[English]
Akhirnya tiba juga saatnya. Saya akan pergi sekitar tujuh-delapan bulan untuk belajar di Sekolah Beshara, Skotlandia, Britania Raya. Insya Allah saya akan menjumpai Anda kembali pada bulan April atau Mei 2009. Jangan terlalu nakal. Tetap bersenang-senang. Baek-baek.
-eva
Gambar: Diambil di salah satu ruas jalan Orchard Road, Singapura.
Tuesday, September 16, 2008
Rembulan dan rintik hujan
[English]
…
Dan rembulan adalah tempat dua teman senang bertemu, berbagi cerita tentang terang dan gulita. Dalam hening, kicau kata, gelak tawa dan air mata—kadang semua teraduk menjadi satu.
Atau bahkan melalui saling tukar tatapan kriptik, bahasa tubuh yang demikian halus, dan siratan senyum yang hanya dapat dipahami oleh keduanya.
Rembulan memang titik temu sempurna. Rembulan tidak berdaya untuk menghasilkan sinar sendiri. Ia sekedar memantulkan sinar yang ia dapat (kebanyakan) dari matahari—layaknya dua teman yang mencerminkan satu dengan yang lain. Rembulan menyinar dengan terang yang lembut. Tak pernah menyilaukan, namun tetap menghadirkan kehangatan sederhana bagi hati dan mengulas senyum bagi bibir.
Jadi, tampaknya aku akan bertemu denganmu malam ini di langit, dimana rembulan menjelma—purnama maupun tidak. Putih, jingga, abu atau merah jambu. Untuk sekali ini saja, aku tak terlalu peduli terhadap detail.
Bahkan bila rembulan tak merupa pun, kita tahu bahwa ia ada. Kita tetap tahu di mana harus bertemu. Kita tetap bertemu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena ia sibuk menyinari belahan dunia lain. Tak apa. Cahaya rembulan cukup melimpah bagi semua. Namun ingat, keindahan hangat yang menyelimuti kita, tetaplah ekslusif untuk kita. Aku tahu. Begitu pula dirimu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena rute edarnya yang tidak mudah diprediksi, tak semudah mentari. Aku rasa itu bagian dari keindahan sang rembulan--membuat kita terus menebak, memunculkan rasa penasaran dan kadang merindu. (Aku mulai bertanya-tanya apakah matahari adalah satu-satunya yang dicerminkan oleh sang rembulan.)
Atau mungkin rembulan tak menampakkan diri karena terhalang awan. Itu pun aku tak keberatan. Karena awan membawa janji-janji akan turunnya hujan. Hujan pula mengingatkan aku pada dirimu.
Dan di tempat yang akan kukunjungi ini—hujan turun setiap saat.
---
Tantanganku bukanlah untuk mengingatkan diri agar mendongak menatap langit malam. Tantanganku adalah untuk tidak terus-menerus mendongak. Aku tahu aku harus memfokuskan diri pada apa yang terbentang di hadapanku dan tidak mengizinkan hati ini berkelana terlalu sering, bahkan untuk mengembara menjenguk dirimu sekalipun.
Lagipula, jauh di dasar hati, aku tahu kau akan baik-baik saja. Kau memang sedemikian kuat dan terberkati. Dan itu satu-satunya yang aku perlu tahu. Satu-satunya hal yang penting bagiku.
Temanku tersayang. Mentor spiritualku dalam mencinta, merasa (lagi), berekspresi (lagi), dan—kini—untuk melepaskan. To let go. Aku tahu aku mesti membiarkan dirimu menapaki perjalananmu sendiri.
Dan tempatku adalah dua langkah di belakangmu, atau tepatnya, di sekitarmu. Di belakang ruangan, menyeruput kopi hitam hangat, mencicipi kue kecil, dan mencelotehkan obrolan tak bermakna dengan sosok di sebelahku. Tersenyum bangga kepadamu, karenamu.
Sementara kau berada di atas panggung, kembali bertumbuh dengan indah, dan wangi dan liar dan segar, serta penuh rasa syukur atas segala hal kecil yang mengada.
Waktu telah tiba bagi kita untuk meneruskan perjalanan. Entah bersama atau sendiri-sendiri, atau kadang bersama kadang terpisah. Ya, mungkin itu. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan dan bagian dari karunia dalam hidup ini.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Foto pertama diambil di Ubud (Bali), kedua dari sini dan ketiga di Anomali Coffee (Senopati, Jakarta).
…
Dan rembulan adalah tempat dua teman senang bertemu, berbagi cerita tentang terang dan gulita. Dalam hening, kicau kata, gelak tawa dan air mata—kadang semua teraduk menjadi satu.
Atau bahkan melalui saling tukar tatapan kriptik, bahasa tubuh yang demikian halus, dan siratan senyum yang hanya dapat dipahami oleh keduanya.
Rembulan memang titik temu sempurna. Rembulan tidak berdaya untuk menghasilkan sinar sendiri. Ia sekedar memantulkan sinar yang ia dapat (kebanyakan) dari matahari—layaknya dua teman yang mencerminkan satu dengan yang lain. Rembulan menyinar dengan terang yang lembut. Tak pernah menyilaukan, namun tetap menghadirkan kehangatan sederhana bagi hati dan mengulas senyum bagi bibir.
Jadi, tampaknya aku akan bertemu denganmu malam ini di langit, dimana rembulan menjelma—purnama maupun tidak. Putih, jingga, abu atau merah jambu. Untuk sekali ini saja, aku tak terlalu peduli terhadap detail.
Bahkan bila rembulan tak merupa pun, kita tahu bahwa ia ada. Kita tetap tahu di mana harus bertemu. Kita tetap bertemu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena ia sibuk menyinari belahan dunia lain. Tak apa. Cahaya rembulan cukup melimpah bagi semua. Namun ingat, keindahan hangat yang menyelimuti kita, tetaplah ekslusif untuk kita. Aku tahu. Begitu pula dirimu.
Mungkin rembulan tak menampakkan diri karena rute edarnya yang tidak mudah diprediksi, tak semudah mentari. Aku rasa itu bagian dari keindahan sang rembulan--membuat kita terus menebak, memunculkan rasa penasaran dan kadang merindu. (Aku mulai bertanya-tanya apakah matahari adalah satu-satunya yang dicerminkan oleh sang rembulan.)
Atau mungkin rembulan tak menampakkan diri karena terhalang awan. Itu pun aku tak keberatan. Karena awan membawa janji-janji akan turunnya hujan. Hujan pula mengingatkan aku pada dirimu.
Dan di tempat yang akan kukunjungi ini—hujan turun setiap saat.
---
Tantanganku bukanlah untuk mengingatkan diri agar mendongak menatap langit malam. Tantanganku adalah untuk tidak terus-menerus mendongak. Aku tahu aku harus memfokuskan diri pada apa yang terbentang di hadapanku dan tidak mengizinkan hati ini berkelana terlalu sering, bahkan untuk mengembara menjenguk dirimu sekalipun.
Lagipula, jauh di dasar hati, aku tahu kau akan baik-baik saja. Kau memang sedemikian kuat dan terberkati. Dan itu satu-satunya yang aku perlu tahu. Satu-satunya hal yang penting bagiku.
Temanku tersayang. Mentor spiritualku dalam mencinta, merasa (lagi), berekspresi (lagi), dan—kini—untuk melepaskan. To let go. Aku tahu aku mesti membiarkan dirimu menapaki perjalananmu sendiri.
Dan tempatku adalah dua langkah di belakangmu, atau tepatnya, di sekitarmu. Di belakang ruangan, menyeruput kopi hitam hangat, mencicipi kue kecil, dan mencelotehkan obrolan tak bermakna dengan sosok di sebelahku. Tersenyum bangga kepadamu, karenamu.
Sementara kau berada di atas panggung, kembali bertumbuh dengan indah, dan wangi dan liar dan segar, serta penuh rasa syukur atas segala hal kecil yang mengada.
Waktu telah tiba bagi kita untuk meneruskan perjalanan. Entah bersama atau sendiri-sendiri, atau kadang bersama kadang terpisah. Ya, mungkin itu. Terima kasih telah menjadi teman seperjalanan dan bagian dari karunia dalam hidup ini.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Foto pertama diambil di Ubud (Bali), kedua dari sini dan ketiga di Anomali Coffee (Senopati, Jakarta).
Monday, September 15, 2008
Selamat Idul Fitri 1429H
[English]
Saya melihat sekitar dan bertanya-tanya
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi mereka.
Saya menilik ke dalam dan mereka-reka
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi diri sendiri.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429H
Semoga perjalanan pulang menuju diri sejati Anda
dipenuhi kesadaran akan cinta dan damai.
PS: Saya nyadar kok. Agak sedikit awal. Tapi saya akan pergi besok lusa (Rabu pagi) ke Britania Raya. Saya akan mengambil kursus enam bulan di Sekolah Beshara, Skotlandia. Selama itu, saya praktis tidak akan mengakses Internet dan teknologi bergerak.
Baek-baek, teman-teman.
Selamat bersenang-senang dalam kehidupan!
Saya melihat sekitar dan bertanya-tanya
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi mereka.
Saya menilik ke dalam dan mereka-reka
apakah saya telah memberikan yang terbaik bagi diri sendiri.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429H
Semoga perjalanan pulang menuju diri sejati Anda
dipenuhi kesadaran akan cinta dan damai.
PS: Saya nyadar kok. Agak sedikit awal. Tapi saya akan pergi besok lusa (Rabu pagi) ke Britania Raya. Saya akan mengambil kursus enam bulan di Sekolah Beshara, Skotlandia. Selama itu, saya praktis tidak akan mengakses Internet dan teknologi bergerak.
Baek-baek, teman-teman.
Selamat bersenang-senang dalam kehidupan!
Wednesday, September 10, 2008
Harta tercuri
[English]
Al Ghazali mengatakan bahwa kadang Tuhan (atau alam atau apa pun kekuatan Maha yang kaupercayai) akan mengambil hal-hal yang demikian kita hargai dan dekap erat di hati guna memberi kita pelajaran akan hidup.
Agar kita dapat belajar hidup tanpa hal-hal yang kita kekapi itu dan dapat terus melangkah.
Agar kita dapat menghargai karunia yang kita miliki dan menggunakannya secara (lebih) bijak.
Hanya setelah kita memahami, Dia akan mengembalikannya pada kita.
Saya telah merasakan sedemikian banyak hal diambil dari saya selama perjalanan hidup ini. Beberapa masih belum saya dapati kembali. Beberapa saya masih ragu atau bahkan takut untuk memilikinya lagi. Pengingkaran dan penghindaran. Tampaknya saya benar-benar masih terus belajar.
post script: Namun akan kusampaikan satu hal padamu. Apapun yang telah teralami, aku tetap baik-baik saja dan aku masih merasa sebagai salah satu makhluk yang paling beruntung-- dan terberkati--yang pernah ada di muka bumi. Seperti halnya dirimu. Lebih dari yang kaukira. Terima kasih telah menjadi salah satu karunia dalam hidupku.
Jangan pernah memiliki pandangan yang berbeda dari ini.
Al Ghazali mengatakan bahwa kadang Tuhan (atau alam atau apa pun kekuatan Maha yang kaupercayai) akan mengambil hal-hal yang demikian kita hargai dan dekap erat di hati guna memberi kita pelajaran akan hidup.
Agar kita dapat belajar hidup tanpa hal-hal yang kita kekapi itu dan dapat terus melangkah.
Agar kita dapat menghargai karunia yang kita miliki dan menggunakannya secara (lebih) bijak.
Hanya setelah kita memahami, Dia akan mengembalikannya pada kita.
Saya telah merasakan sedemikian banyak hal diambil dari saya selama perjalanan hidup ini. Beberapa masih belum saya dapati kembali. Beberapa saya masih ragu atau bahkan takut untuk memilikinya lagi. Pengingkaran dan penghindaran. Tampaknya saya benar-benar masih terus belajar.
post script: Namun akan kusampaikan satu hal padamu. Apapun yang telah teralami, aku tetap baik-baik saja dan aku masih merasa sebagai salah satu makhluk yang paling beruntung-- dan terberkati--yang pernah ada di muka bumi. Seperti halnya dirimu. Lebih dari yang kaukira. Terima kasih telah menjadi salah satu karunia dalam hidupku.
Jangan pernah memiliki pandangan yang berbeda dari ini.
Menilik ke dalam
[English]
Saya tengah mengikuti sebuah diskusi kelompok, ketika salah seorang peserta bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya. Dia ingin membantu seseorang yang datang kepadanya, namun tidak bisa karena dia sudah terlanjur ada janji lain.
Sang peserta terus berpikir bagaimana perasaan orang itu dan apakah ia telah mengambil keputusan yang benar dengan tidak menghiraukan permintaan tersebut.
Seorang peserta lain bercerita betapa ia telah memaafkan orang yang telah menyakitinya. Betapa kita harus sabar. Betapa kita harus memaafkan dan melepaskan. Harus bersikap rendah hati dan sederhana.
Saya berpikir, menakjubkan sekali bagaimana kita sering berupaya untuk memperbaiki diri dengan menelaah cara kita bersikap terhadap orang lain atau berdasarkan cara orang lain memandang kita. Kadang kita tidak menyadari bahwa yang punya masalah itu kita dengan diri kita sendiri, bukan kita dengan mereka, apalagi mereka dengan diri mereka sendiri.
Sebuah buku yang baru-baru ini saya baca memberikan perspektif berbeda (dan menarik). Buku itu menyarankan kita (atau sebenarnya, saya) untuk mulai dengan diri sendiri. Ketimbang menekankan pada bagaimana kita harus bersikap, buku itu mengundang kita untuk memperhatikan proses yang terjadi dalam diri.
Mungkin memang sudah saatnya untuk (lebih) jujur pada diri kita, tentang diri kita sendiri. Apa yang sebenarnya kita rasa? Untuk memahami diri. Untuk menerima bahwa kita masih merasakan kemarahan, kemuakan, kegembiraan, dan cinta. Segala kombinasi rasa yang berkecamuk dalam diri. Untuk jujur pada diri.
Kita terlalu banyak menghabiskan waktu kita mengingkari apa yang kita rasa--terutama kalau rasa itu negatif. Terlalu sering kita hanya menyapu perasaan kita ke kolong tempat tidur--sekedar memindahkan dari sadar ke bawah sadar, menambahkan beban emosi yang sebenarnya telah menumpuk. Tidak benar-benar mengatasinya.
Kita mulai dengan mengakui perasaan kita dan memperhatikannya. Kemudian memperhatikan bagaimana rasa itu berubah, berevolusi.
Buku itu kemudian mengajak kita untuk "menghirup perasaan negatif, dan menghembuskan perasaan positif." Saya rasa ini pendekatan yang cukup berani.
Namun hanya setelah melalui proses penilikan ke dalam ini, kita dapat melangkah ke tahap selanjutnya untuk merangkul orang lain. Hanya dengan memahami perasaan kita, kita dapat mulai memahami perasaan orang lain. Hanya dengan menerima dan mencintai diri kita, kita dapat mulai menerima dan mencintai orang lain.
Masuk akal menurut saya. Ya gak sih?
Catatan tambahan. Apakah kita benar-benar berendah hati ketika kita secara eksplisit mengatakan kita rendah hati? Apakah kita benar-benar sabar ketika kita mengklaim diri ini sabar? Apakah kita benar-benar menerima ketika kita menyatakan bahwa kita menerima? Atau kita hanya membohongi diri sendiri? Sebuah kata lain muncul di pikiran ketika saya menulis ini: Arogansi. Lupa kita siapa sebenarnya lawan main kita.
Saya tengah mengikuti sebuah diskusi kelompok, ketika salah seorang peserta bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya. Dia ingin membantu seseorang yang datang kepadanya, namun tidak bisa karena dia sudah terlanjur ada janji lain.
Sang peserta terus berpikir bagaimana perasaan orang itu dan apakah ia telah mengambil keputusan yang benar dengan tidak menghiraukan permintaan tersebut.
Seorang peserta lain bercerita betapa ia telah memaafkan orang yang telah menyakitinya. Betapa kita harus sabar. Betapa kita harus memaafkan dan melepaskan. Harus bersikap rendah hati dan sederhana.
Saya berpikir, menakjubkan sekali bagaimana kita sering berupaya untuk memperbaiki diri dengan menelaah cara kita bersikap terhadap orang lain atau berdasarkan cara orang lain memandang kita. Kadang kita tidak menyadari bahwa yang punya masalah itu kita dengan diri kita sendiri, bukan kita dengan mereka, apalagi mereka dengan diri mereka sendiri.
Sebuah buku yang baru-baru ini saya baca memberikan perspektif berbeda (dan menarik). Buku itu menyarankan kita (atau sebenarnya, saya) untuk mulai dengan diri sendiri. Ketimbang menekankan pada bagaimana kita harus bersikap, buku itu mengundang kita untuk memperhatikan proses yang terjadi dalam diri.
Mungkin memang sudah saatnya untuk (lebih) jujur pada diri kita, tentang diri kita sendiri. Apa yang sebenarnya kita rasa? Untuk memahami diri. Untuk menerima bahwa kita masih merasakan kemarahan, kemuakan, kegembiraan, dan cinta. Segala kombinasi rasa yang berkecamuk dalam diri. Untuk jujur pada diri.
Kita terlalu banyak menghabiskan waktu kita mengingkari apa yang kita rasa--terutama kalau rasa itu negatif. Terlalu sering kita hanya menyapu perasaan kita ke kolong tempat tidur--sekedar memindahkan dari sadar ke bawah sadar, menambahkan beban emosi yang sebenarnya telah menumpuk. Tidak benar-benar mengatasinya.
Kita mulai dengan mengakui perasaan kita dan memperhatikannya. Kemudian memperhatikan bagaimana rasa itu berubah, berevolusi.
Buku itu kemudian mengajak kita untuk "menghirup perasaan negatif, dan menghembuskan perasaan positif." Saya rasa ini pendekatan yang cukup berani.
Namun hanya setelah melalui proses penilikan ke dalam ini, kita dapat melangkah ke tahap selanjutnya untuk merangkul orang lain. Hanya dengan memahami perasaan kita, kita dapat mulai memahami perasaan orang lain. Hanya dengan menerima dan mencintai diri kita, kita dapat mulai menerima dan mencintai orang lain.
Masuk akal menurut saya. Ya gak sih?
Catatan tambahan. Apakah kita benar-benar berendah hati ketika kita secara eksplisit mengatakan kita rendah hati? Apakah kita benar-benar sabar ketika kita mengklaim diri ini sabar? Apakah kita benar-benar menerima ketika kita menyatakan bahwa kita menerima? Atau kita hanya membohongi diri sendiri? Sebuah kata lain muncul di pikiran ketika saya menulis ini: Arogansi. Lupa kita siapa sebenarnya lawan main kita.
Tuesday, September 09, 2008
Lentera jiwa
[English]
Saya senang dengan orang-orang (terutama teman-teman) yang memiliki mimpi dan aspirasi. Saya terlebih menyukai mereka yang mengikuti mimpi-mimpi itu. Saya sangat percaya bahwa panggilan dari dalam yang terus-menerus mengemuka itu benar-benar berusaha mengatakan sesuatu pada kita. Ia bukan sekedar hal acak tak berarti.
Jadi saya membuka tangan dan hati terhadap tren Lentera Jiwa baru-baru ini.
Memang, ini (lagi-lagi) sebuah langkah pemasaran yang keren dari Yoris dan Morin untuk mempromosikan album baru Nugie.
Tetap saja, Lentera Jiwa merupakan sarana untuk mengingatkan kita bahwa kita dapat (dan seharusnya) memanfaatkan dan menikmati hidup semaksimal mungkin. Untuk mengejewantahkan potensi kita sebaik kita bisa dan tidak menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Recto Verso – album terbaru Dee juga merupakan contoh nyata dari lentera jiwa seseorang. Saya tidak membicarakan Dee di sini. Saya rasa dia tidak perlu perkenalan lagi (Love and light, D).
Saya ingin menceritakan tentang seorang teman lain yang membantu mendistribusikan album Recto Verso. Teman saya ini bekerja dalam bidang TI. Dia sangat gandrung pada musik atau, sejujurnya, apa pun yang berbau indie.
Yang menarik di sini adalah teman saya itu telah menggandrungi musik sejak saya pertama kenal dia (yang berarti sudah cukup lama, karena saya kenal dia saja sudah lebih dari 15 tahun).
Dia mungkin tidak (belum?) bisa mendedikasikan waktunya untuk memainkan instrumen musik sendiri tapi dia mempersembahkan pada musik apa yang ia bisa--kecintaannya, kemampuan organisasi dan manajemennya, dan logikanya yang brilian.
Dia menyumbangkan apa yang ia miliki. Mungkin dia satu-satunya yang bisa memainkan peran itu, dan hal ini membuatnya unik dalam konteks keseluruhan formula yang ada.
Pemikiran ini membawa saya kembali ke tahun 2002, ketika saya merasa agak tak berdaya melihat semua korban banjir Jakarta. Saya mengikuti seorang teman dokter saya keliling. Dia membantu para korban. Sedangkan seorang saya, apa yang bisa saya lakukan? Saya sekedar membantu teman saya membungkus obat-obat sederhana bagi para korban.
Sekarang--setelah memperhatikan teman saya dengan musik indie-nya--saya menyadari bahwa saya tidak perlu menjadi dokter untuk membantu dalam bidang kesehatan. Secara profesi, saya seorang konsultan komunikasi. Jadi harusnya itu yang saya lakukan--dan telah mulai saya lakukan sedikit-sedikit.
Saya belum menemukan satu topik--atau organisasi--yang bisa membuat saya demikian tertarik sehingga saya ingin saya fokuskan diri saya padanya.
Namun, sejauh ini, saya lebih memilih untuk menjadi 'konsultan' bagi lembaga atau yayasan yang dikelola teman-teman saya--melaksanakan pelatihan komunikasi, membantu membuat newsletter, menulis cerita tentang mereka, memfinalisasi proposal pendanaan mereka, dsb.
Mungkin itulah tempat atau fungsi unik saya dalam ensembel ini. Itu dan hal lain. Kita lihat nanti.
Saya bisa bilang dua hal pada Anda, sementara ini. Pertama, dengarkan diri Anda dan temukan panggilan itu. Kedua, tidak perlu terburu-buru. Ini semua proses. Anda tidak perlu serta merta melompat dan melakukannya sekarang juga.
Mungkin yang Anda lakukan sekarang adalah persiapan menuju langkah yang akan Anda ambil. Persiapan yang baik adalah setengah dari kemenangan yang akan kita capai. Manfaatkan waktu yang ada, namun jangan terlena terlalu lama ;)
Saya ingin mengulang apa yang ditulis di situs web Lentera Jiwa:
"Hidup memang penuh pilihan, tapi seringkali pilihan terbaik adalah mengikuti LENTERA JIWA kita. Cahaya yang menuntun kita pada tujuan hidup. Our passion in life.
Bagaimana dengan LENTERA JIWA-mu?"
Saya senang dengan orang-orang (terutama teman-teman) yang memiliki mimpi dan aspirasi. Saya terlebih menyukai mereka yang mengikuti mimpi-mimpi itu. Saya sangat percaya bahwa panggilan dari dalam yang terus-menerus mengemuka itu benar-benar berusaha mengatakan sesuatu pada kita. Ia bukan sekedar hal acak tak berarti.
Jadi saya membuka tangan dan hati terhadap tren Lentera Jiwa baru-baru ini.
Memang, ini (lagi-lagi) sebuah langkah pemasaran yang keren dari Yoris dan Morin untuk mempromosikan album baru Nugie.
Tetap saja, Lentera Jiwa merupakan sarana untuk mengingatkan kita bahwa kita dapat (dan seharusnya) memanfaatkan dan menikmati hidup semaksimal mungkin. Untuk mengejewantahkan potensi kita sebaik kita bisa dan tidak menyia-nyiakan anugerah yang telah Tuhan berikan kepada kita.
Recto Verso – album terbaru Dee juga merupakan contoh nyata dari lentera jiwa seseorang. Saya tidak membicarakan Dee di sini. Saya rasa dia tidak perlu perkenalan lagi (Love and light, D).
Saya ingin menceritakan tentang seorang teman lain yang membantu mendistribusikan album Recto Verso. Teman saya ini bekerja dalam bidang TI. Dia sangat gandrung pada musik atau, sejujurnya, apa pun yang berbau indie.
Yang menarik di sini adalah teman saya itu telah menggandrungi musik sejak saya pertama kenal dia (yang berarti sudah cukup lama, karena saya kenal dia saja sudah lebih dari 15 tahun).
Dia mungkin tidak (belum?) bisa mendedikasikan waktunya untuk memainkan instrumen musik sendiri tapi dia mempersembahkan pada musik apa yang ia bisa--kecintaannya, kemampuan organisasi dan manajemennya, dan logikanya yang brilian.
Dia menyumbangkan apa yang ia miliki. Mungkin dia satu-satunya yang bisa memainkan peran itu, dan hal ini membuatnya unik dalam konteks keseluruhan formula yang ada.
Pemikiran ini membawa saya kembali ke tahun 2002, ketika saya merasa agak tak berdaya melihat semua korban banjir Jakarta. Saya mengikuti seorang teman dokter saya keliling. Dia membantu para korban. Sedangkan seorang saya, apa yang bisa saya lakukan? Saya sekedar membantu teman saya membungkus obat-obat sederhana bagi para korban.
Sekarang--setelah memperhatikan teman saya dengan musik indie-nya--saya menyadari bahwa saya tidak perlu menjadi dokter untuk membantu dalam bidang kesehatan. Secara profesi, saya seorang konsultan komunikasi. Jadi harusnya itu yang saya lakukan--dan telah mulai saya lakukan sedikit-sedikit.
Saya belum menemukan satu topik--atau organisasi--yang bisa membuat saya demikian tertarik sehingga saya ingin saya fokuskan diri saya padanya.
Namun, sejauh ini, saya lebih memilih untuk menjadi 'konsultan' bagi lembaga atau yayasan yang dikelola teman-teman saya--melaksanakan pelatihan komunikasi, membantu membuat newsletter, menulis cerita tentang mereka, memfinalisasi proposal pendanaan mereka, dsb.
Mungkin itulah tempat atau fungsi unik saya dalam ensembel ini. Itu dan hal lain. Kita lihat nanti.
Saya bisa bilang dua hal pada Anda, sementara ini. Pertama, dengarkan diri Anda dan temukan panggilan itu. Kedua, tidak perlu terburu-buru. Ini semua proses. Anda tidak perlu serta merta melompat dan melakukannya sekarang juga.
Mungkin yang Anda lakukan sekarang adalah persiapan menuju langkah yang akan Anda ambil. Persiapan yang baik adalah setengah dari kemenangan yang akan kita capai. Manfaatkan waktu yang ada, namun jangan terlena terlalu lama ;)
Saya ingin mengulang apa yang ditulis di situs web Lentera Jiwa:
"Hidup memang penuh pilihan, tapi seringkali pilihan terbaik adalah mengikuti LENTERA JIWA kita. Cahaya yang menuntun kita pada tujuan hidup. Our passion in life.
Bagaimana dengan LENTERA JIWA-mu?"
Wednesday, September 03, 2008
Saat berdiam diri. Saat hening.
[English]
Sekolah saya belum dimulai. Saya bahkan belum memulai perjalanan saya secara fisik. Namun beragam pelajaran tampaknya sudah mulai berdatangan.
Seorang mentor penyembuhan Reza Gunawan pernah berucap pada saya bahwa kadang tubuh dan jiwa kita tahu kalau kita akan beperjalanan dan mereka pun berinisiatif memulai prosesnya bahkan sebelum kita memulai perjalanan yang kasat mata sekalipun.
Saya dapat merasakan bahwa proses telah dimulai. Di dalam. Satu (atau dua, atau tiga) sensasi yang demikian akrab dan, saya ingat betul, cukup intens. Mereka mulai mengemuka kembali. Kali ini, saya menyambutnya dengan tangan terbuka dan sepenuh hati. Mungkin saya perlu menyisipkan kata "mencoba" di sini, karena proses ini bisa menjadi sangat menantang.
Guru meditasi saya Pak Merta Ade dari Bali Usada pernah berkata, “Jika kamu sudah siap, coba merasakannya lebih lama." (terjemahan: jangan melarikan diri. Coba hadapi.)
Kala itu beliau tengah mengacu pada sensasi indera yang kerap muncul selama meditasi. Tapi pendengaran saya menangkap hal-hal di luar itu. Saya mendengar kesedihan, kemarahan, trauma dan berbagai hal lain yang berkecamuk dalam diri. Segala emosi yang belum tuntas.
Buku yang saya terima dari seorang teman menganjurkan untuk memulai dari tempat saya kini berpijak. Untuk mengakrabkan diri dengan kondisi fisik dan emosi saya; untuk belajar dari mereka. Kembali, segala emosi yang belum tuntas.
Kedua kejadian di atas mengajak saya untuk "memperlambat laju jalan, menghentikan langkah, duduk tenang dan menghadapi diri." Jadi saya pun duduk. Dalam hening. Tanpa ditemani seorang pun kecuali Kamu.Tak mudah.
Entah bagaimana semua perasaan dan memori usang semakin lama semakin jelas. Saya menjadi gelisah. Saya bertanya-tanya apakah saya benar-benar telah siap untuk menceburkan diri ke dalam hal ini lagi.
Tapi bukan saya kalau tidak ada coba-coba kreatif.
Mungkin kalau saya menyibukkan diri, saya tidak akan terlalu terikat pada kegiatan ini. Saya mengerjakan beberapa proyek meskipun tanggal keberangkatan saya sudah semakin mendekat. Rupanya saya lupa siapa yang sedang saya hadapi. Kedua proyek pun berjalan tak terlalu cepat. Saya masih punya banyak waktu luang untuk "terikat pada kegiatan ini."
Hm, mungkin ada cara meringankan beban ini sedikit. Berbagi mungkin membantu? Tak ada salahnya khan bila saya bercerita ke satu atau dua teman? Salah.
Beberapa hal memang sebaiknya tetap tak terucap dan disimpan sendiri. Selalu saja ada yang terjadi. Koneksi Internet terputus. Terlalu banyak orang di sekitar. Jadwal yang tak sinkron. Tak ada cukup waktu. Jadi gitu, bukan karena saya tak mau berbagi, tapi saya tak bisa, saya tak boleh.
Untuk kesekian kalinya, saya terduduk dalam hening. Dengan diri dan aku. Dan Dirimu.
Saya tahu waktunya telah tiba. Saya mafhum ini adalah perjalanan pribadi yang harus saya tapaki sendiri. Tanpa seorang pun kecuali Kamu. Miliki keyakinan. Ya, saya yakin.
Kamu mungkin tak mengerti. Tak apa. Kadang saya pun tak paham.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Sekolah saya belum dimulai. Saya bahkan belum memulai perjalanan saya secara fisik. Namun beragam pelajaran tampaknya sudah mulai berdatangan.
Seorang mentor penyembuhan Reza Gunawan pernah berucap pada saya bahwa kadang tubuh dan jiwa kita tahu kalau kita akan beperjalanan dan mereka pun berinisiatif memulai prosesnya bahkan sebelum kita memulai perjalanan yang kasat mata sekalipun.
Saya dapat merasakan bahwa proses telah dimulai. Di dalam. Satu (atau dua, atau tiga) sensasi yang demikian akrab dan, saya ingat betul, cukup intens. Mereka mulai mengemuka kembali. Kali ini, saya menyambutnya dengan tangan terbuka dan sepenuh hati. Mungkin saya perlu menyisipkan kata "mencoba" di sini, karena proses ini bisa menjadi sangat menantang.
Guru meditasi saya Pak Merta Ade dari Bali Usada pernah berkata, “Jika kamu sudah siap, coba merasakannya lebih lama." (terjemahan: jangan melarikan diri. Coba hadapi.)
Kala itu beliau tengah mengacu pada sensasi indera yang kerap muncul selama meditasi. Tapi pendengaran saya menangkap hal-hal di luar itu. Saya mendengar kesedihan, kemarahan, trauma dan berbagai hal lain yang berkecamuk dalam diri. Segala emosi yang belum tuntas.
Buku yang saya terima dari seorang teman menganjurkan untuk memulai dari tempat saya kini berpijak. Untuk mengakrabkan diri dengan kondisi fisik dan emosi saya; untuk belajar dari mereka. Kembali, segala emosi yang belum tuntas.
Kedua kejadian di atas mengajak saya untuk "memperlambat laju jalan, menghentikan langkah, duduk tenang dan menghadapi diri." Jadi saya pun duduk. Dalam hening. Tanpa ditemani seorang pun kecuali Kamu.Tak mudah.
Entah bagaimana semua perasaan dan memori usang semakin lama semakin jelas. Saya menjadi gelisah. Saya bertanya-tanya apakah saya benar-benar telah siap untuk menceburkan diri ke dalam hal ini lagi.
Tapi bukan saya kalau tidak ada coba-coba kreatif.
Mungkin kalau saya menyibukkan diri, saya tidak akan terlalu terikat pada kegiatan ini. Saya mengerjakan beberapa proyek meskipun tanggal keberangkatan saya sudah semakin mendekat. Rupanya saya lupa siapa yang sedang saya hadapi. Kedua proyek pun berjalan tak terlalu cepat. Saya masih punya banyak waktu luang untuk "terikat pada kegiatan ini."
Hm, mungkin ada cara meringankan beban ini sedikit. Berbagi mungkin membantu? Tak ada salahnya khan bila saya bercerita ke satu atau dua teman? Salah.
Beberapa hal memang sebaiknya tetap tak terucap dan disimpan sendiri. Selalu saja ada yang terjadi. Koneksi Internet terputus. Terlalu banyak orang di sekitar. Jadwal yang tak sinkron. Tak ada cukup waktu. Jadi gitu, bukan karena saya tak mau berbagi, tapi saya tak bisa, saya tak boleh.
Untuk kesekian kalinya, saya terduduk dalam hening. Dengan diri dan aku. Dan Dirimu.
Saya tahu waktunya telah tiba. Saya mafhum ini adalah perjalanan pribadi yang harus saya tapaki sendiri. Tanpa seorang pun kecuali Kamu. Miliki keyakinan. Ya, saya yakin.
Kamu mungkin tak mengerti. Tak apa. Kadang saya pun tak paham.
Nalar memahami. Hati masih butuh lebih banyak waktu.
Monday, September 01, 2008
Dari satu rumah ke rumah lain
[English]
Sekarang sudah bulan September. Pada tanggal 17, saya akan ke Skotlandia untuk mengikuti program enam bulan di sebuah sekolah bernama Beshara.
Perjalanan di bulan-bulan mendatang kehidupan saya dimulai dengan salah satu kelokan tak terduga dalam hidup saya. Saya diperkenalkan ke kelompok Beshara di Jakarta tahun lalu.
Saya menghadiri program akhir pekannya dan saya akui bahwa saya tidak langsung nyambung dengan mereka. Namun ada sesuatu yang terus menerus menarik saya ke kelompok itu. Saya nurut saya, mungkin atas nama penasaran.
Awal tahun ini, saya kembali mengikuti program akhir pekan Beshara. Di penghujung acara, saya ngobrol-ngobrol santai dengan salah seorang fasilitatornya.
Saya bertanya apakah mungkin bagi saya untuk mendapatkan beasiswa guna mengikuti program di sana. Beliau menjawab, "Coba saja email direktur sekolahnya." Pernyataan yang demikian sederhana.
Hebatnya, proses selanjutnya pun sama sesederhananya. Saya tak 'mengacuhkan' jawaban beliau, hingga seminggu kemudian entah apa yang menggerakkan saya. Saya pikir, ya sud, kenapa tidak. Toh saya tidak akan rugi atau kehilangan apa-apa dengan mengemailnya.
Lantas, saya email sang direktur sekolah. Beliau pun menjawab. Ya. Ya??!?!? Saya SMS beberapa teman, mem-forward email itu, dan bertanya ke mereka apakah saya telah memahami email ini dengan benar. Iya, kata mereka. Wah.
Beberapa teman (berulang kali) bertanya bagaimana saya bisa dapat beasiswa itu, atas dasar apa. Satu-satunya jawaban yang dapat saya berikan adalah: “Mungkin, kita hanya perlu bertanya.” Jawaban pasrah karena saya tak tahu harus bernalar seperti apa lagi. Tak perlu.
Dan sisa cerita pun bergulir dengan sendirinya. Saya menerima email tersebut bulan Maret tahun ini. Hidup terus mengalir. Sekarang kita sudah di bulan September. Dua minggu dari sekarang, insya Allah saya akan berada di Skotlandia.
Skotlandia. Kawasan yang sangat dekat di hati saya. Para sahabat dan keluarga saya tahu betapa saya telah jatuh cinta pada tempat itu.
Jadi ketika mereka mendengar saya akan ke Skotlandia, mereka hanya memberikan dua komentar: “Memang sudah digariskan” dan “Oh, mau pulang kampung.”
Iya, saya pun merasa saya akan pulang kampung. Saya akan pulang, dari satu rumah ke rumah yang lain. Memang sudah digariskan. Saya sekedar menjalani.
Kalau kamu ke sana--dan kamu ke sana bersama saya, saya yakin kamu akan dapat melihat apa yang saya lihat, dan merasa apa yang saya rasa. Mungkin kemudian kamu akan mengerti kenapa.
---
Saya terjaga pagi ini dengan sebuah SMS dari seorang teman: “Mudah-mudahan semua upaya baik bisa membimbing jiwa kepada pencerahan sejati, sekalipun itu bukanlah jalan yang mudah.”
Saya tahu. Kamu tahu. Yang lain tidak. Tarik napas dalam.
Gambar diambil dari Beshara, Stirling Uni, and Gettyimages.
Sekarang sudah bulan September. Pada tanggal 17, saya akan ke Skotlandia untuk mengikuti program enam bulan di sebuah sekolah bernama Beshara.
Perjalanan di bulan-bulan mendatang kehidupan saya dimulai dengan salah satu kelokan tak terduga dalam hidup saya. Saya diperkenalkan ke kelompok Beshara di Jakarta tahun lalu.
Saya menghadiri program akhir pekannya dan saya akui bahwa saya tidak langsung nyambung dengan mereka. Namun ada sesuatu yang terus menerus menarik saya ke kelompok itu. Saya nurut saya, mungkin atas nama penasaran.
Awal tahun ini, saya kembali mengikuti program akhir pekan Beshara. Di penghujung acara, saya ngobrol-ngobrol santai dengan salah seorang fasilitatornya.
Saya bertanya apakah mungkin bagi saya untuk mendapatkan beasiswa guna mengikuti program di sana. Beliau menjawab, "Coba saja email direktur sekolahnya." Pernyataan yang demikian sederhana.
Hebatnya, proses selanjutnya pun sama sesederhananya. Saya tak 'mengacuhkan' jawaban beliau, hingga seminggu kemudian entah apa yang menggerakkan saya. Saya pikir, ya sud, kenapa tidak. Toh saya tidak akan rugi atau kehilangan apa-apa dengan mengemailnya.
Lantas, saya email sang direktur sekolah. Beliau pun menjawab. Ya. Ya??!?!? Saya SMS beberapa teman, mem-forward email itu, dan bertanya ke mereka apakah saya telah memahami email ini dengan benar. Iya, kata mereka. Wah.
Beberapa teman (berulang kali) bertanya bagaimana saya bisa dapat beasiswa itu, atas dasar apa. Satu-satunya jawaban yang dapat saya berikan adalah: “Mungkin, kita hanya perlu bertanya.” Jawaban pasrah karena saya tak tahu harus bernalar seperti apa lagi. Tak perlu.
Dan sisa cerita pun bergulir dengan sendirinya. Saya menerima email tersebut bulan Maret tahun ini. Hidup terus mengalir. Sekarang kita sudah di bulan September. Dua minggu dari sekarang, insya Allah saya akan berada di Skotlandia.
Skotlandia. Kawasan yang sangat dekat di hati saya. Para sahabat dan keluarga saya tahu betapa saya telah jatuh cinta pada tempat itu.
Jadi ketika mereka mendengar saya akan ke Skotlandia, mereka hanya memberikan dua komentar: “Memang sudah digariskan” dan “Oh, mau pulang kampung.”
Iya, saya pun merasa saya akan pulang kampung. Saya akan pulang, dari satu rumah ke rumah yang lain. Memang sudah digariskan. Saya sekedar menjalani.
Kalau kamu ke sana--dan kamu ke sana bersama saya, saya yakin kamu akan dapat melihat apa yang saya lihat, dan merasa apa yang saya rasa. Mungkin kemudian kamu akan mengerti kenapa.
---
Saya terjaga pagi ini dengan sebuah SMS dari seorang teman: “Mudah-mudahan semua upaya baik bisa membimbing jiwa kepada pencerahan sejati, sekalipun itu bukanlah jalan yang mudah.”
Saya tahu. Kamu tahu. Yang lain tidak. Tarik napas dalam.
Gambar diambil dari Beshara, Stirling Uni, and Gettyimages.
Subscribe to:
Posts (Atom)