Saat matahari terbit dan terbenam dijuluki saat-saat emas dalam dunia fotografi.
Saya jadi mencoba mengingat kapan saya duduk sambil menikmati saat-saat emas ini. Anda kapan?
Sedih ya.
Friday, March 21, 2008
Monday, March 17, 2008
Saya dan buku
[English]
Saya dan buku sudah berteman lama. Mereka adalah salah satu sahabat terdekat saya. Mereka telah membantu saya berjalan jauh, melebihi yang bisa saya bayangkan. Saya berterima kasih pada mereka. Saya berterima kasih pada ibu bapak saya.
Saya sedang main ke tempat teman minggu lalu. Dia telah membuka sebuah perpustakaan kecil bagi anak-anak di lingkungannya. Saya bercerita kecintaan saya tentang buku padanya. Dan saya ceritakan awal kecintaan itu mulai tumbuh.
Ketika saya masih kecil, ibu mengajak saya ke pasar beberapa kali tiap minggunya. Hampir setiap kali, beliau menitipkan saya di salah satu toko buku di sana.
Sang empunya toko dengan baik hati membiarkan saya menjelajahi tokonya, membaca apa pun yang saya inginkan. Komik, atlas, sejarah, geografi, pengetahuan umum, novel, apa pun. Kecintaan saya terhadap buku pun tumbuh.
Bapak turut pula menyuburkan kecintaan saya membaca. Bahkan ketika saya masih di sekolah dasar pun, beliau bisa dikatakan ‘mengharuskan’ saya untuk membaca surat kabar sebelum saya pergi sekolah.
Bapak kerap mendiskusikan kejadian yang tertulis di surat kabar dengan saya. Kecintaan saya pada membaca bertumbuh. Begitu pula dengan kemampuan (dan kegemaran) saya untuk menganalisis.
Saya dan buku sudah berteman lama. Dan perjalanan kami masih jauh. Saya hanya berharap setiap anak memiliki kesempatan yang sama dengan saya. Kalau saja mereka menyadari betapa jauh mereka bisa mengembara, secara intelektual dan imajinasi.
Saya berterima kasih pada para buku. Saya berterima kasih pada ibu bapak saya.
Saya dan buku sudah berteman lama. Mereka adalah salah satu sahabat terdekat saya. Mereka telah membantu saya berjalan jauh, melebihi yang bisa saya bayangkan. Saya berterima kasih pada mereka. Saya berterima kasih pada ibu bapak saya.
Saya sedang main ke tempat teman minggu lalu. Dia telah membuka sebuah perpustakaan kecil bagi anak-anak di lingkungannya. Saya bercerita kecintaan saya tentang buku padanya. Dan saya ceritakan awal kecintaan itu mulai tumbuh.
Ketika saya masih kecil, ibu mengajak saya ke pasar beberapa kali tiap minggunya. Hampir setiap kali, beliau menitipkan saya di salah satu toko buku di sana.
Sang empunya toko dengan baik hati membiarkan saya menjelajahi tokonya, membaca apa pun yang saya inginkan. Komik, atlas, sejarah, geografi, pengetahuan umum, novel, apa pun. Kecintaan saya terhadap buku pun tumbuh.
Bapak turut pula menyuburkan kecintaan saya membaca. Bahkan ketika saya masih di sekolah dasar pun, beliau bisa dikatakan ‘mengharuskan’ saya untuk membaca surat kabar sebelum saya pergi sekolah.
Bapak kerap mendiskusikan kejadian yang tertulis di surat kabar dengan saya. Kecintaan saya pada membaca bertumbuh. Begitu pula dengan kemampuan (dan kegemaran) saya untuk menganalisis.
Saya dan buku sudah berteman lama. Dan perjalanan kami masih jauh. Saya hanya berharap setiap anak memiliki kesempatan yang sama dengan saya. Kalau saja mereka menyadari betapa jauh mereka bisa mengembara, secara intelektual dan imajinasi.
Saya berterima kasih pada para buku. Saya berterima kasih pada ibu bapak saya.
Pelajaran ulang
[English]
Sabtu pagi/siang lalu, saya ngobrol ngalor ngidul dengan teman saya. Salah satu yang saya ceritakan adalah tentang teman saya yang lain. Seorang yang sangat sibuk dengan kehidupan yang begitu rumit.
Saya menyebut dia salah satu guru terbesar saya. Sahabat saya.
Setiap kita akan bertemu, pasti ada saja hal terjadi. Meeting-nya yang molor. Restoran tempat kita ketemu tutup, hp dia mati, jadi dia tidak bisa menghubungi saya. Dia dapat kerjaan mendadak dari bosnya. Dia harus beli sesuatu buat keluarganya. Dsb. Dsb.
Jadi telat satu dua jam buat dia adalah ‘normal’. Bahkan, cukup bagus ketimbang tiga atau empat jam. Atau tidak jadi datang. Atau tidak datang tanpa ada pemberitahuan.
Tentunya, saya yang menjunjung tinggi ketepatan waktu dan pemenuhan janji ini agak-agak kesal setiap kali teman saya itu telat. Namun, entah kenapa, saya tetap saja membuat janji bertemu dengannya, dan dia pun tetap membuat janji dengan saya.
Saya tidak menyadari pelajaran yang tengah saya jalani hingga suatu hari, kami janjian ketemu lagi. Saya mengunjungi kotanya dan kami seharusnya bertemu setelah jam kerja. Ketika saya meng-smsnya setibanya saya di tempat kita harusnya ketemu, dia hanya menjawab, “maaf, harus beli sesuatu buat anakku.”
Hebatnya, saya hanya mengatakan (atau merasa) “ok”. Kemudian saya langsung mengangkat telepon saya, menelepon teman yang lain, dan bilang “kayaknya kita jadi bisa ketemu nih sekarang.” Hidup pun berjalan terus. Tanpa ada rasa sakit apapun.
Saya kemudian menyadari bahwa saya telah lulus dari salah satu pelajaran saya. Pelajaran untuk (tidak) menjadi emosional ketika orang mendadak berubah pikiran, ketika orang tiba-tiba punya acara/rencana lain, dan ketika orang tidak memenuhi janjinya.
Saya mulai melihat peristiwa dari sudut pandang orang lain. Teman saya itu hidupnya sudah rumit. Begitu juga mungkin orang-orang yang lain. Mungkin terlalu egois buat saya untuk marah. Mungkin memang hal itu sebaiknya tidak terjadi.
Sabtu malam lalu, saya seharusnya bertemu dengan teman yang lain. Lucunya, dia pun tidak muncul. Tidak ada telepon. Tidak ada pemberitahuan apa-apa. Dan saya merasa baik-baik saja. “Ok, kalau gitu, saya bisa santai dan menyelesaikan buku saya.” (keesokan paginya dia sms mengatakan dia sakit).
Pengalaman yang saya ceritakan ke teman saya pada Sabtu siang kini tampak sebagai pelajaran ulang untuk kejadian Sabtu malamnya.
Saya diingatkan pada pelajaran masa lalu saya, pelajaran yang sudah saya lewati dengan sukses. Sapaan lembut bagi saya agar saya tidak terjerembab ke dalam jebakan itu kembali. Terima kasih.
Sabtu pagi/siang lalu, saya ngobrol ngalor ngidul dengan teman saya. Salah satu yang saya ceritakan adalah tentang teman saya yang lain. Seorang yang sangat sibuk dengan kehidupan yang begitu rumit.
Saya menyebut dia salah satu guru terbesar saya. Sahabat saya.
Setiap kita akan bertemu, pasti ada saja hal terjadi. Meeting-nya yang molor. Restoran tempat kita ketemu tutup, hp dia mati, jadi dia tidak bisa menghubungi saya. Dia dapat kerjaan mendadak dari bosnya. Dia harus beli sesuatu buat keluarganya. Dsb. Dsb.
Jadi telat satu dua jam buat dia adalah ‘normal’. Bahkan, cukup bagus ketimbang tiga atau empat jam. Atau tidak jadi datang. Atau tidak datang tanpa ada pemberitahuan.
Tentunya, saya yang menjunjung tinggi ketepatan waktu dan pemenuhan janji ini agak-agak kesal setiap kali teman saya itu telat. Namun, entah kenapa, saya tetap saja membuat janji bertemu dengannya, dan dia pun tetap membuat janji dengan saya.
Saya tidak menyadari pelajaran yang tengah saya jalani hingga suatu hari, kami janjian ketemu lagi. Saya mengunjungi kotanya dan kami seharusnya bertemu setelah jam kerja. Ketika saya meng-smsnya setibanya saya di tempat kita harusnya ketemu, dia hanya menjawab, “maaf, harus beli sesuatu buat anakku.”
Hebatnya, saya hanya mengatakan (atau merasa) “ok”. Kemudian saya langsung mengangkat telepon saya, menelepon teman yang lain, dan bilang “kayaknya kita jadi bisa ketemu nih sekarang.” Hidup pun berjalan terus. Tanpa ada rasa sakit apapun.
Saya kemudian menyadari bahwa saya telah lulus dari salah satu pelajaran saya. Pelajaran untuk (tidak) menjadi emosional ketika orang mendadak berubah pikiran, ketika orang tiba-tiba punya acara/rencana lain, dan ketika orang tidak memenuhi janjinya.
Saya mulai melihat peristiwa dari sudut pandang orang lain. Teman saya itu hidupnya sudah rumit. Begitu juga mungkin orang-orang yang lain. Mungkin terlalu egois buat saya untuk marah. Mungkin memang hal itu sebaiknya tidak terjadi.
Sabtu malam lalu, saya seharusnya bertemu dengan teman yang lain. Lucunya, dia pun tidak muncul. Tidak ada telepon. Tidak ada pemberitahuan apa-apa. Dan saya merasa baik-baik saja. “Ok, kalau gitu, saya bisa santai dan menyelesaikan buku saya.” (keesokan paginya dia sms mengatakan dia sakit).
Pengalaman yang saya ceritakan ke teman saya pada Sabtu siang kini tampak sebagai pelajaran ulang untuk kejadian Sabtu malamnya.
Saya diingatkan pada pelajaran masa lalu saya, pelajaran yang sudah saya lewati dengan sukses. Sapaan lembut bagi saya agar saya tidak terjerembab ke dalam jebakan itu kembali. Terima kasih.
Thursday, March 06, 2008
Ujar sang sungai pada saya
[English]
Saya dan beberapa teman membincangkan puisi It’s a pleasure to be a student. Salah seorang teman menanyakan kata-kata “Rivers show me the nature of myself.” Dia bertanya apa yang bisa ditunjukkan oleh sungai pada kita?
Pertanyaan itu membawa saya kembali ke saat saya mengunjungi Anahata, Ubud, Bali.
Di penghujung waktu saya di sana, kami turun ke sungai di dekat tempat kami menginap.
Saya mencelupkan kaki-kaki saya ke dalam sungai. Saya gerakkan kedua kaki saya dan bermain-main dengan air sungai. Tentunya, kaki-kaki saya bergerak-gerak. Sensasinya menyenangkan.
Kemudian saya menghentikan gerakan saya, seraya masih membiarkan kaki-kaki saya tercelup dalam sungai. Dan apa yang saya lihat, menggerakkan bathin saya.
Saya melihat kaki saya tetap bergerak. Kaki saya digerakkan—seperti dimainkan—oleh air sungai yang mengalir. Sensasinya begitu menyenangkan. Jauh.
Mungkin demikian pula layaknya kita menjalani hidup ini. Jika kita berpasrah pada alam, maka alam akan menggerakkan kita, dengan anggun dan penuh cinta (kadang seperti anak kecil yang tengah asyik bermain).
Kita tidak perlu mencoba melawan atau bergerak melawannya untuk mendapatkan sensasi diri yang menyenangkan. Mungkin ada benarnya juga kata-kata mencoba terlalu keras.
Kita hanya perlu mengapresiasi, menyerahkan diri dan mengalir bersamanya. Merasakan, menikmati, sensasi yang jauh lebih agung.
Dan itulah, kata saya pada sang teman, yang telah ditunjukkan oleh sungai pada saya.
Gambar: dari Anahata Villa & Spa Resort.
Saya dan beberapa teman membincangkan puisi It’s a pleasure to be a student. Salah seorang teman menanyakan kata-kata “Rivers show me the nature of myself.” Dia bertanya apa yang bisa ditunjukkan oleh sungai pada kita?
Pertanyaan itu membawa saya kembali ke saat saya mengunjungi Anahata, Ubud, Bali.
Di penghujung waktu saya di sana, kami turun ke sungai di dekat tempat kami menginap.
Saya mencelupkan kaki-kaki saya ke dalam sungai. Saya gerakkan kedua kaki saya dan bermain-main dengan air sungai. Tentunya, kaki-kaki saya bergerak-gerak. Sensasinya menyenangkan.
Kemudian saya menghentikan gerakan saya, seraya masih membiarkan kaki-kaki saya tercelup dalam sungai. Dan apa yang saya lihat, menggerakkan bathin saya.
Saya melihat kaki saya tetap bergerak. Kaki saya digerakkan—seperti dimainkan—oleh air sungai yang mengalir. Sensasinya begitu menyenangkan. Jauh.
Mungkin demikian pula layaknya kita menjalani hidup ini. Jika kita berpasrah pada alam, maka alam akan menggerakkan kita, dengan anggun dan penuh cinta (kadang seperti anak kecil yang tengah asyik bermain).
Kita tidak perlu mencoba melawan atau bergerak melawannya untuk mendapatkan sensasi diri yang menyenangkan. Mungkin ada benarnya juga kata-kata mencoba terlalu keras.
Kita hanya perlu mengapresiasi, menyerahkan diri dan mengalir bersamanya. Merasakan, menikmati, sensasi yang jauh lebih agung.
Dan itulah, kata saya pada sang teman, yang telah ditunjukkan oleh sungai pada saya.
Gambar: dari Anahata Villa & Spa Resort.
Monday, March 03, 2008
Subscribe to:
Posts (Atom)