinggal ini, di jalan-jalan yang saya lewati setiap hari. Rasanya saya tidak perlu menaruh satu gambar pun di sini. Sudah jelas.
Hati saya serasa melesak. Air mata mendesak.
Bahwasanya ada kelaparan di negara tropis agrikultur maritim ini sudah berada di luar nalar saya. Bahwasanya hal ini terjadi pas di depan mata saya--mata kita?--merupakan suatu hal di luar batas toleransi.
I sms beberapa teman. Saya menerima tanggapan yang menghangatkan hati.
Saya tahu ada masalah yang besar dan mungkin tak bisa saya pahami di negara ini yang kemudian menjurus ke situasi sekarang--baik dalam hal kelaparan maupun ketidakpedulian. Saya paham bahwa harus ada perubahan struktural--atau bahkan politis--untuk memperbaiki keadaan ini. Saya tahu itu.
Tetap saja, satu tanggapan yang paling berkesan buat seorang saya yang kecil dan biasa-biasa saja ini adalah ajakan seorang teman untuk melakukan apa pun yang kita bisa, untuk berbaik dan memperhatikan orang-orang di sekitar kita.
Pesuruh di kantor yang menyediakan secangkir kopi hangat buat kita tiap hari. Supir pribadi/taksi/bus/bajaj yang mengantar kita ke sana kemari dalam 'tempo yang sesingkat-singkatnya'. Pedagang kaki lima dan jajanan. Tukang sayur keliling. Anak laki-laki kecil berkaos garis-garis merah putih yang mungkin luput dari perhatian kita.
Tahukah kita apakah mereka punya makanan untuk makan nanti malam? Tahukah kita apakah anak-anak mereka telah diberi makan dengan baik dan dapat terus bersekolah? Pedulikah kita?
Saya sudah menunda penulisan artikel ini cukup lama. Karena saya merasa tidak tahu jalan keluar dari masalah ini. Hingga kini pun, sebenarnya saya masih tidak tahu.
Tapi mungkin itu inti masalah saya. Inti masalah kita. Kita begitu bingung, merasa bukan siapa-siapa dan tidak berdaya sampai-sampai kita tidak melakukan apa pun. Sama sekali.
Saatnya untuk melakukan sesuatu. Apa pun itu. Mulailah Memberi.
Saya sudah sangat lama menunda menulis tulisan ini. Saya melihat berita di TV beberapa waktu lalu tentang kelaparan yang melanda negeri.
Seorang ibu dengan dua anak meninggal kelaparan di rumahnya. Malnutrisi terjadi dimana-mana di beberapa daerah. Kelaparan berlangsung di kota tempat saya tinggal ini, di jalan-jalan yang saya lewati setiap hari. Rasanya saya tidak perlu menaruh satu gambar pun di sini. Sudah jelas.
Hati saya serasa melesak. Air mata mendesak.
Bahwasanya ada kelaparan di negara tropis agrikultur maritim ini sudah berada di luar nalar saya. Bahwasanya hal ini terjadi pas di depan mata saya--mata kita?--merupakan suatu hal di luar batas toleransi.
I sms beberapa teman. Saya menerima tanggapan yang menghangatkan hati.
Saya tahu ada masalah yang besar dan mungkin tak bisa saya pahami di negara ini yang kemudian menjurus ke situasi sekarang--baik dalam hal kelaparan maupun ketidakpedulian. Saya paham bahwa harus ada perubahan struktural--atau bahkan politis--untuk memperbaiki keadaan ini. Saya tahu itu.
Tetap saja, satu tanggapan yang paling berkesan buat seorang saya yang kecil dan biasa-biasa saja ini adalah ajakan seorang teman untuk melakukan apa pun yang kita bisa, untuk berbaik dan memperhatikan orang-orang di sekitar kita.
Pesuruh di kantor yang menyediakan secangkir kopi hangat buat kita tiap hari. Supir pribadi/taksi/bus/bajaj yang mengantar kita ke sana kemari dalam 'tempo yang sesingkat-singkatnya'. Pedagang kaki lima dan jajanan. Tukang sayur keliling. Anak laki-laki kecil berkaos garis-garis merah putih yang mungkin luput dari perhatian kita.
Tahukah kita apakah mereka punya makanan untuk makan nanti malam? Tahukah kita apakah anak-anak mereka telah diberi makan dengan baik dan dapat terus bersekolah? Pedulikah kita?
Saya sudah menunda penulisan artikel ini cukup lama. Karena saya merasa tidak tahu jalan keluar dari masalah ini. Hingga kini pun, sebenarnya saya masih tidak tahu.
Tapi mungkin itu inti masalah saya. Inti masalah kita. Kita begitu bingung, merasa bukan siapa-siapa dan tidak berdaya sampai-sampai kita tidak melakukan apa pun. Sama sekali.
Saatnya untuk melakukan sesuatu. Apa pun itu. Mulailah Memberi.
Monday, May 12, 2008
Teman lama, saya yang dulu
[English]
Kadang kita merasa bahwa kita telah berjalan jauh untuk suatu ketika menyadari bahwa kita ini masih seperti yang dulu-dulu saja. Belum jauh-jauh amat berubahnya.
Itu yang saya rasakan sekarang. Saya bertemu dengan beberapa teman baru sebulan terakhir ini dan bertaut kembali dengan beberapa sobat lama.
Betapa mereka berhasil membawa saya mengarungi masa kembali ke waktu lalu dan menemukan individu yang telah lama tidak muncul dari diri.
Halo saya, sudah lama sekali rasanya tak melihatmu. Saya hampir lupa betapa saya terkadang kangen sekali dengan saya yang itu. Menyenangkan.
Hati terasa ringan. Senyum (atau cengiran?) lebar di bibir. Otak yang sedikit korslet. :p
Rupanya saya yang itu tidak jelek-jelek amat. Mungkin sudah saatnya untuk mempersilakan saya yang itu bersinar kembali untuk ke sekian kalinya, dengan sedikit improvisasi berkat waktu yang telah ditempuh bersama.
*peluk*
Kadang kita merasa bahwa kita telah berjalan jauh untuk suatu ketika menyadari bahwa kita ini masih seperti yang dulu-dulu saja. Belum jauh-jauh amat berubahnya.
Itu yang saya rasakan sekarang. Saya bertemu dengan beberapa teman baru sebulan terakhir ini dan bertaut kembali dengan beberapa sobat lama.
Betapa mereka berhasil membawa saya mengarungi masa kembali ke waktu lalu dan menemukan individu yang telah lama tidak muncul dari diri.
Halo saya, sudah lama sekali rasanya tak melihatmu. Saya hampir lupa betapa saya terkadang kangen sekali dengan saya yang itu. Menyenangkan.
Hati terasa ringan. Senyum (atau cengiran?) lebar di bibir. Otak yang sedikit korslet. :p
Rupanya saya yang itu tidak jelek-jelek amat. Mungkin sudah saatnya untuk mempersilakan saya yang itu bersinar kembali untuk ke sekian kalinya, dengan sedikit improvisasi berkat waktu yang telah ditempuh bersama.
*peluk*
Monday, May 05, 2008
Menunda keinginan
[English]
Kakak perempuan saya baru saja mengikuti pelatihan mendidik anak. Mereka mendiskusikan banyak hal. Salah satunya adalah saat sang pelatih menyarankan para orang tua untuk melatih anaknya menunda keinginan.
Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tidak perlu memenuhi permintaan tersebut saat itu juga. Tunda seperlunya. Berikan jeda antara permintaan dan pemenuhannya.
Sang pelatih mengatakan bahwa hal ini akan melatih anak memiliki jeda-jeda serupa dalam kehidupan. Untuk tidak bertindak reaktif (secara instink ataupun emosional) pada saat itu juga. Untuk berpikir sebelum mereka menanggapi berbagai stimuli dalam hidup. Untuk berlaku bijak. Aduh.
Menarik, pikir saya. Suatu kebiasaan yang baik untuk diajarkan dengan cara demikian sederhana. Saya tahu kalau berpikir sebelum bertindak itu baik. Saya tahu menunda keinginan juga baik. Namun saya tidak pernah menautkan dua hal tersebut. Paling sedikit, tidak dalam hal mengasuh anak.
Saya akan mempersilakan dua guru besar saya meneruskan cerita ini.
Jalal-ad-din Rumi mengatakan, “Permulaan dari kesombongan dan kebencian berada pada keinginan duniawi, dan kekuatan keinginanmu berakar dari kebiasaan. Ketika tendensi buruk menjadi kokoh sebagai buah kebiasaan, kemarahan/kemurkaan akan (mudah) terpicu ketika ada pihak yang berusaha mengekangmu.”
Kemudian beliau juga pernah berkata, “Jika kamu terganggu oleh setiap friksi, bagaimana kamu bisa terpoles dengan baik?” Ok juga, guru. Bagaimana kita bisa melakukan in? Bagaimana kita mengelola keinginan kita? Datanglah guru saya yang lain, Al Ghazali.
Dalam bukunya Disciplining the Soul (Mendisiplinkan jiwa – yang mungkin merupakan salah satu buku yang paling berpengaruh dalam hidup saya), Al-Ghazali mengutip Yahya ibn Muadh al Razi, “Lawan jiwamu dengan pedang disiplin diri. Ada empat: makan sedikit, tidur sebentar, bicara seperlunya, dan toleransi semua perbuatan buruk yang dilakukan terhadapmu. Makan sedikit akan meniadakan keinginan, tidur sebentar akan membersihkan aspirasimu, berbicara seperlunya akan menyelamatkanmu dari berbagai penderitaan, dan mentoleransi perbuatan buruk akan mengantarmu ke tujuanmu—karena salah satu hal tersulit bagi manusia adalah untuk berlaku lembut ketika tidak diacuhkan atau ketika mentolerir perbuatan buruk yang dilakukan terhadapnya.” (Al Ghazali, Disciplining the Soul, hal57)
Benar sekali. Mentolerir perbuatan buruk/salah merupakan salah satu tantangan terbesar. Bagaimana caranya saya bisa menahan diri terhadap orang yang tidak mengacuhkan atau yang menjahati saya? Kapan saya harus mengatakan sesuatu dan kapan saya harus diam?
Beliau (Al Ghazali) kemudian berkata, “Pernah seseorang bertanya kepada Umar ibn Abd Al-Azis, ‘Kapan saya harus berbicara?’ Dan Umar menjawab, ‘Ketika kamu ingin diam.’ ‘Kapan saya harus diam?’ tanya orang itu lagi, dan Umar berujar, ‘Ketika kamu ingin berbicara.’ (Al Ghazali, Disciplining the Soul, hal59)
Saya mengangguk-anggukan kepala saya. Namun kemudian, saya jadi bingung sendiri dengan pernyataan itu. Rupanya saya memang masih belajar.
Kalau demikian, mari mulai dari awal. Seperti yang dikatakan di pelatihannya kakak saya. Tunda keinginan. Keinginan kita dulu. Bukan keinginan anak.
Kakak perempuan saya baru saja mengikuti pelatihan mendidik anak. Mereka mendiskusikan banyak hal. Salah satunya adalah saat sang pelatih menyarankan para orang tua untuk melatih anaknya menunda keinginan.
Ketika anak meminta sesuatu, orang tua tidak perlu memenuhi permintaan tersebut saat itu juga. Tunda seperlunya. Berikan jeda antara permintaan dan pemenuhannya.
Sang pelatih mengatakan bahwa hal ini akan melatih anak memiliki jeda-jeda serupa dalam kehidupan. Untuk tidak bertindak reaktif (secara instink ataupun emosional) pada saat itu juga. Untuk berpikir sebelum mereka menanggapi berbagai stimuli dalam hidup. Untuk berlaku bijak. Aduh.
Menarik, pikir saya. Suatu kebiasaan yang baik untuk diajarkan dengan cara demikian sederhana. Saya tahu kalau berpikir sebelum bertindak itu baik. Saya tahu menunda keinginan juga baik. Namun saya tidak pernah menautkan dua hal tersebut. Paling sedikit, tidak dalam hal mengasuh anak.
Saya akan mempersilakan dua guru besar saya meneruskan cerita ini.
Jalal-ad-din Rumi mengatakan, “Permulaan dari kesombongan dan kebencian berada pada keinginan duniawi, dan kekuatan keinginanmu berakar dari kebiasaan. Ketika tendensi buruk menjadi kokoh sebagai buah kebiasaan, kemarahan/kemurkaan akan (mudah) terpicu ketika ada pihak yang berusaha mengekangmu.”
Kemudian beliau juga pernah berkata, “Jika kamu terganggu oleh setiap friksi, bagaimana kamu bisa terpoles dengan baik?” Ok juga, guru. Bagaimana kita bisa melakukan in? Bagaimana kita mengelola keinginan kita? Datanglah guru saya yang lain, Al Ghazali.
Dalam bukunya Disciplining the Soul (Mendisiplinkan jiwa – yang mungkin merupakan salah satu buku yang paling berpengaruh dalam hidup saya), Al-Ghazali mengutip Yahya ibn Muadh al Razi, “Lawan jiwamu dengan pedang disiplin diri. Ada empat: makan sedikit, tidur sebentar, bicara seperlunya, dan toleransi semua perbuatan buruk yang dilakukan terhadapmu. Makan sedikit akan meniadakan keinginan, tidur sebentar akan membersihkan aspirasimu, berbicara seperlunya akan menyelamatkanmu dari berbagai penderitaan, dan mentoleransi perbuatan buruk akan mengantarmu ke tujuanmu—karena salah satu hal tersulit bagi manusia adalah untuk berlaku lembut ketika tidak diacuhkan atau ketika mentolerir perbuatan buruk yang dilakukan terhadapnya.” (Al Ghazali, Disciplining the Soul, hal57)
Benar sekali. Mentolerir perbuatan buruk/salah merupakan salah satu tantangan terbesar. Bagaimana caranya saya bisa menahan diri terhadap orang yang tidak mengacuhkan atau yang menjahati saya? Kapan saya harus mengatakan sesuatu dan kapan saya harus diam?
Beliau (Al Ghazali) kemudian berkata, “Pernah seseorang bertanya kepada Umar ibn Abd Al-Azis, ‘Kapan saya harus berbicara?’ Dan Umar menjawab, ‘Ketika kamu ingin diam.’ ‘Kapan saya harus diam?’ tanya orang itu lagi, dan Umar berujar, ‘Ketika kamu ingin berbicara.’ (Al Ghazali, Disciplining the Soul, hal59)
Saya mengangguk-anggukan kepala saya. Namun kemudian, saya jadi bingung sendiri dengan pernyataan itu. Rupanya saya memang masih belajar.
Kalau demikian, mari mulai dari awal. Seperti yang dikatakan di pelatihannya kakak saya. Tunda keinginan. Keinginan kita dulu. Bukan keinginan anak.
Saturday, May 03, 2008
Semua pilihan di dunia ini
[English]
Baru-baru ini saya bepergian ke luar kota. Sepanjang perjalanan, saya menggunakan angkutan umum untuk pergi kemana pun saya ingin pergi. Saya sama sekali tidak keberatan. Bahkan, saya menikmatinya.
Hingga malam terakhir saya di kota itu, saya hendak bertemu dengan seorang teman di tempat yang tidak terjangkau oleh angkutan umum saya. Jadi saya memutuskan untuk menggunakan taksi, mungkin karena terbatasnya waktu, atau karena saya sudah tidak punya cukup energi lagi untuk menimbang opsi lain.
Saat saya duduk di kursi belakang taksi, saya memandang ke luar melalui jendela, menikmati pemandangan rumah, pohon, mobil, lampu, yang saya lewati. Saya menyadari kemewahan dari mengendarai taksi, sebuah kendaraan nyaman yang didedikasikan hanya untuk mengantar seorang saya kemanapun saya ingin pergi.
Kemudian saya tersadar. Saya telah menggunakan moda transportasi yang lebih umum (rame-rame) dan sederhana sepanjang perjalanan saya. Namun sebenarnya, saya selalu, selalu, selalu memiliki opsi(-opsi) lain yang lebih mewah kalau saya menginginkannya.
Seperti halnya begitu banyak aspek dalam kehidupan saya.
Fasilitas seperti Linked-in dan Facebook memungkinkan kita untuk bertaut kembali dengan teman yang telah lama hilang dari peredaran. Suatu hari, saya menunjukkan kepada seorang teman jabatan dari beberapa teman lama saya, nun jauh tinggi di tangga karir perusahaan.
Saya bilang, “Lihat deh mereka. Lihat saya. Apalah saya dibanding mereka?” Saya terdiam sejenak dan melanjutkan ucapan, “Saya seseorang yang memilih untuk tidak seperti itu.”
Saya bisa saja menjadi seperti mereka kalau saya menghendaki. Saya tahu saya punya opsi itu. Suatu opsi yang tidak saya ambil. Tepatnya, suatu opsi yang dulu pernah saya ambil, namun sekarang tidak lagi.
Pada kenyataannya, saya terberkati dengan semua pilihan yang ada di dunia ini—mungkin jauh lebih banyak dari yang dimiliki kebanyakan orang (tanpa bermaksud sombong sama sekali, sekedar bersyukur).
Pernyataan yang ditanggapi secara bijak oleh seorang teman, “Kalau demikian, gunakanlah dengan baik. Pilih opsi yang terbaik.”
Jadi saya kembalikan semua ini pada-Mu. Saya biarkan diri-Mu untuk mengambilkan keputusan buat saya. Karena saya tahu tidak ada orang lain yang dapat membuat keputusan ini untuk saya, tidak sebaik kalau Kamu melakukannya.
Terima kasih, padamu, dan, seperti biasanya, pada-Mu.
Baru-baru ini saya bepergian ke luar kota. Sepanjang perjalanan, saya menggunakan angkutan umum untuk pergi kemana pun saya ingin pergi. Saya sama sekali tidak keberatan. Bahkan, saya menikmatinya.
Hingga malam terakhir saya di kota itu, saya hendak bertemu dengan seorang teman di tempat yang tidak terjangkau oleh angkutan umum saya. Jadi saya memutuskan untuk menggunakan taksi, mungkin karena terbatasnya waktu, atau karena saya sudah tidak punya cukup energi lagi untuk menimbang opsi lain.
Saat saya duduk di kursi belakang taksi, saya memandang ke luar melalui jendela, menikmati pemandangan rumah, pohon, mobil, lampu, yang saya lewati. Saya menyadari kemewahan dari mengendarai taksi, sebuah kendaraan nyaman yang didedikasikan hanya untuk mengantar seorang saya kemanapun saya ingin pergi.
Kemudian saya tersadar. Saya telah menggunakan moda transportasi yang lebih umum (rame-rame) dan sederhana sepanjang perjalanan saya. Namun sebenarnya, saya selalu, selalu, selalu memiliki opsi(-opsi) lain yang lebih mewah kalau saya menginginkannya.
Seperti halnya begitu banyak aspek dalam kehidupan saya.
Fasilitas seperti Linked-in dan Facebook memungkinkan kita untuk bertaut kembali dengan teman yang telah lama hilang dari peredaran. Suatu hari, saya menunjukkan kepada seorang teman jabatan dari beberapa teman lama saya, nun jauh tinggi di tangga karir perusahaan.
Saya bilang, “Lihat deh mereka. Lihat saya. Apalah saya dibanding mereka?” Saya terdiam sejenak dan melanjutkan ucapan, “Saya seseorang yang memilih untuk tidak seperti itu.”
Saya bisa saja menjadi seperti mereka kalau saya menghendaki. Saya tahu saya punya opsi itu. Suatu opsi yang tidak saya ambil. Tepatnya, suatu opsi yang dulu pernah saya ambil, namun sekarang tidak lagi.
Pada kenyataannya, saya terberkati dengan semua pilihan yang ada di dunia ini—mungkin jauh lebih banyak dari yang dimiliki kebanyakan orang (tanpa bermaksud sombong sama sekali, sekedar bersyukur).
Pernyataan yang ditanggapi secara bijak oleh seorang teman, “Kalau demikian, gunakanlah dengan baik. Pilih opsi yang terbaik.”
Jadi saya kembalikan semua ini pada-Mu. Saya biarkan diri-Mu untuk mengambilkan keputusan buat saya. Karena saya tahu tidak ada orang lain yang dapat membuat keputusan ini untuk saya, tidak sebaik kalau Kamu melakukannya.
Terima kasih, padamu, dan, seperti biasanya, pada-Mu.
Tak ada lagi pertanyaan
[English]
Hari Jumat lalu saya makan siang dengan seorang teman baik, seorang mentor. Sebenarnya banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, namun ketika dia menelepon saya mengajak bertemu, saya tak mungkin bisa menolak.
Dia kini tinggal di luar kota dan sedang mengunjungi kota saya untuk beberapa hari. Kita sudah lama tidak berbincang.
Teman tersayang saya ini adalah orang yang telah ‘membimbing’ saya melalui naik turun (dan turun)-nya hidup saya sekitar dua-empat tahun lalu. Pada saat itu, kepala (atau hati?) saya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan keraguan. Resah. Lelah.
Namun dia dengan sabar menuntun saya melewati perjalanan saya, entah itu perjalanan keluar kota maupun perjalanan ke dalam diri.
Saran pertama yang ia berikan, saya ingat sekali, adalah untuk “memperlambat semuanya. Lakukan semua satu per satu. Izinkan tubuh dan pikiran untuk santai. Apabila proses penyerahan dirimu adalah melalui meditasi dan doa, maka lakukanlah.
Jangan memaksakan semua proses ini dengan pikiranmu. Pikiran kita merupakan penghalang buat kita. "Percaya pada Tuhan dengan sepenuh hati dan jangan berpegang terlalu erat terhadap apa yang kamu pahami sekarang; dalam segala hal akui kehadiran dan kebesaran-Nya dan Dia akan meluruskan jalan untukmu."
Lepaskan semua keinginan, kebutuhan, permintaan, ekspektasi dan pikiran. Bernafas perlahan dengan kesadaran tunggal: bahwa kita adalah milik-Nya. Biarkan Dia bekerja bersama kita dan terima apa saja dan semua hal yang Dia berikan setiap harinya.
Lihat, rasakan, cium dan sentuh semua yang ada di sekitarmu. Lantai, dinding, rumah, jalan, pohon, orang, mobil, kertas, kata, bahasa, musik, suara, bunga. Apa pun, tiap hari, tiap detik.
Hingga suatu hari, kamu akan mengerti, kemudian kamu akan menangis. Tangisan bahagia, nikmat, dan paham.”
Kata-kata indah itu menandai perjalanan seumur hidup yang telah lama tertunda, terlalu lama.
Namun kemarin obrolan terasa berbeda. Kami berbincang dan tertawa tentang kerja dan hidup. Dialog, bukan konsultasi. Tetapi tetap menghangatkan hati dan menyenangkan.
Seraya memasuki mobil untuk kembali ke ‘kehidupan nyata’, saya berujar kepada teman saya, “Saya sudah tidak punya pertanyaan lagi.”
Seumur hidup, saya sudah mengemukakan begitu banyak pertanyaan tentang hidup itu sendiri, namun sekarang saya terdiam tanpa ada satu pun pertanyaan untuk diajukan.
Tak ada alasan atau manfaat untuk bertanya, atau mempertanyakan, ketika jauh di dasar diri ini kita tahu kalau kita sudah tahu. Atau minimal, kita percaya.
Hari Jumat lalu saya makan siang dengan seorang teman baik, seorang mentor. Sebenarnya banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, namun ketika dia menelepon saya mengajak bertemu, saya tak mungkin bisa menolak.
Dia kini tinggal di luar kota dan sedang mengunjungi kota saya untuk beberapa hari. Kita sudah lama tidak berbincang.
Teman tersayang saya ini adalah orang yang telah ‘membimbing’ saya melalui naik turun (dan turun)-nya hidup saya sekitar dua-empat tahun lalu. Pada saat itu, kepala (atau hati?) saya dipenuhi oleh berbagai pertanyaan dan keraguan. Resah. Lelah.
Namun dia dengan sabar menuntun saya melewati perjalanan saya, entah itu perjalanan keluar kota maupun perjalanan ke dalam diri.
Saran pertama yang ia berikan, saya ingat sekali, adalah untuk “memperlambat semuanya. Lakukan semua satu per satu. Izinkan tubuh dan pikiran untuk santai. Apabila proses penyerahan dirimu adalah melalui meditasi dan doa, maka lakukanlah.
Jangan memaksakan semua proses ini dengan pikiranmu. Pikiran kita merupakan penghalang buat kita. "Percaya pada Tuhan dengan sepenuh hati dan jangan berpegang terlalu erat terhadap apa yang kamu pahami sekarang; dalam segala hal akui kehadiran dan kebesaran-Nya dan Dia akan meluruskan jalan untukmu."
Lepaskan semua keinginan, kebutuhan, permintaan, ekspektasi dan pikiran. Bernafas perlahan dengan kesadaran tunggal: bahwa kita adalah milik-Nya. Biarkan Dia bekerja bersama kita dan terima apa saja dan semua hal yang Dia berikan setiap harinya.
Lihat, rasakan, cium dan sentuh semua yang ada di sekitarmu. Lantai, dinding, rumah, jalan, pohon, orang, mobil, kertas, kata, bahasa, musik, suara, bunga. Apa pun, tiap hari, tiap detik.
Hingga suatu hari, kamu akan mengerti, kemudian kamu akan menangis. Tangisan bahagia, nikmat, dan paham.”
Kata-kata indah itu menandai perjalanan seumur hidup yang telah lama tertunda, terlalu lama.
Namun kemarin obrolan terasa berbeda. Kami berbincang dan tertawa tentang kerja dan hidup. Dialog, bukan konsultasi. Tetapi tetap menghangatkan hati dan menyenangkan.
Seraya memasuki mobil untuk kembali ke ‘kehidupan nyata’, saya berujar kepada teman saya, “Saya sudah tidak punya pertanyaan lagi.”
Seumur hidup, saya sudah mengemukakan begitu banyak pertanyaan tentang hidup itu sendiri, namun sekarang saya terdiam tanpa ada satu pun pertanyaan untuk diajukan.
Tak ada alasan atau manfaat untuk bertanya, atau mempertanyakan, ketika jauh di dasar diri ini kita tahu kalau kita sudah tahu. Atau minimal, kita percaya.
Sabtu pagi
[English]
Awal yang sangat menyenangkan untuk sebuah akhir pekan.
Setelah menulis email untuk seorang Paman Bill, saya ngobrol (conference chat) dengan dua teman tersayang (Kami bertiga online pada jam delapan pagi di hari Sabtu. Kebayang tak kenapa kami berteman baik? *keluh*).
Obrolan dimulai dengan “Sudah ada tehnya masing-masing??” :)
Saya belum. Jadi saya langsung bangkit untuk membuat secangkir teh hangat. (Orang-orang aneh. Thayank, thayank, thayank..). Kemudian kami terus ngobrol tentang banyak hal dan tentang hal tak penting.
Di tengah-tengah obrolan, abang saya—yang memang doyan masak—memanggil untuk sarapan. Dia sudah mempersiapkan omelet tomat dan roti bawang bakar untuk kami semua.
Saya bolak-balik antara komputer dan meja makan untuk cicip-cicip makanan (dan menjawab sms plus menulis tulisan ini).
Ibu, abang dan sepupu saya semua duduk di meja makan bersama—tentunya—si Miauw, bagian yang tak terpisahkan dari keluarga kami.
Sekarang jam 11 pagi dan saya masih terus mengobrol dengan teman dan keluarga.
Awal yang sangat menyenangkan untuk sebuah akhir pekan. *Peluk erat hangat*
Awal yang sangat menyenangkan untuk sebuah akhir pekan.
Setelah menulis email untuk seorang Paman Bill, saya ngobrol (conference chat) dengan dua teman tersayang (Kami bertiga online pada jam delapan pagi di hari Sabtu. Kebayang tak kenapa kami berteman baik? *keluh*).
Obrolan dimulai dengan “Sudah ada tehnya masing-masing??” :)
Saya belum. Jadi saya langsung bangkit untuk membuat secangkir teh hangat. (Orang-orang aneh. Thayank, thayank, thayank..). Kemudian kami terus ngobrol tentang banyak hal dan tentang hal tak penting.
Di tengah-tengah obrolan, abang saya—yang memang doyan masak—memanggil untuk sarapan. Dia sudah mempersiapkan omelet tomat dan roti bawang bakar untuk kami semua.
Saya bolak-balik antara komputer dan meja makan untuk cicip-cicip makanan (dan menjawab sms plus menulis tulisan ini).
Ibu, abang dan sepupu saya semua duduk di meja makan bersama—tentunya—si Miauw, bagian yang tak terpisahkan dari keluarga kami.
Sekarang jam 11 pagi dan saya masih terus mengobrol dengan teman dan keluarga.
Awal yang sangat menyenangkan untuk sebuah akhir pekan. *Peluk erat hangat*
Thursday, May 01, 2008
Lilin dan saya
[English]
Lilin dan saya sudah saling kenal lama sekali. Sahabat saya yang mana pun akan dapat (dan pernah) mengatakan "Eva dan lilin-lilin-nya.. [hmmph]". Sekedar memberikan gambaran betapa saya kerap terpesona terhadap benda yang demikian bersahaja ini.
Saya kurang pasti kapan keterpesonaan saya terhadap lilin atau segala yang bernuansa cahaya lilin ini dimulai, namun lilin-lilin itu memang mengagumkan. Kehangatan yang terpancar dari cahaya itu demikian menarik, menggugah, bahkan hampir terasa merayu.
Saya dapat duduk diam berlama-lama hanya untuk memandangi cahayanya atau menikmati nuansa warna yang ia ciptakan di daerah sekitarnya. Terasa damai. Hangat. Senyum.
Jadi ketika seorang teman memberikan saya tempat lilin (beserta lilin-lilinnya) sebagai hadiah yang menurutnya 'cocok untuk saya', itu memang pilihan yang aman. Instink yang bagus.
Hatur nuhun kangge hadiahna. Teu nginten. Tadi enjing parantos ngawitan nyarengan meditasi sareng padamelan abdi. Karaos haneuteun :)
Lilin dan saya sudah saling kenal lama sekali. Sahabat saya yang mana pun akan dapat (dan pernah) mengatakan "Eva dan lilin-lilin-nya.. [hmmph]". Sekedar memberikan gambaran betapa saya kerap terpesona terhadap benda yang demikian bersahaja ini.
Saya kurang pasti kapan keterpesonaan saya terhadap lilin atau segala yang bernuansa cahaya lilin ini dimulai, namun lilin-lilin itu memang mengagumkan. Kehangatan yang terpancar dari cahaya itu demikian menarik, menggugah, bahkan hampir terasa merayu.
Saya dapat duduk diam berlama-lama hanya untuk memandangi cahayanya atau menikmati nuansa warna yang ia ciptakan di daerah sekitarnya. Terasa damai. Hangat. Senyum.
Jadi ketika seorang teman memberikan saya tempat lilin (beserta lilin-lilinnya) sebagai hadiah yang menurutnya 'cocok untuk saya', itu memang pilihan yang aman. Instink yang bagus.
Hatur nuhun kangge hadiahna. Teu nginten. Tadi enjing parantos ngawitan nyarengan meditasi sareng padamelan abdi. Karaos haneuteun :)
Subscribe to:
Posts (Atom)