[English]
Mau jadi apa nanti kalau sudah besar? Apa yang menjadi minat atau ambisimu sejak dulu? Sewaktu kecil, kamu sering mimpi menjadi apa? Amatlah menyenangkan bila kita dapat mewujudkannya menjadi kenyataan. Mimpi pribadi (masa kecil) selalu menjadi topik diskusi yang menarik.
Tapi tau gak apa yang lebih menarik—buat saya—melebihi keinginan untuk mewujudkan mimpi masa kecil saya? Membantu orang lain mewujudkan mimpinya.
Saya tidak tahu kenapa, namun saya selalu bersemangat bila mendengar mimpi orang lain. Bahkan, bagi saya, mendengar mimpi orang lain lebih menggugah ketimbang memikirkan mimpi saya sendiri. Otak saya berputar ekstra keras. Kepala ini berimajinasi bagaimana mengubah mimpi tersebut menjadi kenyataan, siapa yang bisa saya hubungkan dengan teman saya ini, dsb, dsb.
Saya paling gemas kalau melihat orang-orang berbakat—yang bakatnya sedemikian jelas sehingga menyilaukan—namun mereka tetap hidup 'biasa-biasa saja.' Kenapa sih?
Saya percaya masing-masing insan memiliki bakat yang unik dan istimewa. Tiap-tiap kita memiliki peran yang sangat spesifik dalam hidup. Sebagian dari tugas kita adalah mencari tahu (atau ada juga yang bilang, mengingat kembali) keistimewaan kita. Bagian lain dari tugas kita adalah menjalaninya.
Bagaimana kita dapat mencari tahu dan menjalani peran, bakat dan mimpi istimewa kita tersebut?
Rahasia untuk menjadi istimewa—seperti yang dikatakan oleh Master Oogway dan Bapaknya Po Mr. Ping—adalah nihil. Tidak ada rahasia sama sekali. Kita hanya perlu meyakini bahwa kita ini istimewa.
Tapi ada triknya. Triknya adalah: dicoba.
Kalau kita tidak coba, bagaimana kita tahu kalau kita bisa? Mustahil, katamu? Well, mencoba sesuatu yang mustahil itu bisa menjadi mengasyikkan lho. Yuk!
Mimpi kita itu menunjukkan sesuatu kepada kita. Wujudkan. Jalani. Kemudian, manfaatkan demi kepentingan bersama.
Wednesday, July 16, 2008
Menulis dan menjadi penulis
[English]
Saya cukup terkejut, bingung dan lumayan tersanjung ketika beberapa teman bertanya apakah saya pernah berpikir untuk menulis buku.
"Um, gak tuh" adalah jawaban pertama saya. Singkat, walaupun mungkin tidak terlalu manis.
Kemudian jawaban kedua muncul setelah saya memikirkan pertanyaan itu sedikit lebih lama, "Tentang apa ya?" Saya tidak tahu buku apa yang bisa saya tulis sehingga mampu menarik orang untuk membaca atau bahkan membelinya sekalipun.
Karena saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seorang penulis, apalagi penulis yang baik. Saya rasa saya tidak memiliki passion untuk menulis. Tidak seperti yang dimiliki oleh beberapa teman saya. Orang-orang itu melihat menulis sebagai passion mereka. Bagi mereka, menulis tampaknya telah ditaruh di tengah panggung sebagai pemeran utama atau bahkan pemeran tunggal. Saya tidak seperti itu.
Saya melihat menulis sebagai sekedar ekspresi dari pikiran dan perasaan saya. Salah satu medium untuk mengekspresikan passion saya, itu betul, namun tidak sebagai passion itu sendiri.
Tetap saja, sebagai seorang penggemar introspeksi, saya mencoba mengunyah pernyataan teman-teman saya itu sedikit lebih lama.
Saya obrolkan dengan teman lain--sesama zinister dan pemilik salah satu blog favorit saya. Saya yakin dia juga tidak pernah menganggap dirinya sebagai seorang penulis.
Komentarnya, "Kenapa (mesti menulis buku)? Gua sih lebih senang kalau loe tetap pada apa yang loe gunakan sekarang: blog dan sirkulasi email. Gratis. Kalau buku khan gua harus beli." Poin yang bagus.
Mohon jangan disalahartikan. Tentu saya memiliki respek yang sangat amat tinggi terhadap para penulis buku--para penulis berbakat luar biasa untuk buku yang telah maupun belum beredar. Buku telah menjadi salah satu sahabat terbaik saya dan saya tidak akan memiliki mereka--ataupun mendapatkan demikian banyak pembelajaran maupun pengetahuan--apabila bukan karena para penulisnya.
Semalam seorang teman lain berargumen, "Lho, kalau melalui buku khan semua pikiran dan ide loe terkompilasi dengan lebih compact (pepak, kalau kata ibu saya) dan terorganisir dengan rapi. Lagipula, loe akan dapat merangkul lebih banyak orang." Betul, mungkin. Tetapi apa yang akan saya tulis? Siapa yang mau saya rangkul?
Dalam satu diskusi beberapa minggu lalu, sesama partisipan bertanya kenapa saya tidak mengatakan apapun selama sesi terakhir. Saya bilang karena tidak ada yang perlu saya tambahkan. Dia menjawab, "Tetapi harusnya ikut urun rembug donk. Saya khan juga ingin belajar dari Anda." Benar juga. Menarik bahkan. Saya tidak pernah melihat diamnya saya sebagai suatu keengganan untuk berbagi.
Namun, sementara ini, saya tetap mengikuti saran teman saya untuk menggunakan media blog dan sirkulasi email. Untuk saat ini.
[Gambar 1 - pribadi; 2 - punya Hany]
Saya cukup terkejut, bingung dan lumayan tersanjung ketika beberapa teman bertanya apakah saya pernah berpikir untuk menulis buku.
"Um, gak tuh" adalah jawaban pertama saya. Singkat, walaupun mungkin tidak terlalu manis.
Kemudian jawaban kedua muncul setelah saya memikirkan pertanyaan itu sedikit lebih lama, "Tentang apa ya?" Saya tidak tahu buku apa yang bisa saya tulis sehingga mampu menarik orang untuk membaca atau bahkan membelinya sekalipun.
Karena saya tidak pernah melihat diri saya sebagai seorang penulis, apalagi penulis yang baik. Saya rasa saya tidak memiliki passion untuk menulis. Tidak seperti yang dimiliki oleh beberapa teman saya. Orang-orang itu melihat menulis sebagai passion mereka. Bagi mereka, menulis tampaknya telah ditaruh di tengah panggung sebagai pemeran utama atau bahkan pemeran tunggal. Saya tidak seperti itu.
Saya melihat menulis sebagai sekedar ekspresi dari pikiran dan perasaan saya. Salah satu medium untuk mengekspresikan passion saya, itu betul, namun tidak sebagai passion itu sendiri.
Tetap saja, sebagai seorang penggemar introspeksi, saya mencoba mengunyah pernyataan teman-teman saya itu sedikit lebih lama.
Saya obrolkan dengan teman lain--sesama zinister dan pemilik salah satu blog favorit saya. Saya yakin dia juga tidak pernah menganggap dirinya sebagai seorang penulis.
Komentarnya, "Kenapa (mesti menulis buku)? Gua sih lebih senang kalau loe tetap pada apa yang loe gunakan sekarang: blog dan sirkulasi email. Gratis. Kalau buku khan gua harus beli." Poin yang bagus.
Mohon jangan disalahartikan. Tentu saya memiliki respek yang sangat amat tinggi terhadap para penulis buku--para penulis berbakat luar biasa untuk buku yang telah maupun belum beredar. Buku telah menjadi salah satu sahabat terbaik saya dan saya tidak akan memiliki mereka--ataupun mendapatkan demikian banyak pembelajaran maupun pengetahuan--apabila bukan karena para penulisnya.
Semalam seorang teman lain berargumen, "Lho, kalau melalui buku khan semua pikiran dan ide loe terkompilasi dengan lebih compact (pepak, kalau kata ibu saya) dan terorganisir dengan rapi. Lagipula, loe akan dapat merangkul lebih banyak orang." Betul, mungkin. Tetapi apa yang akan saya tulis? Siapa yang mau saya rangkul?
Dalam satu diskusi beberapa minggu lalu, sesama partisipan bertanya kenapa saya tidak mengatakan apapun selama sesi terakhir. Saya bilang karena tidak ada yang perlu saya tambahkan. Dia menjawab, "Tetapi harusnya ikut urun rembug donk. Saya khan juga ingin belajar dari Anda." Benar juga. Menarik bahkan. Saya tidak pernah melihat diamnya saya sebagai suatu keengganan untuk berbagi.
Namun, sementara ini, saya tetap mengikuti saran teman saya untuk menggunakan media blog dan sirkulasi email. Untuk saat ini.
[Gambar 1 - pribadi; 2 - punya Hany]
Membaca buku berbahasa Indonesia
[English]
Rasanya saya terlalu banyak menggunakan Bahasa Inggris akhir-akhir ini.
Ketika saya menulis entri untuk blog saya, saya selalu menulis versi Bahasa Inggris-nya dulu. Ya, bahkan untuk tulisan ini. Ketika saya mau menulis daftar apa yang harus saya kerjakan, saya pun menuliskannya dalam Bahasa Inggris.
Ketika saya berbincang dengan beberapa teman Indonesia saya, saya berbicara dalam Bahasa Inggris (shame on me (baca: memalukan), ujar saya masih dalam Bahasa Inggris). Ketika saya mau membeli buku, seringkali, saya membeli buku berbahasa Inggris.
Jadi untuk perjalanan mendatang, saya memutuskan untuk membawa buku-buku berbahasa Indonesia. Buku fiksi Indonesia. Wah, sudah lama sekali. Dengan segala rasa hormat. Maafkan.
Rasanya saya terlalu banyak menggunakan Bahasa Inggris akhir-akhir ini.
Ketika saya menulis entri untuk blog saya, saya selalu menulis versi Bahasa Inggris-nya dulu. Ya, bahkan untuk tulisan ini. Ketika saya mau menulis daftar apa yang harus saya kerjakan, saya pun menuliskannya dalam Bahasa Inggris.
Ketika saya berbincang dengan beberapa teman Indonesia saya, saya berbicara dalam Bahasa Inggris (shame on me (baca: memalukan), ujar saya masih dalam Bahasa Inggris). Ketika saya mau membeli buku, seringkali, saya membeli buku berbahasa Inggris.
Jadi untuk perjalanan mendatang, saya memutuskan untuk membawa buku-buku berbahasa Indonesia. Buku fiksi Indonesia. Wah, sudah lama sekali. Dengan segala rasa hormat. Maafkan.
Friday, July 11, 2008
"Saya tidak tahu"
[English]
Beberapa waktu lalu saya menulis sebuah entri tentang betapa saya tidak suka mengatakan "saya tidak tahu." Saya cukup percaya diri bahwa saya mampu untuk mengetahui apa pun yang ingin saya ketahui.
Jadi meskipun saya tidak tahu jawaban atau solusinya pada saat itu, saya yakin bahwa saya kenal seorang teman (dari teman dari teman) yang tahu. Kasih saya sedikit waktu dan saya akan mendapatkan solusinya. Pemegang teguh konsep six degrees of separation.
Namun tempo hari, saat saya tengah berbincang dengan seorang teman, saya menanyakan sebuah pertanyaan kenapa kepadanya dan dia menjawab kalau dia tidak tahu. Pertanyaan berkisar pada rasa dan saya bertanya kenapa dia merasa seperti itu. Dia menjawab tidak tahu, dia hanya merasa.
Saya memandangnya dan mengatakan, "Bukankah itu jawaban terindah yang bisa kamu berikan padaku?” Kami berdua tersenyum. Kami berdua tahu bahwa itu benar adanya.
Kadang pertanyaan-pertanyaan terpenting dalam hidup harus memiliki "saya tidak tahu" sebagai jawabannya. Kenapa kamu menyayangi orang itu? Saya tidak tahu. Saya hanya tahu saya menyayanginya. Kenapa kamu memilih melakukan ini, bukan itu? Saya tidak tahu. Karena saya mau. Bagaimana kamu dapat menjadi demikian bahagia? Saya tidak tahu. Saya hanya merasa bahagia. Di sini. Di dalam. Apakah kita memang harus tahu alasannya?
Menilik ke berbagai kejadian baru-baru ini, saya telah menggunakan jawaban "saya tidak tahu" dalam beragam kesempatan. Saya telah memutuskan melakukan banyak—termasuk di antaranya keputusan-keputusan yang cukup penting—tanpa benar-benar mengetahui alasan logis di baliknya.
Untuk beberapa hal, bahkan saya berpikir untuk bertanya atau mempertanyakan pun tidak, sampai ada orang lain yang menanyakannya kepada saya. Setelah itu pun, saya tetap pada jawaban saya bahwa "saya tidak tahu."
Saya tidak keberatan untuk tidak tahu. Karena saya tahu Kamu tahu. Dan saya percaya Kamu.
Anda tidak bisa membayangkan betapa jauh saya telah berjalan untuk sampai pada tahap ketidaktahuan ini. Untuk tahu bahwa saya tidak tahu dan tidak merasa keberatan untuk tak mengetahui. Bahkan, saya menyambutnya dengan sepenuh hati. Kenapa begitu? Saya tidak tahu.
Beberapa waktu lalu saya menulis sebuah entri tentang betapa saya tidak suka mengatakan "saya tidak tahu." Saya cukup percaya diri bahwa saya mampu untuk mengetahui apa pun yang ingin saya ketahui.
Jadi meskipun saya tidak tahu jawaban atau solusinya pada saat itu, saya yakin bahwa saya kenal seorang teman (dari teman dari teman) yang tahu. Kasih saya sedikit waktu dan saya akan mendapatkan solusinya. Pemegang teguh konsep six degrees of separation.
Namun tempo hari, saat saya tengah berbincang dengan seorang teman, saya menanyakan sebuah pertanyaan kenapa kepadanya dan dia menjawab kalau dia tidak tahu. Pertanyaan berkisar pada rasa dan saya bertanya kenapa dia merasa seperti itu. Dia menjawab tidak tahu, dia hanya merasa.
Saya memandangnya dan mengatakan, "Bukankah itu jawaban terindah yang bisa kamu berikan padaku?” Kami berdua tersenyum. Kami berdua tahu bahwa itu benar adanya.
Kadang pertanyaan-pertanyaan terpenting dalam hidup harus memiliki "saya tidak tahu" sebagai jawabannya. Kenapa kamu menyayangi orang itu? Saya tidak tahu. Saya hanya tahu saya menyayanginya. Kenapa kamu memilih melakukan ini, bukan itu? Saya tidak tahu. Karena saya mau. Bagaimana kamu dapat menjadi demikian bahagia? Saya tidak tahu. Saya hanya merasa bahagia. Di sini. Di dalam. Apakah kita memang harus tahu alasannya?
Menilik ke berbagai kejadian baru-baru ini, saya telah menggunakan jawaban "saya tidak tahu" dalam beragam kesempatan. Saya telah memutuskan melakukan banyak—termasuk di antaranya keputusan-keputusan yang cukup penting—tanpa benar-benar mengetahui alasan logis di baliknya.
Untuk beberapa hal, bahkan saya berpikir untuk bertanya atau mempertanyakan pun tidak, sampai ada orang lain yang menanyakannya kepada saya. Setelah itu pun, saya tetap pada jawaban saya bahwa "saya tidak tahu."
Saya tidak keberatan untuk tidak tahu. Karena saya tahu Kamu tahu. Dan saya percaya Kamu.
Anda tidak bisa membayangkan betapa jauh saya telah berjalan untuk sampai pada tahap ketidaktahuan ini. Untuk tahu bahwa saya tidak tahu dan tidak merasa keberatan untuk tak mengetahui. Bahkan, saya menyambutnya dengan sepenuh hati. Kenapa begitu? Saya tidak tahu.
Pilihan dalam hidup
[English]
Tampaknya seorang teman sedang gandrung dengan kata-kata “Hidup adalah tentang pilihan." Pernyataan yang membuat saya berpikir. Apa memang hidup adalah tentang pilihan? Apakah kita memang benar-benar memilih?
Ada orang yang berpaham bahwa mereka sudah mentok dengan apa yang mereka miliki saat ini. Mereka merasa tidak memiliki pilihan lain. Kebanyakan mungkin karena alasan ekonomi, namun ada kalanya lebih karena kita tidak terbiasa berpikir tentang adanya pilihan lain dalam hidup. Bahwa kita dapat berjalan lebih jauh, kalau saja kita berusaha, kalau saja kita percaya.
Kemudian ada pula orang yang sudah mulai berpikir bahwa hidup adalah tentang pilihan. Kita punya begitu banyak pilihan dalam hidup. Kita memiliki kekuatan untuk memilih. Saya agak bertanya-tanya apakah kita perlu waktu berpikir untuk memilih adalah karena kita tidak cukup mengenal diri kita.
Jika kita tahu kita lebih suka teh ketimbang kopi, jika kita lebih suka es krim stroberi ketimbang cokelat, kita bahkan tidak akan berpikir tentang kopi atau es krim cokelat. Bahkan ketika kopi dan es krim cokelat itu terhidang di hadapan, kita tidak melihatnya sebagai suatu pilihan, karena itu bukan kita. Kita akan dengan mudahnya mengatakan "teh" dan "stroberi," tanpa perlu berpikir panjang.
Lagipula, siapa kita berani-beraninya bilang kalau kita bisa mengendalikan hidup ini. Seorang teman lain pernah berkata bahwa "persepsi akan kendali itu adalah ilusi." Kita pikir kita memiliki kendali, tapi satu menit kemudian semua bisa hancur berantakan tanpa kita dapat melakukan apa-apa. Terlalu arogan apabila kita berpikir kitalah orang yang mengendalikan hidup, bahwa kitalah yang membuat pilihan-pilihan itu.
Kemudian, ada juga orang yang hanya melakukan. Mereka sekedar menapaki jalan kehidupan. Mereka tidak merasa memilih karena mereka tahu bahwa jalan itu telah dibentangkan khusus untuk mereka jalani. Mereka memiliki keyakinan. Mereka berupaya sebaik mungkin memanfaatkan apa yang ada di hadapan mereka, apa yang telah dihidangkan bagi mereka, karena mereka tahu semua ini berasal dari Dia khusus untuk mereka.
Selain itu, ada orang yang hanya mengada. Orang yang melakukan bukan sekedar demi melakukan atau menjalani apa yang ada di hadapan mereka, namun karena semua berasal dari dalam diri. Karena itulah mereka. Mereka senantiasa merujuk ke hati, bukan ke pikiran.
Nantinya, entah kapan, akan tiba waktu saat apa yang kita 'inginkan' sama persis dengan apa yang Dia inginkan. Di sini kita tidak lagi berbicara tentang 'mengada' karena yang ada hanya Dia dan tidak yang lain. Dia adalah kita tapi kita bukan benar-benar Dia.
Saya yakin ada penjelasan-penjelasan lain. Tapi saya akan berhenti di sini dan mengakhiri tulisan saya dengan apa yang ditulis oleh seorang teman dalam emailnya. Dia berujar, “Ketika kamu terhubung dengan hatimu dan bergerak berdasarkannya, semua yang kamu lakukan adalah jujur. Tidak ada benar atau salah. Hanya 'ada'. Pikiranmu tidak akan menghalangi. Kamu akan menjalaninya tanpa ragu."
Dia meneruskan, “Ketika kamu fokus untuk hanya menggali dirimu, semua hal lain akan tertata dengan sendirinya. Hati, dalam hal ini, memainkan peran yang demikian penting. Hati menjadi jembatan antara pikiran dan tindakanmu. Cinta membutuhkan hati yang terbuka untuk bisa memberi dan menerima. Semakin terbuka hatimu, semakin kamu dapat memberi dan menerima. "Dia" adalah "cinta."
Saya sangat terberkati. Saya menyadari itu. Terima kasih.
Tampaknya seorang teman sedang gandrung dengan kata-kata “Hidup adalah tentang pilihan." Pernyataan yang membuat saya berpikir. Apa memang hidup adalah tentang pilihan? Apakah kita memang benar-benar memilih?
Ada orang yang berpaham bahwa mereka sudah mentok dengan apa yang mereka miliki saat ini. Mereka merasa tidak memiliki pilihan lain. Kebanyakan mungkin karena alasan ekonomi, namun ada kalanya lebih karena kita tidak terbiasa berpikir tentang adanya pilihan lain dalam hidup. Bahwa kita dapat berjalan lebih jauh, kalau saja kita berusaha, kalau saja kita percaya.
Kemudian ada pula orang yang sudah mulai berpikir bahwa hidup adalah tentang pilihan. Kita punya begitu banyak pilihan dalam hidup. Kita memiliki kekuatan untuk memilih. Saya agak bertanya-tanya apakah kita perlu waktu berpikir untuk memilih adalah karena kita tidak cukup mengenal diri kita.
Jika kita tahu kita lebih suka teh ketimbang kopi, jika kita lebih suka es krim stroberi ketimbang cokelat, kita bahkan tidak akan berpikir tentang kopi atau es krim cokelat. Bahkan ketika kopi dan es krim cokelat itu terhidang di hadapan, kita tidak melihatnya sebagai suatu pilihan, karena itu bukan kita. Kita akan dengan mudahnya mengatakan "teh" dan "stroberi," tanpa perlu berpikir panjang.
Lagipula, siapa kita berani-beraninya bilang kalau kita bisa mengendalikan hidup ini. Seorang teman lain pernah berkata bahwa "persepsi akan kendali itu adalah ilusi." Kita pikir kita memiliki kendali, tapi satu menit kemudian semua bisa hancur berantakan tanpa kita dapat melakukan apa-apa. Terlalu arogan apabila kita berpikir kitalah orang yang mengendalikan hidup, bahwa kitalah yang membuat pilihan-pilihan itu.
Kemudian, ada juga orang yang hanya melakukan. Mereka sekedar menapaki jalan kehidupan. Mereka tidak merasa memilih karena mereka tahu bahwa jalan itu telah dibentangkan khusus untuk mereka jalani. Mereka memiliki keyakinan. Mereka berupaya sebaik mungkin memanfaatkan apa yang ada di hadapan mereka, apa yang telah dihidangkan bagi mereka, karena mereka tahu semua ini berasal dari Dia khusus untuk mereka.
Selain itu, ada orang yang hanya mengada. Orang yang melakukan bukan sekedar demi melakukan atau menjalani apa yang ada di hadapan mereka, namun karena semua berasal dari dalam diri. Karena itulah mereka. Mereka senantiasa merujuk ke hati, bukan ke pikiran.
Nantinya, entah kapan, akan tiba waktu saat apa yang kita 'inginkan' sama persis dengan apa yang Dia inginkan. Di sini kita tidak lagi berbicara tentang 'mengada' karena yang ada hanya Dia dan tidak yang lain. Dia adalah kita tapi kita bukan benar-benar Dia.
Saya yakin ada penjelasan-penjelasan lain. Tapi saya akan berhenti di sini dan mengakhiri tulisan saya dengan apa yang ditulis oleh seorang teman dalam emailnya. Dia berujar, “Ketika kamu terhubung dengan hatimu dan bergerak berdasarkannya, semua yang kamu lakukan adalah jujur. Tidak ada benar atau salah. Hanya 'ada'. Pikiranmu tidak akan menghalangi. Kamu akan menjalaninya tanpa ragu."
Dia meneruskan, “Ketika kamu fokus untuk hanya menggali dirimu, semua hal lain akan tertata dengan sendirinya. Hati, dalam hal ini, memainkan peran yang demikian penting. Hati menjadi jembatan antara pikiran dan tindakanmu. Cinta membutuhkan hati yang terbuka untuk bisa memberi dan menerima. Semakin terbuka hatimu, semakin kamu dapat memberi dan menerima. "Dia" adalah "cinta."
Saya sangat terberkati. Saya menyadari itu. Terima kasih.
Pertemanan
[English]
Saat saya membaca kembali tulisan terdahulu saya--yang merujuk ke suatu pertemuan dengan seorang teman tertentu sebagai hadiah, saya baru menyadari. Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar dan cenderung ceroboh.
Seharusnya saya menganggap bahwa "setiap pertemuan dengan setiap teman merupakan hadiah. Sebuah Anugerah."
Lebih tepat lagi, setiap teman adalah hadiah, anugerah. Titik. Dan saya dikarunia demikian banyak hadiah tersebut dalam hidup ini.
Saya hanya berharap saya tidak terlalu mengecewakan mereka (dan Kamu). Saya hanya berharap saya dapat membalas uluran tangan mereka (dan Kamu), dengan cara apapun.
PS: Terima kasih padamu (dan Kamu) untuk menyadarkan saya akan hal ini tadi malam.
Saat saya membaca kembali tulisan terdahulu saya--yang merujuk ke suatu pertemuan dengan seorang teman tertentu sebagai hadiah, saya baru menyadari. Pernyataan itu tidak sepenuhnya benar dan cenderung ceroboh.
Seharusnya saya menganggap bahwa "setiap pertemuan dengan setiap teman merupakan hadiah. Sebuah Anugerah."
Lebih tepat lagi, setiap teman adalah hadiah, anugerah. Titik. Dan saya dikarunia demikian banyak hadiah tersebut dalam hidup ini.
Saya hanya berharap saya tidak terlalu mengecewakan mereka (dan Kamu). Saya hanya berharap saya dapat membalas uluran tangan mereka (dan Kamu), dengan cara apapun.
PS: Terima kasih padamu (dan Kamu) untuk menyadarkan saya akan hal ini tadi malam.
Thursday, July 10, 2008
Sunday, July 06, 2008
Pohon dan kerendahhatian
[English]
Rendah hati--sebuah istilah yang jarang muncul dalam kamus saya, sayangnya. Bekerja dan hidup dalam dunia modern yang demikian penuh persaingan dan gerak cepat, harga diri dan bahkan kesombongan kerap dinilai sebagai pendorong yang berhasil membawa saya berjalan sejauh ini. Kesederhanaan dan kerendahhatian jarang mendapat tempat dalam permainan.
Namun, tampaknya kerendahhatian merupakan pelajaran saya bulan ini. Setidaknya, empat kali kata 'rendah hati' telah dijejalkan ke dalam kepala saya. Dua diantaranya menggunakan pohon sebagai metafora.
SATU
Cerita dari Pak Merta Ade, Bali Usada. Seorang raja dan rombongannya berjalan mengelilingi taman. Sang raja melihat pohon yang demikian kokoh,dengan buah yang lebih ranum dan daun lebih rindang ketimbang pohon lain. Raja memetik beberapa buah dari pohon itu. Rombongan pun mulai melakukan hal yang sama. Memetik beberapa buah dari pohon yang sama. Buah habis, daun dipetik. Daun habis, ranting diambil. Pohon dibiarkan tak bersisa.
Sang raja kemudian selesai memutari taman dan melihat apa yang terjadi pada pohon itu. Dia merenung, "Semakin besar kita (dibanding yang lain), semakin menjadi pusat perhatian, semakin besar kecenderungan orang lain memanfaatkan kita. Lebih baik menjadi diri yang lebih sederhana dan seperti kebanyakan yang lain."
DUA
Seorang teman terkasih menceritakan perbincangannya dengan teman lain. Teman lain itu menunjuk ke sebuah pohon, kurus, tidak terlalu banyak daun, dsb. Namun, ketahui bahwa pohon itu tetap memberikan manfaat bagi sekitarnya, sebaik yang ia biasa, sesuai dengan perannya. "Pohon kecil yang tidak diacuhkan siapa pun itu," ujarnya, "Jadilah pohon itu. Jadilah pohon itu." (Saya senang sekali dengan cerita ini).
TIGA
Teman terkasih saya itu sendiri. Di mata saya, dia bagai ensiklopedia berjalan, terutama tentang isu spiritualisme. Namun kalau Anda tak sengaja berpapasan dengannya di jalan, kemungkinan Anda hanya akan melewatinya. Dia demikian .. biasa. Dia telah menjadi pohon itu. Saya sudah lama berusaha bertemu dengan dia lagi. Tapi jadwal kami tidak pernah bertemu. Jadi ketika saya bertemu dengannya beberapa hari lalu, saya katakan padanya saya merasa mendapat hadiah. Saya merasa demikian terberkati untuk mendapat kesempatan bertemu dengannya lagi.
EMPAT
Dari sebuah sesi akhir pekan Beshara. Seluruh sesi membicarakan kerendah-hatian. Kerendahhatian sebagai prasyarat untuk melangkah ke tahap selanjutnya.
Teks yang dibahas ketika itu mengatakan [catatan: terjemahan bebas] "Kerendahhatian dalam pengertian seluas-luasnya merupakan kemiskinan jiwa, bukan kemiskinan karena kekurangan, namun karena kaidah individualisme, ia adalah sikap menerima keterbatasan kita; dengan pernyataan lain sebuah perkiraan realistis dari diri tanpa adanya ilusi diri hasil rekayasa diri itu sendiri secara berlebihan.
Singkat kata, kerendahhatian adalah penilaian jujur tentang keberadaan diri, yang merupakan hal penting dalam memahami diri secara dekat. Walau upaya untuk memahami diri ini memaktub realisasi potensi individu secara maksimal--yang pada akhirnya akan membantu proses penyempurnaan diri--, namun tetap ada sederet kekurangan dan kelemahan diri ini yang demikian buruk dan mengerikan."
Empat perulangan untuk sebuah pelajaran yang sama dalam kurun waktu satu bulan. Entah karena pelajaran ini demikian penting atau saya memang demikian sombong. Mungkin keduanya.
Rendah hati--sebuah istilah yang jarang muncul dalam kamus saya, sayangnya. Bekerja dan hidup dalam dunia modern yang demikian penuh persaingan dan gerak cepat, harga diri dan bahkan kesombongan kerap dinilai sebagai pendorong yang berhasil membawa saya berjalan sejauh ini. Kesederhanaan dan kerendahhatian jarang mendapat tempat dalam permainan.
Namun, tampaknya kerendahhatian merupakan pelajaran saya bulan ini. Setidaknya, empat kali kata 'rendah hati' telah dijejalkan ke dalam kepala saya. Dua diantaranya menggunakan pohon sebagai metafora.
SATU
Cerita dari Pak Merta Ade, Bali Usada. Seorang raja dan rombongannya berjalan mengelilingi taman. Sang raja melihat pohon yang demikian kokoh,dengan buah yang lebih ranum dan daun lebih rindang ketimbang pohon lain. Raja memetik beberapa buah dari pohon itu. Rombongan pun mulai melakukan hal yang sama. Memetik beberapa buah dari pohon yang sama. Buah habis, daun dipetik. Daun habis, ranting diambil. Pohon dibiarkan tak bersisa.
Sang raja kemudian selesai memutari taman dan melihat apa yang terjadi pada pohon itu. Dia merenung, "Semakin besar kita (dibanding yang lain), semakin menjadi pusat perhatian, semakin besar kecenderungan orang lain memanfaatkan kita. Lebih baik menjadi diri yang lebih sederhana dan seperti kebanyakan yang lain."
DUA
Seorang teman terkasih menceritakan perbincangannya dengan teman lain. Teman lain itu menunjuk ke sebuah pohon, kurus, tidak terlalu banyak daun, dsb. Namun, ketahui bahwa pohon itu tetap memberikan manfaat bagi sekitarnya, sebaik yang ia biasa, sesuai dengan perannya. "Pohon kecil yang tidak diacuhkan siapa pun itu," ujarnya, "Jadilah pohon itu. Jadilah pohon itu." (Saya senang sekali dengan cerita ini).
TIGA
Teman terkasih saya itu sendiri. Di mata saya, dia bagai ensiklopedia berjalan, terutama tentang isu spiritualisme. Namun kalau Anda tak sengaja berpapasan dengannya di jalan, kemungkinan Anda hanya akan melewatinya. Dia demikian .. biasa. Dia telah menjadi pohon itu. Saya sudah lama berusaha bertemu dengan dia lagi. Tapi jadwal kami tidak pernah bertemu. Jadi ketika saya bertemu dengannya beberapa hari lalu, saya katakan padanya saya merasa mendapat hadiah. Saya merasa demikian terberkati untuk mendapat kesempatan bertemu dengannya lagi.
EMPAT
Dari sebuah sesi akhir pekan Beshara. Seluruh sesi membicarakan kerendah-hatian. Kerendahhatian sebagai prasyarat untuk melangkah ke tahap selanjutnya.
Teks yang dibahas ketika itu mengatakan [catatan: terjemahan bebas] "Kerendahhatian dalam pengertian seluas-luasnya merupakan kemiskinan jiwa, bukan kemiskinan karena kekurangan, namun karena kaidah individualisme, ia adalah sikap menerima keterbatasan kita; dengan pernyataan lain sebuah perkiraan realistis dari diri tanpa adanya ilusi diri hasil rekayasa diri itu sendiri secara berlebihan.
Singkat kata, kerendahhatian adalah penilaian jujur tentang keberadaan diri, yang merupakan hal penting dalam memahami diri secara dekat. Walau upaya untuk memahami diri ini memaktub realisasi potensi individu secara maksimal--yang pada akhirnya akan membantu proses penyempurnaan diri--, namun tetap ada sederet kekurangan dan kelemahan diri ini yang demikian buruk dan mengerikan."
Empat perulangan untuk sebuah pelajaran yang sama dalam kurun waktu satu bulan. Entah karena pelajaran ini demikian penting atau saya memang demikian sombong. Mungkin keduanya.
Friday, July 04, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)