[English]
Saya terbaring di atas tempat tidur, tempat tidur saya yang nyaman dan akrab. Namun tak cukup nyaman untuk membuat saya tertidur. Mata saya terbuka lebar. Tubuh terjaga bugar.
Malam itu gelap dan dingin. Hujan turun dengan derasnya di luar. Saya bisa merasakan angin berhembus. Dingin. Tampaknya jalan-jalan sudah mulai tidak kuat untuk menahan derasnya curahan air. Sebentar lagi tumpah. Hanya masalah waktu.
Saya bisa merasakan tikus-tikus itu, tikus-tikus putih, di luar kamar saya, menjadi resah. Mereka tahu sebentar lagi air akan datang. Memasuki rumah mereka.
Kemudian semua itu terjadilah. Air hujan mengalir deras memasuki rumah sang tikus. Mereka berlarian. Ke luar rumah mereka dan masuk ke kamar saya. Melewati saya. Naik ke punggung kemudian turun lagi. Jumlahnya banyak sekali. Terlalu banyak. Saya bisa merasakan setiap tikus itu menaiki punggung saya dan melompat dari kedua pundak.
Tubuh saya merinding, bergidik. Suatu reaksi normal. Saya bisa merasakan rasa menggelitik, namun entah kenapa saya tidak panik. Bahkan ketika ada satu yang tidak bisa bergerak di punggung saya dan harus saya bantu melepaskan. Saya bisa mengerti.
Rumah mereka kebanjiran. Merekalah yang panik, bukan saya. Mereka berhak untuk panik. Jadi saya biarkan mereka lewat. Saya perhatikan, saya rasakan mereka lewat.
Saya berjalan ke dapur. Sudah pagi. Matahari sudah bersinar terang. Tampaknya hujan semalam telah mengusir semua awan. Paling tidak untuk sementara. Dapur saya besar, bergaya masa pertengahan. Berdinding putih. Berkeramik burgundy. Berpintu kayu.
Ah, pintu-pintu besar dari kayu itu. Megah. Ada tiga. Satu menuju ruang keluarga, satu ke halaman belakang, dan satu ke garasi.
Kakak perempuan saya berjalan masuk dan bertanya kenapa ada begitu banyak pintu. Tepatnya, dia bertanya kenapa mesti ada pintu sama sekali. “Copotlah semua pintu itu,” ujarnya. Kami pun melakukan apa yang ia katakan.
Benar juga. Mentari kini bersinar menelusuri semua relung rumah. Terasa lebih adem, lebih segar.
Semua anggota keluarga berjalan-jalan di luar. Jumlahnya cukup besar dan tampak akrab berjalan gembira bersama. Saya punya gambaran kira-kira ke mana dan agak bertanya-tanya kenapa kita mengambil jalan memutar.
Kakak perempuan saya masih ada di sana. Saya pertanyakan alasan jalan berputar ini. Dia hanya berkata singkat, “Karena anak-anak maunya begitu.” Seakan jawaban itu dapat menjelaskan semuanya. Mungkin memang demikian. Karena saya tidak bertanya lebih lanjut. Tak ada pertanyaan lagi. Saya tahu semua akan baik-baik saja.
Keinginan langka untuk berbagi. Sampai nanti, kalau memang ada kesempatan lagi.
PS: Floor, saya sudah menemukan buku hijau yang kauberikan. Kita berdua tahu apa maknanya itu.
Tapi hingga kini saya masih kepayahan mencari titik berimbang itu. Mungkin memang butuh waktu untuk menyesuaikan kembali. Menyesuaikan kembali, karena saya menyesuaikan untuk kesekian kalinya.
Sunday, May 18, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment