[English]
Semalam saya melayat ke pemakaman keluarga seorang teman.
Saya takjub melihat betapa banyaknya bunga yang diterima dan jumlah orang yang berkunjung ke sana. Saya tidak menyangka bahwa keluarganya sedemikian populer dan bagian dari komunintas 'itu'.
Rasa hormat saya ke teman saya bertambah semalam. Bukan karena sekarang saya tahu kalau dia keluarga berada. Tapi karena betapa dia bisa tetap demikian sederhana meskipun keluarganya sangat berada.
Dibutuhkan kedewasaan, kepercayaan diri dan kesadaran yang tinggi untuk memiliki kerendahan hati seperti itu. Saya bersyukur diberikan kesempatan untuk menjadi temannya.
Terima kasih atas pelajaran yang diberikan. Semoga damai dan cinta selalu menyertai keluargamu.
Wednesday, December 12, 2007
Monday, December 03, 2007
Anahata Villa & Spa Resort
[English]
Saya pergi ke Ubud akhir pekan lalu untuk mengikuti program Healing power of ikhlas yang diselenggarakan bersama oleh True Nature Healing dan Kata Hati Institute.
Saya ingin bercerita banyak tentang program ini tapi saya sedang menunggu handout yang mau dikirim oleh si penyelenggara lewat e-mail. Biar ceritanya tepat dan lengkap. Jadi sementara, saya akan bercerita tentang tempat kami menginap yang begitu indah: Anahata Villa & Spa Resort.
Di paragraf pertama dalam brosurnya, tertulis:
“Nestled in the lush landscape of the Petanu River bank, Anahata is a world class Bali hotel villa. Surrounded by verdant tropical forest and restful waters, visitors to these Bali vacation villas experience the tranquility of a pristine environment with all the amenities of luxurious living.” (Sori Bahasa Inggris, abis susah nerjemahinnya).
Anda bisa membaca lebih lanjut tentang tempat ini di situs webnya. Saya ingin bercerita tentang sesuatu yang tak tertulis dalam brosur maupun situsnya.
Tentang nama. Menurut Wikipedia yang handal selalu itu, chakra Anahata secara fisik terletak di daerah jantung. Anahata dikaitkan dengan kemampuan untuk mengambil keputusan di luar realita karma.
Dalam Anahata, seseorang mengambil berbagai keputusan, mengikuti kata hatinya, berdasarkan diri yang lebih ‘agung’, dan bukan berdasarkan emosi yang belum terpuaskan maupun nafsu dari diri yang lebih rendah.
Pohon pengabul keinginan, kalpa taru, tumbuh di sini, menyimbolkan kemampuan untuk memanifestasi apa pun yang Anda inginkan terjadi di dunia.
Anahata juga diasosiasikan dengan cinta dan kasih, pemberian terhadap sesama, dan bentuk penyembuhan psikis.
Wah, indah betul namanya.
Tentang orang-orang yang ada di sana. Saya berkesempatan untuk bertemu Onie Djatmiko, pemilih Anahata resort. Dia—beserta seluruh stafnya, seluruhnya—benar-benar ingin melayani semua tamunya. Dan kalau Anda kenal saya secara personal, Anda pasti tahu ini merupakan pujian yang tinggi dari saya.
Saya bisa pinjem hair dryer? Tentu. Bagaimana cara membuat sup ini? Oh kita melakukan ini dan itu. Nanti saya berikan resepnya ya.
Saya meninggalkan botol air mineral saya di meja restoran karena saya mau ke toilet sebentar. Waktu saya kembali, botol itu sudah penuh terisi kembali.
“Bus Ibu ke airport baru akan pergi satu jam lagi. Masih ada waktu lho untuk menikmati satu cangkir the lagi. Complimentary.”
Tentang sungai. Sungai yang mengalir di tepi Anahata benar-benar luar biasa. Resort ini terletak di tepi pertemuan dua sungai. Orang Bali percaya bahwa lokasi pertemuan dua sungai merupakan tempat yang bertuah, suci, penuh luapan energi. Anda harus berada di sana, benar-benar berada di sana, untuk memahaminya.
Tempat favorit saya, tepi sungai. Pagi-pagi (atau jam berapa pun, tidak masalah). Sendiri (atau bersama orang lain, sama nikmatnya).
Onie, tempatmu indah sekali.
Terima kasih sudah berbagi.
Gambar: dari Anahata resort.
Saya pergi ke Ubud akhir pekan lalu untuk mengikuti program Healing power of ikhlas yang diselenggarakan bersama oleh True Nature Healing dan Kata Hati Institute.
Saya ingin bercerita banyak tentang program ini tapi saya sedang menunggu handout yang mau dikirim oleh si penyelenggara lewat e-mail. Biar ceritanya tepat dan lengkap. Jadi sementara, saya akan bercerita tentang tempat kami menginap yang begitu indah: Anahata Villa & Spa Resort.
Di paragraf pertama dalam brosurnya, tertulis:
“Nestled in the lush landscape of the Petanu River bank, Anahata is a world class Bali hotel villa. Surrounded by verdant tropical forest and restful waters, visitors to these Bali vacation villas experience the tranquility of a pristine environment with all the amenities of luxurious living.” (Sori Bahasa Inggris, abis susah nerjemahinnya).
Anda bisa membaca lebih lanjut tentang tempat ini di situs webnya. Saya ingin bercerita tentang sesuatu yang tak tertulis dalam brosur maupun situsnya.
Tentang nama. Menurut Wikipedia yang handal selalu itu, chakra Anahata secara fisik terletak di daerah jantung. Anahata dikaitkan dengan kemampuan untuk mengambil keputusan di luar realita karma.
Dalam Anahata, seseorang mengambil berbagai keputusan, mengikuti kata hatinya, berdasarkan diri yang lebih ‘agung’, dan bukan berdasarkan emosi yang belum terpuaskan maupun nafsu dari diri yang lebih rendah.
Pohon pengabul keinginan, kalpa taru, tumbuh di sini, menyimbolkan kemampuan untuk memanifestasi apa pun yang Anda inginkan terjadi di dunia.
Anahata juga diasosiasikan dengan cinta dan kasih, pemberian terhadap sesama, dan bentuk penyembuhan psikis.
Wah, indah betul namanya.
Tentang orang-orang yang ada di sana. Saya berkesempatan untuk bertemu Onie Djatmiko, pemilih Anahata resort. Dia—beserta seluruh stafnya, seluruhnya—benar-benar ingin melayani semua tamunya. Dan kalau Anda kenal saya secara personal, Anda pasti tahu ini merupakan pujian yang tinggi dari saya.
Saya bisa pinjem hair dryer? Tentu. Bagaimana cara membuat sup ini? Oh kita melakukan ini dan itu. Nanti saya berikan resepnya ya.
Saya meninggalkan botol air mineral saya di meja restoran karena saya mau ke toilet sebentar. Waktu saya kembali, botol itu sudah penuh terisi kembali.
“Bus Ibu ke airport baru akan pergi satu jam lagi. Masih ada waktu lho untuk menikmati satu cangkir the lagi. Complimentary.”
Tentang sungai. Sungai yang mengalir di tepi Anahata benar-benar luar biasa. Resort ini terletak di tepi pertemuan dua sungai. Orang Bali percaya bahwa lokasi pertemuan dua sungai merupakan tempat yang bertuah, suci, penuh luapan energi. Anda harus berada di sana, benar-benar berada di sana, untuk memahaminya.
Tempat favorit saya, tepi sungai. Pagi-pagi (atau jam berapa pun, tidak masalah). Sendiri (atau bersama orang lain, sama nikmatnya).
Onie, tempatmu indah sekali.
Terima kasih sudah berbagi.
Gambar: dari Anahata resort.
Saya.
[English]
Saya anak dari orang tua saya. Saya adik dari kakak-kakak saya. Saya profesi saya. Saya kawan dari teman-teman saya. Saya pengikut agama saya. Saya warga dari negara saya.
Definisi jamak untuk satu individu. Aneh.
Saya coba definisikan diri melalu masalah-masalah saya. Namun tiba-tiba masalah-masalah itu terasa tidak penting. Tidak relevan. Tidak pas.
Saya bukan apa-apa kecuali terberkati. Dicintai. Dan cinta itu sendiri.
Saya ini Anda. Anda adalah saya. Kemudian kata-kata saya, Anda, dia, kami, kalian, dan mereka menjadi membingungkan. Rasanya tidak logis. Mungkin sudah tidak relevan.
Kenapa juga mesti terbedakan?
Saya diminta membayangkan sebuah ruang sebagai simbolisasi dari saya, dan mengembangkan luas ruang itu. Saya bayangkan meruntuhkan tembok pembatas ruang dan melihat padang rumput menghijau di bawah naungan langit biru terang.
Saya merasa bebas, sampai saya sadar bahwa dunia saya masih terbatasi dengan tanah tempat saya berpijak. Saya masih menaruh batasan. Kebebasan mutlak masih sekedar ilusi.
Saya terlalu cepat berkesimpulan. Saya puas secara prematur. Ego kembali berbicara.
Saya terbayang dunia untuk memahami bahwa saya ini dunia, alam itu sendiri.
Saya melangkah ke belakang untuk melihat saya lebih jelas. Tapi sejauh apapun saya melangkah, saya tetap tidak bisa melihat diri saya. Saya tidak ada.
Saya bertanya-tanya.
Saya agung, saya pun sekedar setitik noktah tak perlu.
Konsep dualitas ini semakin membingungkan. Tidak logis. Tidak lagi relevan. Pembedaan itu tidak perlu. Tidak ada alasan untuk melakukannya.
Tidak ada kejamakan . Pilih satu kata ganti dan pakai satu itu saja. Satu saja cukup. Tidak pernah perlu lebih.
Saya melebih-lebihkan, seperti biasa.
Saya mau melakukan perjalanan menembus waktu. Kemudian saya menyadari tidak ada waktu untuk ditembus. Saya tidak melihat adanya tujuan atau dimensi lain.
Saat ini hanya satu-satunya yang ada.
Saya duduk di tepi sungai dan ingin bermain dengan air yang mengalir di bawah saya. Saya celupkan kaki ke dalam air dan menggerak-gerakkannya.
Kemudian saya berhenti dan sadar bahwa kaki-kaki saya tetap bergerak tanpa saya gerakkan. Aliran sungai telah melakukannya untuk saya. Sekarang semua menjadi logis. Saya tersenyum tanpa berusaha untuk tersenyum.
Izinkan alam melakukannya. Ikhlas. Saksikan keagungan menjelma.
Hiduplah dari ini, ujarnya seraya tersenyum.
Jiwa memahami. Yang lain masih perlu memproses.
Saya anak dari orang tua saya. Saya adik dari kakak-kakak saya. Saya profesi saya. Saya kawan dari teman-teman saya. Saya pengikut agama saya. Saya warga dari negara saya.
Definisi jamak untuk satu individu. Aneh.
Saya coba definisikan diri melalu masalah-masalah saya. Namun tiba-tiba masalah-masalah itu terasa tidak penting. Tidak relevan. Tidak pas.
Saya bukan apa-apa kecuali terberkati. Dicintai. Dan cinta itu sendiri.
Saya ini Anda. Anda adalah saya. Kemudian kata-kata saya, Anda, dia, kami, kalian, dan mereka menjadi membingungkan. Rasanya tidak logis. Mungkin sudah tidak relevan.
Kenapa juga mesti terbedakan?
Saya diminta membayangkan sebuah ruang sebagai simbolisasi dari saya, dan mengembangkan luas ruang itu. Saya bayangkan meruntuhkan tembok pembatas ruang dan melihat padang rumput menghijau di bawah naungan langit biru terang.
Saya merasa bebas, sampai saya sadar bahwa dunia saya masih terbatasi dengan tanah tempat saya berpijak. Saya masih menaruh batasan. Kebebasan mutlak masih sekedar ilusi.
Saya terlalu cepat berkesimpulan. Saya puas secara prematur. Ego kembali berbicara.
Saya terbayang dunia untuk memahami bahwa saya ini dunia, alam itu sendiri.
Saya melangkah ke belakang untuk melihat saya lebih jelas. Tapi sejauh apapun saya melangkah, saya tetap tidak bisa melihat diri saya. Saya tidak ada.
Saya bertanya-tanya.
Saya agung, saya pun sekedar setitik noktah tak perlu.
Konsep dualitas ini semakin membingungkan. Tidak logis. Tidak lagi relevan. Pembedaan itu tidak perlu. Tidak ada alasan untuk melakukannya.
Tidak ada kejamakan . Pilih satu kata ganti dan pakai satu itu saja. Satu saja cukup. Tidak pernah perlu lebih.
Saya melebih-lebihkan, seperti biasa.
Saya mau melakukan perjalanan menembus waktu. Kemudian saya menyadari tidak ada waktu untuk ditembus. Saya tidak melihat adanya tujuan atau dimensi lain.
Saat ini hanya satu-satunya yang ada.
Saya duduk di tepi sungai dan ingin bermain dengan air yang mengalir di bawah saya. Saya celupkan kaki ke dalam air dan menggerak-gerakkannya.
Kemudian saya berhenti dan sadar bahwa kaki-kaki saya tetap bergerak tanpa saya gerakkan. Aliran sungai telah melakukannya untuk saya. Sekarang semua menjadi logis. Saya tersenyum tanpa berusaha untuk tersenyum.
Izinkan alam melakukannya. Ikhlas. Saksikan keagungan menjelma.
Hiduplah dari ini, ujarnya seraya tersenyum.
Jiwa memahami. Yang lain masih perlu memproses.
Subscribe to:
Posts (Atom)