SENADA, sebuah proyek peningkatan daya saing dengan dana dari USAID, tengah membuka kesempatan bagi satu orang Public Relations Manager senior (Kode: PRM).
Public Relations Manager ini akan mengembangkan dan memimpin implementasi strategi komunikasi SENADA. Strategi tersebut akan mencakup rencana komunikasi SENADA secara keseluruhan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor usaha, asosiasi industri atau bisnis, pemerintah serta masyarakat yang lebih luas.
Jika Anda memenuhi kriteria ini, silakan kirimkan CV Anda beserta tiga referensi profesional (dilengkapi dengan nomor telepon dan alamat email) melalui email ke SENADA@dai.com (agar lamaran Anda dipertimbangkan Anda harus menulis kode di atas dalam subject email Anda) atau fax ke 021-579-32578 paling lambat Rabu, 24 Oktober 2007.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai posisi ini, Anda dapat men-download dokumen ini. Informasi lebih lanjut mengenai SENADA dapat dilihat di www.senada.or.id.
Tuesday, October 09, 2007
Sunday, October 07, 2007
Kajian: I'tikaf (Oleh A. Chodjim)
[English]
Kata i’tikaf sering kita dengar, terutama menjelang akhir Ramadhan. Orang berbondong-bondong untuk berkumpul di mesjid, shalat jamaah, membaca Al Qur’an dan orang Jawa bilang “le’-le’an”, gak tidur semalaman atau lebih di mesjid.
Apakah esensi i’tikaf itu sendiri?
Inti i’tikaf adalah tafakkur, perenungan untuk mencapai transformasi spiritual, kontemplasi, refleksi diri.
Merenungkan apalah langkah kita selama ini sudah benar, apakah hubungan kita dengan alam semesta sudah harmonis.
Al Qur’an tidak menjelaskan tata cara (syarat dan rukun) i’tikaf. Karena itu, tata cara ini kemudian dijelaskan oleh para imam. Setiap imam memiliki sedikit perbedaan dalam tata cara i’tikaf.
Apa pun namanya, menurut saya pribadi, perenungan itu perlu dilakukan. Perenungan bukan berarti berpikir untuk suatu objektif tertentu, mendapatkan jawaban untuk suatu masalah kita yang spesifik.
Perenungan lebih berarti membuka diri/hati terhadap masuknya energi ilahi, kuasa alam, ke dalam diri.
Energi yang kemudian menuntun kita untuk secara alami, secara otomatis, menjalani hidup sesuai kehendak Allah, sesuai misi dan fungsi kita di dunia.
Catatan lengkap dapat di-download di sini.
Kata i’tikaf sering kita dengar, terutama menjelang akhir Ramadhan. Orang berbondong-bondong untuk berkumpul di mesjid, shalat jamaah, membaca Al Qur’an dan orang Jawa bilang “le’-le’an”, gak tidur semalaman atau lebih di mesjid.
Apakah esensi i’tikaf itu sendiri?
Inti i’tikaf adalah tafakkur, perenungan untuk mencapai transformasi spiritual, kontemplasi, refleksi diri.
Merenungkan apalah langkah kita selama ini sudah benar, apakah hubungan kita dengan alam semesta sudah harmonis.
Al Qur’an tidak menjelaskan tata cara (syarat dan rukun) i’tikaf. Karena itu, tata cara ini kemudian dijelaskan oleh para imam. Setiap imam memiliki sedikit perbedaan dalam tata cara i’tikaf.
Apa pun namanya, menurut saya pribadi, perenungan itu perlu dilakukan. Perenungan bukan berarti berpikir untuk suatu objektif tertentu, mendapatkan jawaban untuk suatu masalah kita yang spesifik.
Perenungan lebih berarti membuka diri/hati terhadap masuknya energi ilahi, kuasa alam, ke dalam diri.
Energi yang kemudian menuntun kita untuk secara alami, secara otomatis, menjalani hidup sesuai kehendak Allah, sesuai misi dan fungsi kita di dunia.
Catatan lengkap dapat di-download di sini.
Saturday, October 06, 2007
The Witch of Portobello
[English]
Saya sebenarnya sudah kurang tertarik sama buku-bukunya Paulo Coelho. Dengan tetap segenap rasa hormat terhadap sang penulis berbakat ini. Cuma tidak pas aja selera saya dengan beliau.
Jadi ketika bukunya The Witch of Portobello keluar, saya bukan salah satu orang yang terburu-buru datang ke toko buku membelinya.
Sampai suatu saat salah satu teman yang sangat saya hargai merekomendasikan buku itu ke saya. Rasa ingin tahu pun muncul. Saya tahu dan percaya sama selera dia terhadap buku.
Pada hari yang saya dia meng-sms saya untuk merekomendasikan buku itu, saya pergi ke toko buku untuk membelinya. Kemudian saya membeli segelas besar kopi hitam dan duduk berjam-jam di warung kopi untuk membaca buku itu.
Saya pulang dan meneruskan bacaan saya. Saya menyelesaikan buku itu dalam satu hari. Gak bisa berhenti.
Kemudian saya cerita ke teman saya yang lain tentang the Witch of Portobello. Tanggapannya sangat tidak saya duga. Ia bilang, "Jadi, hasilnya apa?"
Sebuah pertanyaan yang tajam dan aneh untuk menanggapi sebuah cerita tentang buku yang baru dibaca. Tapi ini juga pertanyaan yang bagus. Apa ya hasilnya?
Hasilnya adalah buku ini membuat saya berpikir tentang hal yang sudah lama terlupakan oleh saya. Melempar saya kembali ke situasi introspektif dan retrospektif.
Jadi, kalau nanti ada perubahan besar dalam hidup saya dalam waktu dekat, Anda bisa salahkan si Paulo Coelho. Atau berterima kasih padanya.
Saya sebenarnya sudah kurang tertarik sama buku-bukunya Paulo Coelho. Dengan tetap segenap rasa hormat terhadap sang penulis berbakat ini. Cuma tidak pas aja selera saya dengan beliau.
Jadi ketika bukunya The Witch of Portobello keluar, saya bukan salah satu orang yang terburu-buru datang ke toko buku membelinya.
Sampai suatu saat salah satu teman yang sangat saya hargai merekomendasikan buku itu ke saya. Rasa ingin tahu pun muncul. Saya tahu dan percaya sama selera dia terhadap buku.
Pada hari yang saya dia meng-sms saya untuk merekomendasikan buku itu, saya pergi ke toko buku untuk membelinya. Kemudian saya membeli segelas besar kopi hitam dan duduk berjam-jam di warung kopi untuk membaca buku itu.
Saya pulang dan meneruskan bacaan saya. Saya menyelesaikan buku itu dalam satu hari. Gak bisa berhenti.
Kemudian saya cerita ke teman saya yang lain tentang the Witch of Portobello. Tanggapannya sangat tidak saya duga. Ia bilang, "Jadi, hasilnya apa?"
Sebuah pertanyaan yang tajam dan aneh untuk menanggapi sebuah cerita tentang buku yang baru dibaca. Tapi ini juga pertanyaan yang bagus. Apa ya hasilnya?
Hasilnya adalah buku ini membuat saya berpikir tentang hal yang sudah lama terlupakan oleh saya. Melempar saya kembali ke situasi introspektif dan retrospektif.
Jadi, kalau nanti ada perubahan besar dalam hidup saya dalam waktu dekat, Anda bisa salahkan si Paulo Coelho. Atau berterima kasih padanya.
Puasakah kita?
[English]
Lalu lintas di Jakarta beberapa hari terakhir ini telah (meng)gila. Saya tidak tahu apakah lalu lintas menjadi seperti ini karena Idul Fitri sudah tinggal seminggu lagi.
Saya masih tidak memahami kenapa lalu lintas di minggu ketiga bulan Ramadhan jauh lebih padat ketimbang lalu lintas di minggu pertama.
Balik ke niat awal saya menulis artikel ini. Jadi ceritanya saya sedang terjepit di tengah kegilaan ini. Saya melihat-lihat sekitar saya. Saya berasumsi bahwa kebanyakan orang di jalan ini semua pada puasa.
Katanya, puasa itu melatih kita untuk sabar. Untuk lebih bisa mengendalikan diri. Untuk menahan diri tidak hanya dari makanan, minuman dan seks, tetapi juga ‘melaparkan’ diri kita dari mengkonsumsi emosi negatif.
Tapi yang bisa saya lihat, saya rasakan adalah betapa agresifnya orang ketika sedang mengendarai kendaraannya. Jarak satu kendaraan dengan kendaraan lain begitu dekat. Motor bersliweran ke sana ke mari, mencoba mencari celah sempit di antara mobil-mobil yang ada.
Tidak ada yang mau memberi jalan ke yang lain. Ketika ada yang mencoba menyalip, kita bisa lihat tiba-tiba wajah si supir yang merasa tersalip mendadak menjadi tegang, emosi.
Saya jadi bertanya-tanya seberapa banyak dari kita yang benar-benar berpuasa. Dan saya tulus berharap bahwa sehabis bulan Ramadhan, kita semua dapat sungguh-sungguh merayakan idul fitri – kembalinya jiwa kita ke keadaan fitrah, suci.
Lalu lintas di Jakarta beberapa hari terakhir ini telah (meng)gila. Saya tidak tahu apakah lalu lintas menjadi seperti ini karena Idul Fitri sudah tinggal seminggu lagi.
Saya masih tidak memahami kenapa lalu lintas di minggu ketiga bulan Ramadhan jauh lebih padat ketimbang lalu lintas di minggu pertama.
Balik ke niat awal saya menulis artikel ini. Jadi ceritanya saya sedang terjepit di tengah kegilaan ini. Saya melihat-lihat sekitar saya. Saya berasumsi bahwa kebanyakan orang di jalan ini semua pada puasa.
Katanya, puasa itu melatih kita untuk sabar. Untuk lebih bisa mengendalikan diri. Untuk menahan diri tidak hanya dari makanan, minuman dan seks, tetapi juga ‘melaparkan’ diri kita dari mengkonsumsi emosi negatif.
Tapi yang bisa saya lihat, saya rasakan adalah betapa agresifnya orang ketika sedang mengendarai kendaraannya. Jarak satu kendaraan dengan kendaraan lain begitu dekat. Motor bersliweran ke sana ke mari, mencoba mencari celah sempit di antara mobil-mobil yang ada.
Tidak ada yang mau memberi jalan ke yang lain. Ketika ada yang mencoba menyalip, kita bisa lihat tiba-tiba wajah si supir yang merasa tersalip mendadak menjadi tegang, emosi.
Saya jadi bertanya-tanya seberapa banyak dari kita yang benar-benar berpuasa. Dan saya tulus berharap bahwa sehabis bulan Ramadhan, kita semua dapat sungguh-sungguh merayakan idul fitri – kembalinya jiwa kita ke keadaan fitrah, suci.
Wednesday, October 03, 2007
Menjadi seorang murid
[English]
Baru-baru ini, di rumah seorang teman dengan sekelompok orang lainnya, kami berdiskusi panjang lebar tentang puisi yang saya taruh di blog saya satunya, puisi berjudul It is a pleasure to be a student. Salah seorang teman kami adalah seorang guru. Dia bilang dia kadang ndaftar ikut suatu kelas untuk menjadi murid lagi.
Saya punya interpretasi, pemahaman yang berbeda.
Bagi saya merasa menjadi murid ketika kita memang seorang murid itu relatif mudah. Kalau saya ikut ndaftar suatu kelas, tentu saya merasa saya seorang murid karena saya memang benar-benar seorang murid.
Yang lebih menantang adalah untuk menjadi murid setiap detik dalam kehidupan kita. Untuk merasakan kerendahan hati bahwa saya bisa belajar dari orang yang sedang berada di depan saya karena ada yang dia ketahui yang tidak saya ketahui. Untuk memiliki antusiasme, keinginan, semangat untuk belajar.
Jujur deh. Ketika kita seorang manajer, direktur, vice president, seorang senior di tempat kita bekerja, dan kita berhadapan dengan seorang magang yang lulus kuliah aja belum, apa dengan mudah kita bisa merasa bahwa kita bisa belajar dari si anak magang ini? Atau kita memutarkan bola mata, tersenyum sinis dan ngedumel setiap kali dia mengatakan sesuatu yang 'gak pas'? Ya, kira-kira begitu lah.
Saya tidak bisa melupakan puisi tersebut waktu itu. Puisi itu seperti pengingat buat saya (untuk tidak mengatakan tamparan di muka)bagi orang yang sangat percaya diri, arogan, sok tahu ini untuk belajar kepada setiap orang yang ia temui, setiap kejadian yang ia alami dalam hidup ini.
Kadang saya melemparkan diri saya ke sesuatu yang benar-benar baru, sengaja atau tidak sengaja. Untuk kembali menjadi murid kelas satu, murid pemula, sekali lagi.
Mungkin sudah waktunya saya kembali melakukannya.
Baru-baru ini, di rumah seorang teman dengan sekelompok orang lainnya, kami berdiskusi panjang lebar tentang puisi yang saya taruh di blog saya satunya, puisi berjudul It is a pleasure to be a student. Salah seorang teman kami adalah seorang guru. Dia bilang dia kadang ndaftar ikut suatu kelas untuk menjadi murid lagi.
Saya punya interpretasi, pemahaman yang berbeda.
Bagi saya merasa menjadi murid ketika kita memang seorang murid itu relatif mudah. Kalau saya ikut ndaftar suatu kelas, tentu saya merasa saya seorang murid karena saya memang benar-benar seorang murid.
Yang lebih menantang adalah untuk menjadi murid setiap detik dalam kehidupan kita. Untuk merasakan kerendahan hati bahwa saya bisa belajar dari orang yang sedang berada di depan saya karena ada yang dia ketahui yang tidak saya ketahui. Untuk memiliki antusiasme, keinginan, semangat untuk belajar.
Jujur deh. Ketika kita seorang manajer, direktur, vice president, seorang senior di tempat kita bekerja, dan kita berhadapan dengan seorang magang yang lulus kuliah aja belum, apa dengan mudah kita bisa merasa bahwa kita bisa belajar dari si anak magang ini? Atau kita memutarkan bola mata, tersenyum sinis dan ngedumel setiap kali dia mengatakan sesuatu yang 'gak pas'? Ya, kira-kira begitu lah.
Saya tidak bisa melupakan puisi tersebut waktu itu. Puisi itu seperti pengingat buat saya (untuk tidak mengatakan tamparan di muka)bagi orang yang sangat percaya diri, arogan, sok tahu ini untuk belajar kepada setiap orang yang ia temui, setiap kejadian yang ia alami dalam hidup ini.
Kadang saya melemparkan diri saya ke sesuatu yang benar-benar baru, sengaja atau tidak sengaja. Untuk kembali menjadi murid kelas satu, murid pemula, sekali lagi.
Mungkin sudah waktunya saya kembali melakukannya.
Sepi
[English]
Saya baru menyadari bahwa sudah lama saya tidak menulis di blog saya. Di blog yang mana pun.
Bukannya saya tidak mau. Bukannya saya tidak punya waktu. Tetapi saya hanya tidak tahu mau menulis apa.
Saya tidak tahu harus menulis apa. Weleh, kacau.
Seorang teman pernah bilang bahwa menurutnya tulisan-tulisan saya selama saya di Spanyol bagus-bagus. Dia bertanya apakah itu karena suasana mendukung, atau karena situasi hati saya. Dua-duanya.
Jadi jika saya menulis dengan baik apabila suasana sekitar mendukung dan hati saya sedang dalam suasana hati yang pas, maka apa arti "gak tau mau nulis apa"? Weleh, kacau.
Saya baru menyadari bahwa sudah lama saya tidak menulis di blog saya. Di blog yang mana pun.
Bukannya saya tidak mau. Bukannya saya tidak punya waktu. Tetapi saya hanya tidak tahu mau menulis apa.
Saya tidak tahu harus menulis apa. Weleh, kacau.
Seorang teman pernah bilang bahwa menurutnya tulisan-tulisan saya selama saya di Spanyol bagus-bagus. Dia bertanya apakah itu karena suasana mendukung, atau karena situasi hati saya. Dua-duanya.
Jadi jika saya menulis dengan baik apabila suasana sekitar mendukung dan hati saya sedang dalam suasana hati yang pas, maka apa arti "gak tau mau nulis apa"? Weleh, kacau.
Subscribe to:
Posts (Atom)